Laman

Minggu, 18 Desember 2011

FF: Please, Be Mine! [Part 1]



Genre : Romance
Length : 3 Shoot
Cast :
- Choi Ryu Ri as Choi Ryu Ri
- FT Island Minhwan as Choi Min Hwan
- B1A4 Sandeul as Lee Sandeul

Ryuri’s POV…
“Yuu, kau lelet!”
                “Yaa! Minan, kau pikir aku akan kalah, huh?”
                “Tentu saja.”
                “Tidak mungkin.”
                Aku mempercepat laju sepedaku. Aku berusaha mendahului Minhwan yang kini bersepeda di depanku. Kami berdua bersepeda menyusuri jalan di Sunyeodo Park. Minhwan adalah teman semasa kecilku. Dulu kami sering main bersama seperti saat ini. Setelah beberapa tahun kami tak bertemu, kami dipertemukan kembali. Dan saat ini kami seperti sedang bernostalgia ke masa lalu. Bermain-main seperti anak kecil.
                Aku mengayuh pedal sepedaku dengan kuat. Dan akhirnya aku bisa membalap Minhwan yang tadinya mendahuluiku. Aku menjulurkan lidahku tepat ketika aku berada di sampingnya. Aku terus melaju dengan cepat. Posisiku dengan Minhwan saling bergantian. Sial, Minhwan berhasil menyusulku. Ia tertawa sambil menoleh kepadaku dengan penuh kemenangan. Menyebalkan.
                GUBRAK! Suara gaduh itu terdengar. Aku menghentikan laju sepedaku. Lalu tertawa terbahak-bahak. Minhwan yang berusaha mengalahkanku jatuh dari sepeda di depanku.
                “Yaa! Jangan tertawa! Cara tertawamu menyebalkan tahu!” seru Minhwan yang hanya duduk di atas tanah sambil merintih kesakitan. Aku berusaha menahan tawaku.
                “Itu akibatnya jika kau berusaha mengalahkan seorang ‘Raja’. Kau tak kan bisa menang dariku.” Ucapku sambil menghampiri Minhwan.
                “Sudahlah jangan menghinaku terus. Bantu aku berdiri!” perintah Minhwan sambil mengulurkan tangannya.
                “Tidak mau!” ucapku sambil membuang mukaku.
                “Ah, ppali! Kalau kau tidak mau, kau harus cium aku dulu! Pilih mana, bangunkan aku atau cium aku?” Tanya Minhwan manja. Apa sih anak ini. Minhwan adalah cinta pertamaku sejak kecil. Kami sebenarnya saling mencintai. Tapi entahlah hubungan kami mau dinamakan apa. Benar-benar tidak jelas.
                Aku hanya menatapnya heran. Aku lalu menghela nafasku. Kuulurkan tanganku pada Minhwan agar bisa membantunya berdiri. Minhwan meraih tanganku. Ia berdiri, lalu ia menarik tanganku dan mendekatkan diriku pdanya. Tiba-tiba ia mencium pipiku. Aku bengong dan yakin pasti pipiku sudah bersemu merah. Minhwan lalu kabur sambil membawa sepedanya.
                “YAA! NEOMU BABO MINAAAAAN!”
*****
                Aku berjalan berdampingan dengan Minhwan sambil membawa sepedaku. Kami menyusuri jalan setapak menikmati hembusan angin.
                “Minan, aku lapar. Makan yuk.” Ajakku pada Minhwan membuka pembicaraan.
                “Di sini kan banyak daun-daunan. Kau makan saja.” Kata Minhwan tanpa rasa bersalah.
                “Ih, kau ini! Kau pikir aku ini ulat pemakan daun seperti yang di iklan Teh Pucuk? *eh* Ayolah Minan. Perutku tak bisa berkompromi.” Rengekku. Minhwan hanya tertawa kecil. Ia tak menjawab apapun. Tapi ia terus berjalan menuju sebuah café. Mataku berbinar melihat pemandangan di depanku ini. Aroma roti sudah tercium di hidungku.
                “Kita mau makan di sini?” tanyaku dengan bahagianya.
                “Aniyo. Aku mau ke toilet. Kalau mau makan, makan saja sendiri.” Ucapnya dengan santai. Mwo? Datang ke café hanya ingin ke toiletnya? Yang benar saja. Dasar anak ini. Aku memonyongkan bibirku. Minhwan tersenyum lalu menggenggam tanganku.
                “Aku bercanda. Kajja.” Minhwan lalu menarik tanganku dan masuk ke dalam café tersebut.
                “Kau tunggu dulu saja. Aku mau ke toilet. Nanti sekalian ku pesankan, ok?” kata Minhwan. Aku hanya mengangguk lalu mencari bangku kosong yang nyaman. Aku duduk di kursi dekat jendela sambil menunggu Minhwan.
I pray no tears in your dream
I know you’ll fly high in your life
I sesangeun  jakeun nan nuneuro
Tto geudael boryeogo hajiman
Boran deusi dangdanghage, malhal su isseo, you are the only one..
……………………
                Suara siapa itu? Siapa yang menyanyikan lagu itu? Indah sekali. Suara yang sangat merdu, lagu itu dinyanyikan dengan penuh penghayatan, setidaknya itu menurutku. Aku mencari asal suara itu. Pandanganku tertuju pada seorang namja di depan. Ia bernyanyi di atas panggung. Pandangan matanya sayu. Seperti menanggung sebuah kesedihan. Kenapa dia?
                “Roti datang, tuan putri.” Kata Minhwan tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Dia datang dengan membawa nampan dan pesanannya. Minhwan duduk di depanku. Ia membawa dua gelas susu dan dua buah roti mocha. Mocha? Minhwan masih ingat roti kesukaanku?
                “Gomawoyo.” Ucapku sambil tersenyum lebar.
                “Ingat, aku tidak bilang akan mentraktirmu.” Kata Minhwan lalu meneguk susu putihnya. Aku mengacuhkannya lalu mengambil sebuah roti mocha di depanku. Aku melahap roti itu. Rasanya benar-benar nikmat. Dulu sewaktu aku masih kecil, biasanya Minhwan membawa roti ini ke sekolah dan aku selalu mendapat bagian. Dan seringkali bagian itu lebih besar daripada untuknya. Hahaha. Aku melirik lagi ke arah penyanyi  café tadi. Ia sudah menyelesaikan lagunya lalu turun dari atas panggung. Namja itu lalu pergi entah kemana.
                Aku menghabiskan roti dan susuku. Minhwan baru menghabiskan susunya. “Pulang yuk.” Ajak Minhwan. Aku hanya mengiyakannya. Lalu kami mengahmpiri sepeda kami yang diparkirkan di depan café. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
                “Minan, kita belum bayar!” seruku pada Minhwan yang sudah menaiki sepedanya.
                “Sudah ku bayar. Cepat naik, lalu kita pulang.” Tukas Minhwan lalu ia mengayuh sepedanya. Aku lalu menaiki sepedaku dan mengendarainya. Kami lalu sampai ke persimpangan jalan. Aku dan Minhwan pulang dengan arah yang berlawanan.
                “Annyeonghi gaseyo. Cepat sampai rumah, selalu rindukan aku, selalu mimpikan aku. Oke?” kata Minhwan layaknya memperingatkanku suatu hal yang sangat penting.
                “Mwo? Apa-apaan kau ini! Yaa!!” sebelum aku selesai bicara, Minhwan sudah lari dengan sepedanya menuju ke rumahnya. Aku hanya menghela nafas panjang. Minhwan, kenapa kau membuatku tambah bingung? Tak usah kau peringatkan aku juga aku sudah merindukanmu setiap hari. Ia membuatku bingung dengan hubungan kami. Kami seperti sepasang kekasih yang suka main-main. Hubungan kami tanpa status. Mungkin Minhwan masih menganggapku sahabatnya. Tapi aku sungguh ingin mendapatkan kepastian yang jelas darinya. Ini bukan permainan.
                Aku mengayuh sepedaku menuju rumah. Sebentar lagi liburan musim panas akan berakhir. Aku harus “say goodbye” pada main sepeda, jalan-jalan, bersenang-senang, dan harus “say hello” pada buku-buku pelajaran, tugas yang menumpuk, juga ulangan harian. Yah.
                Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan seorang kakek. Ia sedang berusaha berdiri karena jatuh. Mungkin karena sudah tua, ia tak boleh membawa barang terlalu banyak. Aku meletakkan sepedaku dan menghampirinya.
                “Harajushi, gwenchanhayo?” tanyaku sambil membantu kakek itu berdiri. Setelah itu aku mengambilkan barang belanjaannya yang jatuh berserakan.
                “Ah, ne gwenchanha. Gamsahamnida.” Katanya lalu meminta tas belanjanya dari tanganku.
                “Apakah tidak berat?” tanyaku.
                “Aniyo. Tidak apa-apa.” Ucapnya dengan lembut.
                “Mau aku antarkan?” tawarku. Kasihan sekali kakek ini. Apa ia tidak punya anak atau cucu untuk mengurusnya sehingga harus berbelanja sendiri seperti ini?
                “Ah, tidak usah. Rumahku cukup jauh.”
                “Gwenchanha. Lagipula aku tau daerah ini. Aku kan bisa pulang dengan sepedaku. Kuantarkan saja, ya?” tawarku sekali lagi. Lalu aku menaruh tas belanja itu ke keranjang sepedaku. Aku tak menaiki sepedaku. Aku membawanya berjalan bersama sang kakek.
“Jeongmal gamsahamnida. Nuguseyo?” Tanya sang kakek.
“Choi Ryuri imnida.” Jawabku.
“Oh, begitu. Kau sangat baik. Aku juga punya cucu yang seumuran denganmu.” Ujar kakek itu.
“Ye? Jinjja? Mengapa ia tidak membantumu? Keterlaluan sekali.” Ungkapku.
“Hahahaha, sifatnya memang seperti itu. Dia punya pengalaman buruk dan sulit bersosialisasi.” Jelas kakek.
“Harajushi, tenang saja. Kalau aku bertemu dengannya, aku akan memperbudaknya dan menyuruhnya mengurusmu dengan baik.” Ucapku sok akrab. Kakek itu hanya tertawa.
Kami sampai di rumah sang kakek. “Apa kau mau mampir?” Tanya kakek itu. “Tidak, terima kasih. Aku harus pulang.” Tolakku lembut.
“Geurae. Aku Lee-harajushi. Kapan-kapan mampirlah ke rumahku.” Ujar Lee-harajushi.
“Ne. Chamjohasibsio. Bangabseumnida. Annyeong.” Ucapku sambil melambaikan tangan. Lalu aku meninggalkannya dan bergegas pulang.
*****
Next Day…
Kejadian sama terulang lagi hari ini. Aku menemui Lee-harajushi. Saat aku sedang berkeliling-keliling. Kali ini tanpa Minhwan. Aku bersepeda sendirian. Lalu aku menemui Lee-harajushi yang sedang membawa tas belanjanya. Tapi aku rasa itu bukan bahan-bahan untuk memasak. Entah itu apa.
“Annyeong hasimnikka.” Sapaku. Aku mendekat pada Lee-harajushi. Ia tersenyum padaku.
“Oh, kau.. kau.. Choi.. Choi..”
“Choi Ryuri.” Ucapku memotong perkataannya. Aku tak sopan ya?
“Ah, ne. mampirlah ke rumahku sekali saja. Aku akan memberikanmu makanan yang enak.” Bujuk Lee-harajushi. Kakek ini ada-ada saja.
“Haha, geurae.” Aku menuruti saja kata Lee-harajushi. Siapa tahu setelah lelah bersepeda, aku bisa mendapatkan makan dan minum gratis. #plak
Aku sampai di rumah Lee-harajushi. Aku memarkirkan sepedaku di pintu depan rumahnya. Lee-harajushi mempersilahkanku masuk. *bahasa gue bener kaga sih?* Aku memasuki rumahnya. Aku mungkin bermimpi memasuki rumah yang menyerupai istana ini. Aku menjadi tamu dalam sebuah rumah yang.. wow.
Lee-harajushi menyuruhku duduk di ruang tamu. “Aku akan menyediakan minum dan makan untukmu. Kau tunggu dulu saja.” Ucap Lee-harajushi.
“Ah, tidak usah repot-repot.” Ucapku berbasa-basi. Sebenarnya sih aku tidak menolak yang gratisan seperti ini. :p Lee-harajushi pergi ke dapur. Aku memandang ke sekeliling rumah ini. Tempatnya bersih dan nyaman. *ini sih authornya yang norak* Lalu pandanganku tertuju pada sebuah rak besar. Di rak itu berjajar rapi banyak piala, medali, serta piagam. Aku lalu menghampiri rak itu. Memandanginya satu persatu. Banyak diantaranya adalah Juara dari Singing Competition *jiah*. Apa Lee-harajushi memenangkan lomba nyanyi? Ah, tidak mungkin. Aku membaca nama yang tertera di sana. Lee Sandeul.
“Lee Sandeul? Nugu?” gumamku.
“Aku Lee Sandeul. Ada apa dengan Lee Sandeul?” kata seseorang di belakangku. Glek. Aku lalu membalikan badanku dan melihat seseorang di belakangku. Ia menatapku dengan tajam. Jadi ini Lee Sandeul? Penyanyi café waktu itu. Adalah seorang juara di berbagai kompetisi menyanyi? Lalu..
“Apa kau Choi Ryuri? Orang yang akan memperbudakku agar mengurus kakekku dengan baik?” Kata Sandeul. Ya, Tuhan. Lee-harajushi menceritakan semua yang aku katakan. Dan Sandeul adalah cucu Lee-harajushi.
“Oh, itu. Eh.. aku kan bercanda ya tak usah di ambil ke hati.” Ucapku sambil senyum paksaan. Sandeul mendekatkan dirinya padaku. Wajahnya mendekat.
“Aku tau kau bercanda. Itu tidak lucu.” Ucap Sandeul sambil memiringkan senyumnya. Aku terdiam. Aku menelan ludah.
“Aku kan tak bermaksud melucu.” Ucapku. Jantungku berdebar sangat cepat. Orang ini tidak suka bercanda, atau tak pernah bercanda sih? Sandeul hanya tersenyum kecut.
“Jangan kau datang ke sini lagi. Arayo?” katanya dengan ketus. Aku heran, kenapa ada orang seperti ini di dunia ini?
“Choi RyuRi.." tiba-tiba suara Lee-harajushi memanggilku. Sandeul memandang Harajushi-nya itu lalu menjauhkan dirinya dariku.
"Oh, Harajushi." ucapku. Lee-harajushi tampak membawakan makanan dan minuman untukku. tampak lezat tapi...
"Eum, Harajushi.. Aku harus pulang. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Aku permisi dulu." pamitku pada Lee-Harajushi.
"Ye? Kenapa terburu-buru?" tanya Lee-harajushi.
"Jeongmal mianhaeseo. Gamsahamnida. Annyeong jumeseyo." ucapku sambil membungkukkan badan. Aku lalu pergi. Sebelum aku pergi aku memandang wajah Sandeul. Wajahnya menyeramkan. Hiyy.
*****
Aku merapikan rambutku di depan cermin. Menggulung lengan jaketku hingga siku lalu tersenyum. Aku lalu keluar kamar dan pamit pada Eomma. Aku melangkahkan kakiku ke luar rumah. Sore ini, Minhwan mengajakku pergi. Mungkin semacam kencan. Haha. Tapi entah kami akan pergi ke mana. Ia hanya memintaku untuk menemuinya si Sunyeodo Park.
          Aku pergi ke taman hanya dengan berjalan kaki. Untung saja tidak jauh dari rumahku. Aku berjalan dengan hati-hati, karena jalanan masih basah sehabis diguyur hujan. Di sepanjang jalan juga terdapat banyak genangan air yang membuatnya menjadi semakin licin.
          Aku memandang seseorang di depanku. Seorang namja yang tampak mengenakan earphone di telinganya sedang melantunkan sebuah lagu. Entah lagu apa, yang jelas suaranya sangat merdu. Ia lalu memandangku. Kami saling pandang. Nyanyiannya terhenti.
 "Annyeong.." sapaku ramah. Lee Sandeul, namja bersuara indah itu tetap menunjukkan wajah masamnya.
            "Annyeong." sapanya singkat. Apa namja ini tidak pernah tersenyum?
            "Kenapa kau pergi sendirian?" tanyaku sok akrab. Sandeul menghentikan langkahnya dan melepaskan earphone-nya.
            "Apa pernah aku pergi bersama orang lain?" Ia balik bertanya. Aku terdiam.
            "Aniyo. Lalu, apa kau tidak pernah pergi dengan temanmu?" tanyaku yang baru mulai menyadari kalau selama ini Sandeul tak pernah berteman dengan orang lain, slain kakeknya.
           "Teman? Aku tidak punya teman." ucapnya.
           "Geureongayo? Jinjja? Setiap orang pasti butuh teman. Bukankah hidupmu enak? Kau punya suara yang indah, kakek yang perhatian, rumah enak, semua enak, bagaimana bisa.." aku menghentikan ucapanku. Aku melihat pandangan mata Sandeul yang kosong.
          "Apa aku salah bicara?" tanyaku. Sandeul lalu menatap mataku.
          "Aniyo." kata Sandeul kemudian.
         "Mungkin aku bisa menjadi temanmu?' tawarku sambil menunjuk wajahku dengan jari telunjukku.
         "Tidak, terima kasih." kata Sandeul lalu melanjutkan perjalanannya. Aku menghela nafas, lalu aku membalikkan badanku memandanginya. Aku berlari kecil menghampirinya.
        "Yaa! Lee Sandeul!!" seruku. Sandeul berbalik menghadapku. Aku lupa pada jalan yabg licin sehingga aku hampir terpeleset. Aku berusaha untuk tidak jatuh. Aku berpegangan pada tangan Sandeul. Rupanya Sandeul tidak menjaga keseimbangannya. Ia juga terpeleset genangan air dan jatuh bersamaku. Aku jatuh tepat di atas tubuhnya. *Aw* Aku lalu mencoba berdiri dan menatapnya. Wajahnua sangat dekat denganku. Michyeo, pasti wajahku sudah merah padam.
        Aku lalu berdiri melihat celana panjangku yang basah karena genangan air. Aku lalu menoleh pada Sandeul yang sedang mencoba berdiri. Jaket dan celananya basah serta kotor. Itu semua gara-gara aku. Ia menghela nafas dan menatapku.
        "Jeongmal mianhaeseo.. Jeongmal jeongmal jeongmal mianhaeseo.." ucpaku sambil menyatukan kedua telapak tanganku pertanda memohon maaf.
 "Gwaenchanhayo?" tanya Sandeul. Aku tertegun. "Ye?"
             "Gwenchanhayo?" tanya Sandeul lagi.
             "Eh, eum.. Ne, gwenchanha. Gomawoyo." ucapku tergagap. Ini tak salah? Sandeul menghawatirkanku?
             "Geurae." ucap Sandeul lalu berjalan lagi. Sandeul terdiam sejenak lalu menghampiriku. Ia memegang kedua bahuku dan menatapku lekat-lekat. Aku menelan ludah.
             "Aku tidak butuh teman. Araseo?" ucap Sandeul. Ia lalu berbalik dan kembali berjalan. Aku menatapnya. Apa karena itu ia selalu terlihat sedih?
 "Lee Sandeul..." aku memanggilnya lagi. Sandeul kembali terhenti tanpa menoleh padaku.
             "Terserah apa katamu. Aku tak pernah menolak untuk berteman jika tanpa suatu alasan." ujarku pada Sandeul yang tetap pada posisinya. Ia lalu terus berjalan. Aku hanya menghela nafas. Kenapa orang beruntung seperti Sandeul masih tetap menyimpan rasa sedih?
             Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah pesan singkat dari Minhwan. Aku membelalakan mataku membacanya.
             "Dasar Minan.. Awas kau.."
*****
              BYUR! Aku mengguyur sekujur tubuhku dengan air. Tapi aku tak kunjung segar. Apa-apaan ini Minhwan? Ia yang mengajakku pergi dan Ia juga yang membatalkan janji. Bukannya menemui Minhwan aku malah menemui Sandeul. Lagipula ada apa dengan Sandeul? Jadi selama ini ia selalu bersedih karena tidak mempunyai teman. Bahkan aku hampir tidak percaya akan hal itu. Dia kan berasal dari keluarga berada, berprestasi dalam bernyanyi, dan... terbilang lumayan tampan. Tatapan matanya tajam namun pandangannya sendu.

          "Ryuri-ah! Lama sekali kau mandi! Ppali! Ada tamu mencarimu." kata Eomma sambil mengetuk pintu kamar mandi. Siapa sih yang malam-malam begini mencariku? Fans? #plak

"Nuguseyo?" tanyaku dari dalam kamar mandi.

"Minhwan. Ppalli!" seru Eomma. Glek! Minhwam ke rumahku. Aku belum berbalut pakaian. Bagaimana ini? Aku harus keluar dengan handuk? Ah, andwaeee.

"Yuu.. kau di dalam?" suara Minhwan terdengar dari luar. Ia mengetuk pintu kamar mandiku. Sedang apa dia? Dia membuatku panik. Lagipula kenapa Eomma bisa-bisanya meninggalkanku? Aku cepat-cepat mengeringkan tubuhku dan memakai handuk.

"Ne. Mau apa kau datang dengan tiba-tiba? Membuatku kaget saja." ucapku tanpa membuka pintu.

"Waeyo? Aku ke sini hanya sebentar. Aku rindu padamu, Yuu. Aku tak bisa satu hari tanpa melihat wajahmu. Bolehkah aku melihatmu sebentar saja, Yuu?" ungkap Minhwan. Jantungku mempercepat debarannya. Aku menghela nafasku. Lalu aku mem buka sedikit pintu kamar mandiku. Aku hanya mengintip.

"Apa kau ke sini hanya untuk itu?" tanyaku sambil bersembunyi dari balik pintu. Minhwan tersenyum memandangku.

"Aniyo. Aku mau minta maaf. Aku sudah membatalkan janjiku. Aku ada keperluan dengan Eommaku. Mianhaeyo." ucap Minhwan. Melihat wajahnya aku jadi tak tega.

"Kau kan sudah minta maaf. Gwaenchanha." ucapku.

"Geurae. Sebagai gantinya, mungkin besok malam temui aku di Sunyeodo Park. Ok?" ajak Minhwan.

"Ok" ucapku. Minhwan mencubit kedua pipiku.
"Gomawoyo, Yuu. Jam 07.00 pm. Jangan sampai tidak datang ya." kata Minhwan lalu melepaskan cubitannya.

"Ne. Jangan batal lagi" ucapku sambil mengelus pipiku.

"Tenang saja. Ehm, ngomong-ngomong kau terlihat sexy dengan handuk itu." kata Minhwan sambil menggigit bibir bawahnya. Aku membelalak. "MWO???"

"Annyeonghi gaseyo, Yuu!!!" Minhwan kabur lalu menghampiri Eomma di ruang tamu. Ia pamit pada Eommaku lalu pergi. Aku menutup pintu kamar mandiku dan memandang ke cermin. Wajahku merona.

*****
Malam ini tidak begitu baik. Langit tampak berwarna kemerahan dan berawan. Mungkin akan turun hujan. Maka aku sudah mempersiapkan payung dari rumah. Aku akan menemui Minhwan. Entah apa yang mau dilakukan anak ini.
Apakah begini kelakuan anak muda jaman sekarang? Malam ini kan malam Senin, jika bukan karena Minhwan aku malas berjalan-jalan di malam Senin karena besok aku harus sekolah. Aku melihat di sepanjang jalan menuju Sunyeodo Park. Banyak sekali orang pamer kemesraan. Membuatku kesal saja. Tapi hanya seseorang yang sedang duduk di kursi taman sendirian. Nugu? Jangan bilang itu Sandeul. Menyebalkan jika aku harus bertemu dulu dengannya sebelum bertemu Minhwan.

Dugaanku tepat. Ia duduk sambil tertunduk. Ia tidak tertidur, ia hanya melamun seperti biasanya. Apa aku harus mengajaknya bicara? Tapi nanti aku malah mengganggunya. Aku mengurungkan niatku untuk menyapanya. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan berjalan terus di depannya.

"Choi Ryuri."
Aku mendengarnya, panggilan itu, seseorang memanggil namaku. Dan yang memanggilku adalah Sandeul. Apa aku tak salah dengar? Sandeul memanggilku? Aku memundurkan beberapa langkah kakiku.

"Apa kau memanggilku?" tanyaku pada Sandeul yang masih tertunduk. Aku memandang wajahnya. Yaa, apakah benar yang ku lihat ini? Sandeul menangis? Air mata membasahi pipinya.

"Yaa! Kau mengangis? Waeyo? Apa karena aku?" tanyaku sambil membungkuk. Aku mengadah menatap wajah Sandeul. Sandeul balik menatapku. Aigo, aku tak kuasa menatap matanya yang terlihat bening, basah karena air mata.

Tiba-tiba Sandeul menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Ada apa dengan anak ini? Mengapa ia bersikap seperti ini padaku?

"Aku memikirkannya. Aku terus memikirkan perkataanku dari kemarin. Aku bilang aku tak butuh teman." ucapnya.

"Geurigo?" tanyaku.

"Ibuku sudah tiada. Seringkali ayahku pergi dengan wanita lain. Bahkan ayah jarang pulang ke rumah. Sekalipun ada, ayahku membawa seorang wanita. Itu membuatku harus tinggal di rumah kakekku. Aku tak pernah mendapat perhatian dari orangtuaku. Aku tak pernah mendapat kasih sayang mereka. Aku hanya dapat merasakan kasih sayang Ibuku sampai aku berusia 6 tahun."

Aku diam.
"Aku selalu mendapat ejekkan. Aku memutuskan diam dan tidak meladeni mereka. Karena itulah aku tak bisa bersosialisasi dengan baik. Aku tak bisa berteman dengan mudah. Aku tak sepertimu, Choi Ryuri. Kau bisa dengan mudah menjadikanku temanmu. Aku iri padamu. Aku bilang aku tak butuh teman. Aku rasa.. itu bohong."

Bibirku seperti terkunci. Apa yang harus ku katakan pada anak ini?

"Aku kesepian, Choi Ryuri. Masih bisakah aku menjadi temanmu?

Aku mengela nafasku. Anak ini benar-benar menderita. Aku menyadari aku labih beruntung darinya. Tanganku tergerak memegang kepala Sandeul. Mangelusnya dengan lembut. Aku balik memeluknya.

"Bisa." ucapku.

"Gamsahae." kata Sandeul.

"Yuu?"

To be continued...

Selasa, 22 November 2011

FF: Beautiful Target [Part 2]



Genre : Romance

Length : 2 Shoot

Cast :

Kim Jang Li as Kim Jang Li

B1A4 Baro as Cha Sun Woo

Infinite L Kim as Kim Myung Soo


             “Ch.. Cha.. Cha Sunwoo?” tanyaku tergagap. Sunwoo tampak terkejut. Ia lalu keluar dari meja kasir dan menarik tanganku. Ia mengajakku keluar dari restaurant.

                “Cha Sunwoo, apa yang kau lakukan? Kau bekerja?” tanyaku. Sunwoo menatapku dan hanya diam. Ia lalu duduk di sebuah kursi. Aku mengikutinya dan duduk di sampingnya.
                “Ibuku sakit. Aku butuh uang. Aku harus bekerja untuk biaya pengobatannya.” Ungkapnya. Aku diam. Aku tak bisa berkomentar.
                “Aku bekerja paruh waktu di restaurant ini. Siang itu aku pernah mendapat panggilan pekerjaan dari restaurant ini, jadi aku terpaksa membolos jam pelajaran waktu itu. Kau tahu kan, sekolah melarang kelas siswa-nya kerja paruh waktu?” Lanjutnya. Jadi ini alasan dia membolos waktu itu. Sunwoo membolos untuk bekerja. Dan itu untuk Ibunya yang sakit. Semua anggapanku terhadapnya hilang. Sunwoo itu ternyata.. orang yang baik.
                “Aku tak akan mengatakan hal ini pada siapa-pun.” Ucapku. Sunwoo menoleh padaku dan tersenyum. Ia menggenggam tanganku secara tiba-tiba.
                “Nona Penuh Luka, gomawoyo.” Katanya. Jantungku berdebar mendengarnya. Apa aku tak salah dengar? Cha Sunwoo berterima kasih padaku? Tak biasanya.
                “Gwenchanha. Eum.. bb.. Baramjji?”
                “Mmm.. ne?”
                “Aku lapar.”
                “Hahahaha.. Geurae, kau mau apa?” Sunwoo tertawa.
                “Aku mau bulgogi, ya?”
                “Ne, tunggu sebentar.”
*****
                Aku menghabiskan satu porsi bulgogi-ku dengan lahap dan bahagia-nya. Perutku kenyang dan hatiku senang. *macam Ehsan saja author ni* Biarpun Sunwoo yang bekerja di sini, tetap saja aku membayar sendiri. Lagipula, ini juga untuk membantunya. Aku masuk ke dalam restaurant dan mencari sosok Sunwoo. Sunwoo yang menyadari keberadaanku menghampiriku.
                “Aku mau pulang.” Kataku.
                “Jadi maksudmu kau mau diantar?” Tanya Sunwoo.
                “Aniyo.. Bukan begitu. Aku hanya ingin memberitahumu saja. Aku duluan, ya.” Ucapku seraya berjalan menuju pintu keluar. Namun, Sunwoo memegang pergelangan tangan-ku.
                “Chamkanman. Kau pikir aku akan membiarkanmu pulang sendirian?” sergah Sunwoo. Ia membereskan pekerjaannya mengajakku pergi. Aku hanya mengiyakannya.
                “Kau kan tak perlu mengantarku. Lagipula, kau masih punya banyak pekerjaan.” Ucapku membuka pembicaraan di tengah perjalanan.
                “Gwaenchanha. Aku sudah meminta izin pada atasanku untuk istrahat.” Jelasnya. Aku hanya mengangguk. Entah apa yang terjadi padaku, aku merasa canggung berbicara dengannya. Aku dan Sunwoo hanya diam. Apa aku menjadi lebih berhati-hati bicara karena takut menyakiti perasaannya? Molla. Aku dan Sunwoo sampai di halte. Tak lama kemudian bis pun datang.
                “Baramjji, gamsahamnida. Aku pulang dulu.” Ucapku seraya berpamitan. Sunwoo tertawa.
                “Hahaha, aku belum terbiasa dengan panggilan itu. Tapi tak apa Nona Penuh Luka, aku senang. Hati-hati ya, semoga cepat sampai rumah, jangan tersesat.” Katanya sok menasihatiku.
                “Ne, ne, ne, araseo. Kau pikir aku ini Dora yang tersesat tanpa bantuan Peta? *degampol Dora* Kalau ada masalah yang ingin kau ceritakan, kau bisa cerita padaku. Aku ini memang cerewet, tapi aku tak pernah membocorkan rahasia.” kataku seakan-akan aku ini orang yang dermawan. *halah*
                “Arata. Kau itu yang banyak masalah. Ceritakan padaku kalau kau mau. Sudah sana cepat pulang. Nanti Eomma-mu mencarimu.” tegur Sunwoo.
                “Geurae. Annyeonghi gaseyo.” Ucapku sambil membungkukkan badan. Aku pun bergegas masuk ke dalam bis. “Annyeong.” Kata Sunwoo. Aku tak menoleh sedikitpun padanya dan langsung duduk di kursi dalam bis. Sekilas aku melirik ke arahnya. Sunwoo sedang memandangiku. Ia tersenyum manis padaku. Aku membuang pandanganku terhadapnya. Aku menghela nafasku. Hmh, mungkin jiwaku sekarang sedang tak terkontrol.
*****
                Aku memandangi buku Fisika-ku. Aku hanya terus memandanginya tanpa membacanya. Benar-benar memusingkanku. Nilaiku akhir-akhir ini menurun. Jung-sonsaengnim menghukumku di ruang perpustakaan untuk mengerjakan PR-ku yang lupa kukerjakan. Salahku juga sih. Tapi, setega inikah sonsaeng itu sampai aku tak mendapatkan jam istirahat? Huh, menyebalkan.
                “Kim JangLi, kau sedang apa?” seseorang menghampiriku dan duduk di sampingku. Aku membelalakan mataku melihat siapa yang kini di sampingku. Kim Myungsoo! Myungsoo! Ah, Myungsoo Myungsoo Myungsoo! Kau benar-benar membangkitkan semangatku. (u,u)
                “Ah, aniyo. Aku.. aku.. Aku sedang..”
                “Mengerjakan tugas?” tukasnya.
                “Ah! Ne! Kau benar! Aku malas mengerjakan di rumah. Jadi lebih baik aku mengerjakan di sekolah. Lebih cepat kan lebih baik.” Ucapku berbohong. Demi cintaku ini, bohong sedikit juga tak apalah. *author sesat*
                “Ne, kau benar. Ada yang bisa ku bantu?” tanyanya. Ini kemajuan. Tak biasanya Myungsoo bersikap begini padaku. Ataukah ini hanya keajaiban. Terserahlah. Aku punya kesempatan untuk mendekatkan diriku pada Myungsoo.
                “Ye, aku tak mengerti ini. Bisa kau ajari ini?” tanyaku penuh harap.
                “Tentu saja.” Jawab Myungsoo sambil memandangi bukuku. Ia menyerutkan dahinya tampak sedang berpikir. Aku memandanginya sok antusias. Myungsoo menghela nafasnya.
                “Ini mudah. Hukum gerak Newton dibedakan menjadi 3. Hukum Newton 1 adalah Hukum Inersia/Kelembaman. Disebut juga hukum kemalasan, karena benda diam atau bergerak konstan. Sigma F = 0. Hukum Newton 3 memiliki gaya, masa dan percepatan.” Jelas Myungsoo. Aku hanya ber-oh-oh memandanginya. *ini pelajaran IPA kelas 8 SMP. Ketauan deh authornya geblek :p*
                “Hukum Newton 3, F. aksi = F. reaksi. Sama halnya seperti cinta.”
                “Mwoga?” tanyaku tak mengerti. Myungsoo melirik ke arahku. Pandangan matanya tajam menatapku. Jantungku berdegup. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
                “Hukum Newton 3, ada aksi, ada reaksi. Cinta, jika kita memberi aksi pada orang yang kita cintai, orang itu akan bereaksi terhadap kita.” Myungsoo menatap mataku lekat. Ap yang dia lakukan sebenarnya? Ia membuatku mematung
                BRAK!! Suara itu menghamburkan pandangan kami. Myungsoo menjauhkan wajahnya dari wajahku. Kami mencari asal suara itu. Suara buku terjatuh. Seorang namja mengambil buku yang jatuh itu.
                “Sunwoo, kau sedang apa?” Tanya Myungsoo. Sunwoo? Sedang apa dia di sini? Menjadi nyamuk. Nyamuk penggangguuuuuuuuuuuu.
                “Ah, eum, aku ingin membaca buku ini.” Kata Sunwoo sambil menunjukkan buku yang dipegangnya. Ia menghampiri kami. Myungsoo menoleh pada buku itu dan membaca judulnya.
                “Book to Solve Problems Easily Without Any Problem That Makes The Problems.”
                “Buku apa itu? Judulnya panjang sekali.” Komentarku. Sunwoo cemberut dan menggebrak meja di perpustakaan.
                “Yaa! Buku ini diperuntukkan untuk orang yang ingin sukses sepertiku. Buku ini menunjukkan bagaimana cara berpikirku, yaitu PAKAI OTAK!” serunya sambil menujukan jari telunjuknya ke arah kepalanya.
                “Yaa! Kau pikir aku ini orang yang tidak bisa berpikir dengan otak, huh?” seruku ketus. Myungsoo memegang tanganku secara tiba-tiba.
                “Sudahlah, tak usah berteriak seperti itu.” Ucap Myungsoo. Benar juga. Aku ini malu-maluin. Sifat sangarku ketahuan deh.
                “Chopta. Makanya kau ini jadi yeoja jangan sering berteriak keras seperti itu. Seperti preman pasar.” Ledek Sunwoo. *di Korea ada gitu preman pasar?* Aku mengepalkan tanganku. Aku mengambil buku-ku dan melempar ke arahnya. Ia menghindar, dan buku itu tak mengenainya. Ia menjulurkan lidahnya dan segera berlari menjauh.
                “Cih, dasar.” Keluhku. Aku menghela nafasku berusaha menenangkan diriku.
                “JangLi, kau akrab dengan Sunwoo ya?” Tanya Myungsoo.
                “Mwoga? Ah, aniyo. Aku dan Sunwoo hanya berteman. Tak ada apa-apa. Sunwoo itu menyebalkan. Dia itu sering meledekku.” Terangku.
                “Ya, sudah. Kalian akrab itu kan bagus.”
                “Bagus? Tidak ada yang bagus! Aku bahkan tak ingin berteman dengannya. Sudahlah lupakan.” Ujarku. Myungsoo hanya mengangguk. Sunwoo, kau merusak saat-saat indahku bersama Myungsoo.
                “Oh, ya. JangLi, OSIS akan mengadakan Festival Atletik. Kau ikut ya?”
                “Festival Atletik?”
                “Ne. Kami mengadakan ini setiap tahun. Ini festival olahraga, tapi lebih mengkhususkan ke atletik. Kau mau ikut kan?” Tanya Myungsoo penuh harap.
                “Eum, ne. Aku pasti ikut.” Ucapku. Ya Tuhan, seumur hidupku yang namanya berolahraga benar-benar sulit untuk kulakukan. Sulit karena banyak faktor. Faktor aku tak bisa berolahraga, jarang olahraga dan.. malas. Tapi aku memaksakan hal ini. Tak apalah. Toh, berolahraga tak ada ruginya.
*****
At Athletic Festival…
                Aku mencari-cari Myungsoo. Orang yang mengajakku ke tempat ini. Benar-benar menyebalkan. Helooooooooo.. ini Festival Atletik atau Audisi Mencari Model, huh? Semua yeoja di sini cantik dan modis, sedangkan aku? Boro-boro cakep -_-. Tapi tak apalah, aku ingin menemui Myungsoo.
                Akhirnya aku menemukan Myungsoo yang sedang duduk di pinggir lapangan. Ia sedang membenarkan ikatan tali sepatunya. Aku menghampirinya. Tarik nafas dalam-dalam..
                “Annyeong hasimnikka, Myungsoo-sunbae!” sapaku dengan lantang.
                “Ah, annyeong, JangLi-ah..” ucap Myungsoo sambil menoleh ke arahku. Aku duduk di sampingnya.
                “Lomba apa yang Sunbae ikuti?” tanyaku. Yah, aku tahu, aku sok akrab.
                “Entahlah. Mungkin lari jarak jauh, tolak peluru, estafet.. banyak.” Terangnya.
                “Eumm.. Sunbae..”
                “Ne?”
                “Maukah kau menjadi pasanganku dalam Lomba Lari Berpasangan?” tanyaku ragu. “Mwo?” Myungsoo tampak sedikit heran. Aku hanya bisa berharap Tuhan mengabulkan doaku. Lalu Ia menghela nafasnya.
                “JangLi.. Aku akan ikut dalam Lomba Lari Berpasangan dan.. euh.. aku sudah punya pasangan jadi.. mianhaeyo..” ucapnya. Nafasku tercekat.
                “Oh, geuraeyo? Oh, gwenchanha. Aku akan mencari pasangan lain. Semoga sukses. Hwaiting!” seruku sambil mengepalkan tanganku. Aku beranjak dari kursi dan berjalan entah kemana. Aku menghembuskan nafas penyesalan. Doaku tak terkabul. Lomba Lari Berpasangan, setiap peserta memiliki pasangannya, putra dan putri. Kemudian salah satu kaki mereka diikat dengan tali. Aku sangat berharap melakukannya dengan Myungsoo. Tapi mau bagaimana?
                BRUK! Aku menubruk seseorang di hadapanku. Aigo, aku terlalu banyak melamun sehingga aku tak memperhatikan jalanku dan siapa yang ada di depanku.
                “Mianhamnida jeongmal.” Ucapku sambil menyatukan kedua telapak tanganku yang berarti meminta maaf. Aku melihat siapa yang ada di hadapanku. Yah, Sunwoo lagi.
                “Kenapa kau ini? Melamun terus. Ada apa, huh?” tanyanya dengan nada kasar.
                “Aniyo, tidak ada apa-apa.” Kataku berbohong. Jelas saja ada apa-apa. Aku ditolak Myungsoo. Baru mengajaknya menjadi pasanganku dalam Lari Berpasangan saja sudah ditolak, bagaimana mau menjadikannya pasanganku sesungguhnya? Hufth. Tiba-tiba sesuatu terlintas di pikiranku. Apakah aku akan berpasangan dengan Sunwoo dalam Lari Berpasangan. Ah, andwae! Lebih baik tidak ikut deh.
                “Geureongayo? Aku tak yakin.” Katanya. Aku terus berjalan. Untuk apa aku datang ke Festival Atletik? Aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang ada aku hanya bengong kaya kambing conge. *eeaa*
                “Yaa! Nona penuh Luka! Kau ikut Lari Berpasangan?” seru Sunwoo. Jantungku seperti berhenti, tekanan darahku naik rasanya. Mengapa orang ini seperti habis membaca pikiranku.
                “Kenapa kau tanyakan itu?” tanyaku.
                “Aniyo. Hanya bertanya. Kau kan pasti berpasangan dengan Myungsoo. Kenapa kau masih di sini?” Sunwoo balik bertanya padaku.
                “Ah, tidak seperti itu. Myungsoo sudah punya pasangan.” Ucapku. Sunwoo menyerngitkan dahinya. “Mwo? Waeyo?”. Aku hanya mengangkat kedua bahuku.
                “Nona Penuh Luka.. Maukah kau menjadi pasanganku? Eum, maksudku pasanganku dalam Lari Berpasangan?” tanyanya tiba-tiba. Aku merinding mendengarnya.
                “Mwo? Kau sudah gila? Kenapa kau tiba-tiba mengajakku?”
                “Jadi kau tidak mau ya? Kalau tidak mau ya sudah.” Ucapnya lalu bergegas pergi. Aku hanya diam mematung di tengah lapangan. Aku berpikir sejenak. Aku tak bisa melakukan apa-apa dalam kegiatan atletik. Masa aku di sini hanya menonton? Lebih baik aku pulang. Tapi aku sudah terlanjur datang ke sini. Jadi?
                “Baramjji!!” panggilku. Sunwoo menghentikan langkahnya dan menoleh padaku. “Ye?”
                “Eum, geuraeyo. Aku eum.. Aku menjadi pasanganmu dalam Lari Berpasangan.” Ucapku ragu. Sunwoo tersenyum. “Jeongmal? Kau yakin?”
                “Yaa! Kau kan yang mengajakku. Kenapa malah kau yang ragu?” tanyaku. Sunwoo menarik tanganku. “Kita daftar. Kajja!” ucapnya sambil tersenyum lebar. Namja ini ada-ada saja. Pasti aku sudah gila menerima permintaannya. Naega michyeo.
                Sunwoo mendaftarkan ‘kami’ ke Lomba Lari Berpasangan. Entah apa yang ada di pikiranku saat ini. Aku sendiri pun heran mengapa kekecewaanku pada Myungsoo berujung menjadi pasangan Sunwoo. Sunwoo menghampiriku dan membungkuk di hadapanku. Ia memegang kakiku.
                “Yaa! Mau apa kau?”
                “Aish, kemarikan kakimu!” serunya sambil menyatukan kaki kiri-ku ke kaki kanan-nya. Ia lalu mengikatkan tali pada kaki kami. Aku cemas, aku tak yakin aku bisa berjalan dengan baik. Sunwoo selesai mengikat tali itu dan berdiri di sampingku.
                “Pelan-pelan. Jangan terburu-buru.” Ujarnya. Aku mengatur langkahku. Kami berjalan secara perlahan. Rasanya lama sekali. Berjalan saja susah. Bagaimana berlari?
                Lomba pun hampir berlangsung. Aku sedikit menoleh ke arah Myungsoo. Ia sedang melatih langkahnya bersama pasangannya. Siapa gadis itu? Membuatku kesal saja. *FYI, Myungsoo pasangannya author #plak #authormaruk*
                Peluit pun ditiup tertanda perlombaan dimulai. Semua peserta sudah mulai berlari. Aku dan Sunwoo masih berlari kecil. Kami mempercepat langkah. Kami berlari dengan cukup cepat. Aku tahu, kami tidaklah kompak. Itu membuatku jatuh. Ya, aku jatuh.
                BRAK! Aku terjatuh dengan posisi yang benar-benar paling sangat tidak baik sekali. Wajahku mencium tanah dan tanganku kurentangkan seperti gagal menyelam ke air. Dan Sunwoo, karena kakinya terikat bersamaku, jelas saja ia ikut terjatuh. Aku mecoba bangun dan duduk di arena lari. Sunwoo juga ikut duduk di sampingku. Untung saja lintasan ini mempunyai jarak yang panjang dan tak banyak orang yang menonton pertandingan ini. Kalau banyak yang memperhatikan kami, matilah aku. Mau di taro dimana mukaku? *mau ditaro dimana… nyanyi armada :p*
                “Aigo, menyedihkan sekali.” Aku memandangiku lututku yang kini penuh goresan luka. Rasanya perih sekali. Aku memeganginya. Sunwoo menatap lukaku itu.
                “Kau terluka? Apa memang kau ditakdirkan terluka?” tanyanya seperti mengejekku. Aku merenggut kesal. Hatiku benar-benar menyesal hari ini. Hari yang kuharapkan menjadi baik bagiku ternyata malah menjadi buruk.
                “Sial. Hari ini sudah ku rencanakan dengan baik. Seharusnya aku bisa mengikuti lari berpasangan ini dengan Myungsoo-sunbae dan memenangkannya dan tak berakhir seperti ini. Myugsoo-sunbae berpasangan dengan orang lain dan aku malah berpasangan denganmu. Sekarang, aku malah terluka lagi. Sakit…” Aku mengungkapkan semua uneg-uneg dan perasaan kesalku di depan Sunwoo tanpa di hipnotis Uya Kuya. (?)
                “Kau menyukai Myungsoo?” Tanya Sunwoo tiba-tiba. Aku menoleh padanya “Kalau iya, memangnya kenapa?” Sunwoo hanya diam.
                “Jadi kau ingin memenangkan Lomba Lari Berpasangan ini dengannya? Begitu?” Tanya Sunwoo lagi. Kini giliran aku yang diam. Sunwoo melepaskan tali yang mengikat kedua kaki kami.
                “Kenapa kau lepaskan?” tanyaku. Sunwoo menatapku. Ia menarik tanganku dan membuatku berdiri. Aku berdiri dengan sedikit kesulitan. Sunwoo menaikkan aku ke punggungnya.
                “Yaa yaa yaa! Apa yang kau lakukan, huh? Yaa! Turunkan aku!” aku meronta-ronta di atas punggung Sunwoo. Sunwoo dengan tiba-tiba menggendongku. *adegan wajib FF gue. Hahah XD* aku memukul-mukul bahunya.
                “Yaa! Kenapa kau menggendongku! Aku kan masih bisa berjalan. Dan aku bukan bayiiiiiiii..” seruku seperti anak kecil yang minta mainan. Sunwoo berjalan sambil berlari kecil.
                “Kau lelet. Lagipula kakimu juga terluka. Kau ingin menang kan? Ini cara untuk dapat membuatmu menang dalam lomba ini.” Ucapnya. Aku melongo menatapnya.
                “Tapi kan tidak seperti ini juga. Baiklah, tak menang juga tak apa. Kita berjuang bersama saja untuk memenangkan lomba ini. Jadi, turunkan aku sekarang!” teriakku. Sunwoo tersenyum “Bagaimana kalau aku tak mau?”
                “Mwoga? Begitukah? Huh? Cepat lakukan! Kalau tidak, aku akan mencabut dua gigi tupaimu itu! Cepat turunkan aku!! Sekarang!!” seruku sambil terus meronta. Sunwoo tertawa.
                “Hahaha.. Geurae, tak bisakah sabar sedikit?” ucap Sunwoo. Ia lalu merendahkan posisi tubuhnya dan menurunkanku dari punggungnya. Aku berdiri dengan kaki yang masih terasa perih. Untuk kali ini tak apalah, jika bersama Myungsoo, belum tentu juga aku akan berhasil.
                Sunwoo mengikatkan lagi kakiku dan kakinya. Kami kembali mengatur langkah. Sunwoo menggenggam tanganku dan tersenyum padaku. “Hana, dul, set!” Sunwoo menghitung dan kami mulai berlari lagi. Jarak lintasan masih cukup panjang. Hebatnya kami bisa menyusul beberapa pasang peserta.
                Kami sebentar lgi ke garis finish. Aku dan Sunwoo tetap berlari konstan. Dan akhirnya kami bisa menuju ke garis finish. Ya, kami berhasil! Yeyeyey akhirnya! XD Apa kami menang? Tentu saja tidak. Kalau kami menang, pasti ada seorang ibu peri nyasar member keajaiban pada kami. Tapi ya itu tidak mungkin. Tentu kami tidak menjadi juara, tapi entah ada rasa bangga tersendiri bagiku dan Sunwoo.
                Aku duduk di samping Sunwoo untuk melepaskan ikatan di kaki kami berdua. Setelah ikatan tali itu terlepas, aku memijat-mijat kakiku. “Pegaaaal..”
                “Mau minum?” tawar Sunwoo. Aku menoleh ke arahnya yang sedang memegang 2 botol jus jeruk. Aku nyengir lebar kaya kuda. Sunwoo memberikan itu untukku dan aku menerimanya.
                “Gomawoyo.” Ucapku kemudian. “Cheonmaneyo.” Katanya lalu meneguk jus jeruk miliknya. Aku lalu meminum jus jerukku yang membasahi kerongkonganku. Aku diam sejenak menikmati angin musim gugur yang sebentar lagi akan berakhir. Dari kejauhan, aku memandang Myungsoo. Ia sedang tertawa bersama teman-temannya. Lalu ia menglap wajahnya yang penuh keringat. Sekseh gila.
                “Kau benar-benar menyukai Myungsoo ya?” Tanya Sunwoo yang tampaknya menyadari sedari tadi aku sedang memperhatikan Myungsoo. Aku tergagap. Apa aku jujur saja pada Sunwoo?
                “Arata. Aku bisa melihatnya.” Katanya lalu kembali meminum jus jeruknya. Aku menatapnya. “Apakah terlalu jelas aku menyukainya?” tanyaku kemudian. “Ne.” jawabnya lalu terdiam tampak berpikir. “Mungkin aku bisa membantumu.”
                “Mwo? Maksudmu? Geuraeyo? Jinjja? Jeongmal??” tanyaku bertubi-tubi. Sunwoo tampak heran menatapku. “Aku kenal baik Myungsoo. Biasanya setelah musim gugur, ia akan bermain ski di awal musim dingin.” Jelasnya. Mataku berbinar. Aku seperti mendapat hidayah. *eeaa*
                “Jeongmal? Eottokhaeyo? Terakhir kali aku bermain ski pada umur 6 tahun. Itu juga aku terjatuh terus dan tak terhitung jari jumlahnya..” ucapku.
                “Bwahahaha.. ternyata nasib kau terluka memang sudah bawaan dari kecil.” Kata Sunwoo sambil terkekeh. Aku cemberut dan memukul bahunya. Sunwoo masih terus saja tertawa.
*****
                Musim gugur berlalu, musim dingin pun datang. Aku tak benar-benar yakin akan bermain ski dengan Myungsoo. Yah, ini salah satu cara mendekatinya. Lagipula, sampai kapan ini akan berakhir? Cepat atau lambat aku harus mengungkapkan perasaanku pada Myungsoo. Bahkan aku sudah menyusun skenario dan strategi untuk hal ini.
Aku bermain ski -> Aku bertemu Myungsoo -> Aku tidak bisa main ski -> Myungsoo dengan sabar mengajariku main ski -> Kami punya waktu berduaan -> Aku mengungkapkan perasaanku pada Myungsoo -> Myungsoo menerimaku -> Kami berciuman :*
                Baiklah, mungkin scenario-ku terlalu berlebihan. Tapi entah sejak kapan aku memikirkan hal itu dan mudah-mudahan itu bisa terlaksana. Doakan saya ya! *eeaa*
                Aku nekat pergi saat musim dingin begini. Salju sudah menumpuk di halaman rumah dan di sepanjang jalan kota Seoul. Aku menaiki kereta gantung yang menuju bukit yang kini di penuhi salju. Di sinilah orang-orang biasa bermain ski. Aku bingung mau berbuat apa di sini. Salahku juga sih datang sendirian di tempat ini. Aku lalu mencoba bermain ski setelah berapa tahun lamanya aku tak bermain ski. Aku melesat dengan cepat dan aku tak bisa berhenti. Dan akhirnya aku terpuruk. Apa yang kemarin diucapkan Sunwoo itu seperti doa, ya? Tapi biasanya juga ia yang menolongku. Jadi ia itu pembawa sial sekaligus malaikat. Ah, mengapa aku memikirkan Sunwoo di saat-saat begini?
                “Kim JangLi? Kau JangLi kan?” seseorang menghampiriku. Kim MyungSoo! Myungsoo di hadapanku! Ternyata benar kata Sunwoo, Myungsoo memang suka berada di tempat ini saat musim dingin tiba.
                “Mau kubantu?” tanyanya sambil mengulurkan tangan. Aku meraih tangannya.
                “Gamsahamnida, sunbae.” Ucapku sambil membungkukkan badanku.
                “Gwenchanha. Kau suka bermain ski?” Tanya Myungsoo. Aku menggeleng.
                “Ah, aniyo. Aku hanya sedang mencari kesibukan di saat liburan. Sudah lama aku tak bermain ski, jadi aku tak begitu bisa. Sunbae, kau sering bermain ski ya?” Ucapku. Myungsoo tersenyum lebar dan mengajakku berjalan-jalan di pinggir arena.
                “Ne, darimana kau tahu? Apa Sunwoo yang memberitahumu?” tanyanya. Memang seperti itu sih kenyataannya. Apa dia bisa membaca pikiranku?
                “Aniyo. Aku kan hanya mengira-ngira.” Jawabku asal.
                “Geuraeyo. Aku teman dekat Sunwoo. Kulihat kau sangat dekat dengan Sunwoo. Kupikir ia yang memberitahumu. Ku rasa ia menyukaimu. Apa kalian pacaran?” Terka Myungsoo. Jantungku berdegup kencang. Bagaimana bisa Myungsoo berpendapat seperti itu?
                “Andwae. Kenapa sunbae berpendapat seperti itu?” tanyaku.
                “Kau itu kan dekat sekali dengan Sunwoo. Setiap aku melihatmu pasti kau bersama Sunwoo. Sunwoo selalu menolongmu, bahkan saat kalian belum saling mengenal.”
                “Belum saling mengenal? Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
                “Apa kau tak tahu? Sunwoo yang menolongmu saat kau pingsan waktu itu.” Jelasnya.
                “Pingsan?” Myungsoo hanya menggangguk padaku. Pingsan. Aku mengingat saat aku masuk ke sekolah ini.
~Flashback~
                Menjadi murid KyungHee High School memang tak mudah. Harus punya mental baja dan hati batu untuk bisa menghadapi guru-guru yang layaknya devil itu. #plak Baru sehari aku menjadi siswi sekolah ini, serasa ingin mati saja. Masa hanya karena aku tidak mengerjakan tugas, aku harus di jemur di siang panas begini? Emangnya ikan asin pake di jemur segala? :p
                Sudah hampir 30 menit aku berdiri di tengah lapangan. Bodohnya aku belum sarapan pagi tadi. Benar-benar mengesalkan. Hari ini menjadi hari terburukku. Sekarang aku tambah pusing. Pandangan mataku menjadi remang-remang. Bumi serasa terbalik. Dan tiba-tiba segalanya menjadi hitam. Gelap.
Author’s POV…
                JangLi kehilangan kesadarannya. Ia kelelahan dan jatuh pingsan. Tak ada siapapun yang melihatnya. Saat itu Sunwoo yang sedang berlari melewati koridor sekolah memandangi JangLi yang berbaring terkapar di tengah lapangan. Sunwoo mendekati yeoja itu. Sunwoo menatap wajahnya dan memukul pelan pipinya. JangLi tak kunjung sadar. Sunwoo lalu membopong JangLi ke UKS. *markas favorit Baro di UKS nih :p*
                Sunwoo membaringkan JangLi di atas kasur ruang UKS. Ruang UKS sangat sepi. Mungkin karena petugas UKS sedang pergi. Sunwoo memandangi yeoja yang sekarang ada di hadapannya. Sunwoo menatapnya tanpa berpaling. Apa yang harus ia lakukan untuk membuat yeoja itu sadar. “Apa aku harus menunggunya?” Batinnya.
                Sunwoo mendekatkan wajahnya ke wajah yeoja itu dengan perlahan. Ia menyentuh bibir yeoja itu dengan jarinya. Kemudian ia memejamkan matanya…
                CKLEK! Pintu UKS pun terbuka. Sunwoo membuka matanya dan menjauhkan wajahnya dari yeoja tersebut. Ia lalu menoleh pada siapa yang masuk ke ruang UKS.
                “Yaa! Sunwoo kau sedang apa?” Tanya Myungsoo dari kejauhan. Myungsoo yang baru datang itu menghampiri Sunwoo.
                “Ehm, aku melihat yeoja ini pingsan di lapangan. Jadi, aku membawanya ke sini. Myungsoo-ah, aku harus pergi kau bisa jaga dia?” Tanya Sunwoo penuh harap. Myungsoo mengangguk. “Geurae.” Sunwooo lalu melangkah pergi keluar dari pintu. Sebelum keluar, ia memandangi Myungsoo dan yeoja itu, setelah itu ia berlalu.
                Setelah beberapa menit, JangLi tersadar. JangLi memandang sekeliling dan menatap Myungsoo yang sedang duduk di kursi. *yaiyalah masa duduk di genteng :p* Myungsoo lalu menoleh pada JangLi dan menghampirinya.
                “Kau sudah bangun?” Tanya Myungsoo. JangLi hanya mengangguk. Ia terus menatap wajah namja di depannya itu. Seketika seperti terhipnotis karena tatapan dan senyuman Myungsoo yang lembut.
“Yaa!” namja itu membuyarkan lamunan JangLi lalu tertawa kecil.
                “Ehm, kenapa aku ada di sini?” Tanya JangLi pada namja itu. Namja itu duduk di sampingnya.
                “Kau tadi pingsan di lapangan. Temanku membawamu kesini. Aku hanya tinggal menjagamu. Aku Kim MyungSoo. Aku ketua OSIS di sini. Kalau ada apa-apa kau panggil aku saja.” Kata Myungsoo.
 “Ah, ne. Gamsahamnida.”
~Flashback End~
JangLi’s POV…
                Aku baru mengingat itu. Myungsoo pernah bilang padaku bahwa temannya yang menolongku. Mungkin aku terlalu terpesona pada Myungsoo saat itu. Temannya.. siapa temannya itu.. Apa itu Sunwoo? Sunwoo.. itu pasti Sunwoo. Aku baru menyadari, yang menolongku sebenarnya adalah Sunwoo.
                “Annyeong, Myungsoo! Nuguyo?” seseorang menghampiri kami dan membuyarkan lamunanku. Seorang yeoja cantik menghampiri kami. Myungsoo menyapa yeoja itu.
                “Annyeong. Kau lama sekali. Oh, kenalkan, ini Kim JangLi, dongsaengku.” Kata Myungsoo pada yeoja itu. Mereka terlihat sangat akrab.
                “Oh, ne. Annyeong haseyo. Moon Sanbyul imnida. Naneun Myungsoo-ui yeojachingu.” Kata yeoja itu. Jantungku serasa berhenti. Aliran darahku berhenti, nafasku tercekat. Myungsoo.. kau sudah punya yeojachingu? Kim Myungsoo, kau yang selama ini ku inginkan, telah menjadi milik orang lain?
                “Bagaimana kalau kita main ski bersama?” Tanya Sanbyul dengan ramah. *FYI, Moon Sanbyul nama korea author, authornya maruk :p*
                “Ehm, aniyo. Kalian duluan saja. Aku ingin istirahat dulu.” Tolakku pada mereka. Mereka tersenyum padaku. “Geurae, kami duluan. Chamjohasibsiyo.” Kata Myungsoo. Myungsoo lalu menggenggam tangan yeoja itu. Mereka berjalan bersama. Hatiku remuk seketika. Seperti ada yang meremas hatiku dengan kuat. Sakit.
                Aku berjalan-jalan di pinggir jalan raya. Aku sudah tak berniat main ski lagi. Sudah tak ada harapan rasanya. Aku berjalan tanpa arah. Aku bingung ingin ke mana. Tak ada tujuan. Mengetahui Myungsoo sudah menjadi milik orang lain, rasanya sesak sekali. Aku ingin menangis. Usahaku selama ini seperti tak ada artinya. Sesuatu terlintas di pikiranku. Sesuatu kembali teringat. Aku lalu berlari menuju halte bis. Dan menaiki bus yang lewat saat itu.
                Setelah sampai aku turun dari bis. Aku berlari kecil menuju suatu tempat. Aku berdiri di depan sebuah restauran. Perkiraanku tepat. Sunwoo ada di sana. Saat liburan seperti ini, ia masih harus bekerja. Aku hanya memperhatikannya dari kejauhan. Sesaat kemudian, Sunwoo menyadari keberadaanku. Aku lalu masuk ke dalam restaurant. Sunwoo menghampiriku dan menatapku heran.
                “Waeyo?” tanyanya. Pandanganku terlihat buram. Mungkin mataku sekarang sudah berkaca-kaca. Aku mendekatinya dan memeluknya. Sunwoo heran melihatku yang bertingkah aneh di depannya. Entah kenapa, aku merasa ingin berada di dekatnya sekarang.
                “Karena Myungsoo?” tanyanya lagi. Aku tak menjawab. Ia tahu seakan bisa membaca pikiranku. Sekarang air mataku sudah membanjiri pipiku. Sunwoo orang yang mengerti diriku. Aku memeluknya semakin erat. Hatiku terasa lega.
                “Yaa! Jangan menangis terus.” Serunya. Ia melepaskan pelukanku. Ia mengadahkan wajahku dan kini aku menatap wajahnya. Ia memegang pipiku dan menghapus air mataku. Aku masih sesenggukan.
                “Geurae. Duduklah dulu.” Pinta Sunwoo. Ia menyuruhku duduk. Ia lalu memasuki dapur restaurant. Tak lama kemudian ia kembali dan duduk di hadapanku. Ia menyodorkan secangkir coffee milk padaku.
                “Minumlah. Biar aku yang traktir.” Katanya sambil tersenyum. Aku diam dan terus memandanginya tak berkedip. *gagitu juga sih* Sunwoo.. orang yang selama ini menolongku saat terluka. Dan saat aku terluka karena Myungsoo, Sunwoo ada di hadapanku menenangkan diriku.
                “Yaa! Kau kenapa, huh? Kau tak seperti Nona Penuh Luka yang kukenal. Meskipun kau terluka kau tak pernah menangis. Dan hanya karena ditolak Myungsoo kau menangis seperti ini. Memangnya segitu cintanyakah kau pada Myungsoo?” tegur Sunwoo.
                “A.. aku.. aku belum mengungkapkan perasaanku.” Ucapku terbata.
                “Mwo? Maksudmu? Lalu mengapa kau menangis?” Tanya Sunwoo.
                “Myungsoo.. Ia sudah punya yeojachingu.”
                “Mwo? Myungsoo tidak bilang apa-apa padaku. Sejak kapan? Seharusnya kan ia bilang dulu padaku. Jadi aku kan bisa memberitahumu sehingga..”
                “Baramjji..” aku memanggilnya pelan. Sunwoo berhenti bicara. Aku saling bertatapan dengannya. “Apa kau pernah menolongku saat aku pingsan?”
                “Kenapa kau tanyakan itu?” Tanya Sunwoo.
                “Pabo. Kenapa kau tak bilang padaku? Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Gamsahamnida.” Ucapku sambil membungkukkan badan. Sunwoo terperangah menatapku. Aku lalu berdiri. “Terima kasih untuk segalanya. Aku pergi dulu. Annyeong.” Ucapku lagi lalu bergegas keluar dari restaurant.
                “Yaa! Chamkanman!” suara Sunwoo tampak menghentikanku. Aku menoleh padanya.
                “Apa kau datang hanya ingin mengatakan itu?” Tanya Sunwoo. Aku terdiam. Lidahku kelu, tak bisa mengucapkan apa-apa. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Lalu aku beranjak pergi. Sebaiknya aku pulang.
                Aku berjalan kaki menuju halte. Aku lalu mengadahkan kepalaku ke langit. Aku memikirkan lagi ucapan Sunwoo tadi. Apa aku datang hanya untuk mengucapkan terima kasih padanya? Ya, hanya itu. Aku berterima kasih atas segalanya. Ia sudah banyak menolongku.
                Aniyo. Tak hanya itu. Aku ingin berkata aku membutuhkannya. Aku ingin dekat dengannya. Aku ingin bersamanya. Aku nyaman bersamanya. Aku.. menyayanginya.
                Tiba-tiba aku terpeleset. Aku melamun dan tak memperhatikan langkahku. Aku terguling ke dalam sebuah jurang. Oh, Tuhan tolong aku. Aku mencoba naik tapi tak bisa. Salju terlalu menumpuk dan membuat licin. Aku tak bisa mendaki ke atas. Tiada siapapun di sekitarku. Aku lalu mengecek ponselku. Sial, tak ada sinyal. Udara sangat dingin. Aku sendirian. Ya, Tuhan.. apa yang harus aku lakukan? Aku tak bisa meminta bantuan ke siapapun. Sunwoo selalu menolongku saat aku terluka. Dan sekarang aku terperosok ke dalam jurang salju. Bagaimana ini? Sunwoo tak ada di sampingku. Sunwoo, tolong aku.. Tolong aku…
                Aku memeluk kakiku. Nafas putihku semakin terlihat. Aku kedinginan. Mungkin tubuhku sebentar lagi membeku. Aku hanya berpasrah di tengah hujan salju yang kian datang. Aku menangis lagi. Aku tak ingin di sini. Aku ingin pulang. Oh, Tuhan. Oh, Eomma. Oh, Appa. Oh, Sunwoo..
                “Yaa! Nona Penuh Luka! Kau mau merepotkanku lagi, huh?” teriak seseorang di atas. Aku mengadahkan kepalaku melihat sosok orang yang memanggilku. Aku tahu orang itu. Sunwoo datang padaku. Apa ia punya satelit untuk melacakku? Wajahnya tampak cemas menatapku. Syukurlah.
                Sunwoo mengulurkan seuntai tali. “Naiklah!” serunya. Aku hanya menurutinya. Aku memegang erat tali itu. Hingga aku sampai ke puncak. Sunwoo mengulurkan tangannya dan aku meraihnya. Aku akhirnya selamat.
                “Gwenchanhayo?” Tanya Sunwoo. “Gwenchanha.” jawabku.
                “Syukurlah.” Sunwooo menarik tubuhku ke pelukannya. Ia memelukku sangat erat. Aku merasa hangat berada di pelukannya.
                “Pabo. Kau tahu tidak? Kau itu lama sekali datang. Aku sudah hampir membeku tadi.” Ucapku. Sunwoo tertawa.
                “Aku tau. Kau tahu tidak? Kau selalu saja membuatku khawatir.” Ucapnya.
                “Aku tahu. Makanya aku bersyukur terperosok ke dalam jurang.”
                “Mwo? Kenapa begitu? Kau ingin mati atau hanya ingin membuatku khawatir, huh?” kata Sunwoo.
                “Aniyo. Aku ingin bertemu lagi denganmu. Ada yang harus aku sampaikan padamu.”
                “Mworago?” Tanya Sunwoo.
                “Baramjji.. saranghae.” Ucapku seketika. Sunwoo terdiam dan menatapku dengan terkejut. Entah apa yang membuatku mengatakan itu. Tapi itulah yang sebenarnya inginku katakana.
                “Yaa! Kau mabuk? Kau keracunan? Atau kau kesurupan? Kenapa tiba-tiba.. kau.. kau kan menyukai Myungsoo tapi.. kau.. Kau bercanda?”
                “Aku serius. Aku memang menyukai dan mengagumi Myungsoo-sunbae. Orang yang sebenarnya kucintai adalah dirimu, Baramjji.” Ucapku dengan yakin. Sunwoo makin tergagap.
                “Kenapa kau baru bilang sekarang?” Tanya Sunwoo.
                “Aku baru menyadarinya.”
                “Babo!! Kenapa kau baru sekarang menyadarinya? Seharusnya kau menyadari ini lebih cepat. Jadi aku tak perlu sakit hati jika kau bersama Myungsoo. Aku sudah cukup sabar menunggumu.”
                “Ye?” tanyaku mmasih tak mengerti. Sunwoo lalu mencium bibirku. Yaa yaa yya! Apa yang dia lakukan? Aku mendorong tubuhnya dan melepas ciumannya.
                “Yaa! Kenapa kau lakukan itu?!”
                “Karena aku mencintaimu.. Kim JangLi, maukah kau menjadi yeojachingu-ku?” Tanya Sunwoo. Aku benar-benar tak percaya. Sunwoo juga menyukaiku. Bahkan lebih lama daripadaku. Dan untuk pertama kalinya ia memanggilku.. memanggilku dengan namaku.. ia memanggilku Kim jangLi.
                “Apa aku tak boleh menolakmu?” tanyaku. Sunwoo tersenyum lebar. Ia lalu menciumku lagi.
*****
                Aku mencoba mengambil buku di rak buku milik perpustakaan. Buku itu tinggi sekali sehingga aku harus menggunakan tangga. Aku menggeser tangga untuk mengambil buku. Yah, memang resiko orang pendek, aku tetap sulit mengambil buku itu. Aku mencoba menggapainya tapi aku tak bisa meraih buku itu. Oh, tidak. Aku tak bisa menjaga keseimbanganku. Lalu aku terjatuh.
                “Mamaaaaa!!” aku berteriak sambil menutup mataku. Anehnya aku tak merasakan sakit. Aku membuka mataku dan melihat seseorang di hadapanku. Ia menggendongku saat aku terjatuh tadi. Tepat sekali.
                “Ada yang bisa kubantu, Nona Penuh Luka?” Tanya namja itu. Namja itu adalah namjachinguku. Ia adalah Cha Sunwoo. Seorang pengurus OSIS yang menyebalkan, tapi baik hati.
                Kalau dipikir-pikir, aku tak mendapatkan orang yang selama ini ku inginkan. Kim Myungsoo, target cintaku telah menjadi milik orang lain. Usahaku selama ini untuk mendapatkan cintanya terasa tak berarti. Tapi siapa bilang? Di dunia ini yang namanya berusaha tak ada yang sia-sia. Aku memang tak mendapatkan Kim Myungsoo yang aku inginkan. Tapi aku mendapatkan yang terbaik, orang yang aku cintai. Dan orang itu adalah Cha Sunwoo. Intinya adalah, yang lebih penting bukan hasil yang di dapat, tapi usaha yang di jalani. So, FIGHTING! :D
-THE END-