Title : What A Beautiful Love
Genre : Romance
Length : 2 shoot
Cast :
Kim Eun Hwa
Jung Yong Hwa
=============================================================================
Oh baby,
oetoriya oetoriya ddaribiriddaradu~ oetoriya oetoriya ddaribiriddaradu~
oh
baby I'm a loner, I'm a loner. daridiridara du~ I'm a loner. I'm a loner.
daridiridara du~
Oetoriya oetoriya sarange seulpeohago sarange nunmuljitneun oetori
Oetoriya oetoriya sarange seulpeohago sarange nunmuljitneun oetori
I'm
a loner, I'm a loner. I'm a loner being sad at love, shedding tear at love
Sad sad sad sad sad sad sad tonight gaseumi apa
Sad sad sad sad sad sad sad tonight gaseumi apa
sad
sad sad sad sad sad sad tonight. My hurt hurts.
Oh no no no no nobody knows mam molla
Oh no no no no nobody knows mam molla
Oh
no no no no no body knows, how I feel.
One two three four five six seven night su manheun bameul
One two three four five six seven night su manheun bameul
one
two three four five six seven night, I'm cheering up myself
Seumyeo
nareul dallaego isseo
passing
many nights awake..
(CN Blue –
I’m A Loner)
Eunhwa’s POV…
“Permisi..
Maaf.. Maaf..”
Aku
menelusuri tengah keramaian koridor sekolah. Setumpuk buku pelajaran kini
ditanganku. Menyebalkan. Kenapa juga aku harus bertemu dengan
Aspita-Seonsaengnim. *maap ya bu pinjem nama :p* Bertemu dengannya itu berarti
‘mencari sesuatu yang merepotkan’. Kalau bukan karena dia, aku tak mungkin
membawakan buku sebanyak ini untuknya.
Brak! Semua
buku itu jatuh. Seseorang telah menabrakku sehingga buku itu terlepas dari
tanganku. Aku berusaha memunguti buku-buku yang berserakan itu. Tunggu dulu,
siapa yang menabrakku tadi? Bukankah biasanya di dalam cerita, orang yang
menabrak membantu memunguti dan meminta maaf? Memangnya siapa sih yang
menabrakku?
“Sombong
sekali. Apa karena ayahnya donator sekolah ini, ia jadi bersikap acuh tak acuh
seperti itu?” kata seorang yeoja. Pandanganku tetap pada buku-buku itu.
“Mungkin. Wajar
saja ia tak punya teman. Kerjaannya selalu saja menyendiri. Apa ia bisa hidup
tenang dengan cara seperti itu?” kata seorang yeoja satu lagi. Aku hanya
mendengar percakapan mereka. Aku lalu menoleh pada seseorang yang menabrakku
tadi. Ia orang yang dimaksud kedua yeoja itu. Seorang namja yang sendirian.
+++++
Aku mengikutinya. Entah apa yang
membuatku penasaran dari namja satu ini. Sungguh menarik. Lebih-lebih ia tak
pernah menyadari kehadiranku saat aku mengikutinya. Apa ia memang tak punya
perasaan, atau memang sengaja tak peduli padaku?
Aku sampai di atap sekolah. Tempat
ini betul-betul sepi. Sesaat kunikmati semilir angin yang berhembus mengibas
rambutku. Kini aku baru merasakan betapa tenangnya tempat ini. Pantas saja
namja itu hampir setiap hari ke sini. Atau mungkin malah setiap hari?
Fokusku kembali pada namja itu. Ia duduk
di sudut atap. Sekolah ini memang memiliki kawat berjaring-jaring disekeliling
atap sehingga aman. *araseo?* Dengan gitar di pangkuannya. Ia bermain gitar
sebentar lalu menulis sesuatu pada sebuah buku. Aku rasa ia sedang menulis
lagu. Apa ia bisa menulis lagu?
“Kenapa?”Tanya namja itu tiba-tiba.
Pandangannya tetap pada bukunya. Ia bicara sendiri atau..
“Kenapa kau mengikutiku? Apa kau
mata-mata? Tapi kau tak terlihat seperti mata-mata.” Kata namja itu lagi. Aku
rasa ia memang benar-benar mengajakku bicara. Berarti sedari tadi ia menyadari
kehadiranku. Ingin sekali rasanya menepuk kepalaku sendiri.
“Aku hanya.. mm.. Apa tidak boleh aku
ke sini?” tanyaku padanya. Ia lalu mengalihkan pandangan dari bukunya. Ia
memandangku. Ia menunjukku dengan jari telunjuknya lalu mengayuhkan tangannya,
tampak seperti menyuruhku menghampirinya. Gayanya benar-benar seperti
menghinaku. Membuatku ingin sekali menggampolnya. (?)
Aku hanya menurutinya. Biarkan saja
dulu ia yang menang. Aku berjalan menghampirinya. Ia mengadahkan kepalanya
menatapku yang kini berdiri di depannya.
“Mwoga?” tanyaku.
“Apa kau punya makanan?” ia balik
bertanya padaku.
“Huh?” ucapku tak mengerti. Apa-apaan
dia, makanan?
“Aku lapar. Kau punya makanan tidak?”
ia mengulangi pertanyaannya. Dengan wajah tanpa rasa bersalah seperti itu.
“Aniyo.” Ucapku kemudian.
“Ya sudah. Belikan aku makanan.”
Aku tertegun mendengar kata-kata itu.
Apa dia pikir aku ini pelayannya? “Shireo (no
way).” Aku berkata sambil memalingkan wajahku.
“Waeyo?” Tanya namja itu.
“Aku bukan pesuruhmu.” tukasku.
“Memang bukan. Aku tidak mengatakan
kau pesuruhku.” Balas namja itu.
“Pokoknya aku tetap tidak mau.”
Ucapku. Namja itu berdiri di hadapanku. Kini akulah yang harus mengadahkan
kepalaku menghadapnya.
“Ayolah..” katanya sambil berwajah
manja. Aku menggeleng.
“Mengapa kau tidak membeli sendiri?”
tanyaku kemudian.
“Jalannya jauh. Aku tak mau jalan
jauh-jauh.” Katanya lagi. Yaa, ia pikir aku mau jalan jauh-jauh?
“Pakai uangku..” namja itu
mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. Ia lalu menyerahkannya padaku. Apa
orang ini sudah terlalu banyak uang? Ia memberikan uang pada orang asing
sepertiku tanpa khawatir sama sekali. Ia benar-benar aneh.
“Bagaimana kalau suit saja?” tanyanya
kemudian.
“Suit?” aku balik bertanya. Namja itu
mengangguk. “Kalau aku kalah, aku akan membelinya tapi aku tak akan membagimu.
Kalau kau kalah, kau harus membelikannya untukku. Aku akan membagimu. Bukankah
itu impas?”
“Impas apanya?” tanyaku tak mengerti.
Namja ini ada-ada saja.
“Ayo suit! Hana, dul, set!” serunya
sambil membentuk jarinya menjadi bentuk gunting. Sementara aku tetap diam
menatapnya heran.
“Kenapa diam saja? Baiklah, ulangi
lagi. Hana, dul, set!” serunya. Aku akhirnya mengikuti permainannya. Lagipula,
aku punya firasat baik dalam hal suit-menyuit. *maap bahasanya-_-*
“Aku menang. Belikan makanan
untukku.” Namja itu menarik tanganku dan meletakkan sejumlah uang disana.
Omona, aku kalah suit. Kenapa kalah untuk saat saat penting seperti ini?
+++++
“Nih.” Ucapku sambil menyodorkan
kantung plastik besar berisi makanan yang baru saja kubeli. Entah kenapa aku
menyetujui permintaannya. Kenapa juga aku mau saja melakukan hal-hal konyol
seperti ini? Hufth..
Namja itu mengambil plastik besar
dari tanganku lalu membuka isinya. Aku lalu duduk di sampingnya. Melelahkan
juga. Kutarik nafasku lalu kuhembuskan. Untunglah, tempat ini tepat untuk
melepas lelah.
“Mau tidak?” tawar namja itu. Ia
menyodorkan sebungkus kripik tortilla
padaku. Aku menoleh padanya lalu mengambil sejumlah tortilla. Setelah aku memakannya, namja itu kembali memakan tortilla-nya. Setelah menelannya, ia
terdiam sejenak.
“Enak.” Katanya kemudian. Apa dia
baru kali ini mencicipi tortilla?
Kelihatannya ia bukan orang yang seperti itu.
“Aku sering makan tortilla. Tapi kenapa tortilla ini rasanya enak sekali?”
katanya pada dirinya sendiri.
“Mungkin karena aku yang membelinya.”
Ucapku sambil mengambil lagi tortilla
dalam bungkusnya. Aku mengunyahnya.
“Jeongmal? Kalau begitu, besok kau
belikan untukku lagi ya?”
“Uhuk uhuk!” aku tersedak mendengar
ucapannya. Omona. Salah, aku salah bicara. Ucapanku menjadi racun. Apa aku
harus menjadi pelayannya? Ah, andwaeeeeee…
“Kau kenapa? Gwaenchanha?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Gwaenchanha..” ucapku lalu menelan tortilla-ku yang macet di tenggorokanku.
“Oh.” Ucapnya singkat. Bagaimana dia
ini? Bukannya menawarkanku minum atau apa, ia hanya membalasku dengan kata
‘Oh’. *nyesek sekalee-_-*
“Berikan aku minum.” Pintaku padanya
yang masih sibuk dengan sebungkus tortilla di hadapannya. Ia lalu memberikanku
sebotol minuman. Aku lalu meneguknya perlahan. Takut-takut nanti tersedak lagi
kalau cepat-cepat.
“Oh iya. Kau siapa ya?” tanyanya
kemudian.
“Aku? Oh, Kim Eunhwa imnida. Aku
lebih sering dipanggil Eunhwa. Aku siswi kelas seni rupa di sini.
Bangabseumnida.”
“Ne.. Aku hanya tanya siapa dirimu.
Kau menjawab panjang sekali.” Kata namja itu. Aku memonyongkan bibirku lalu memutar
bola mataku.
“Oh ya, aku lupa. Jung Yonghwa
imnida.” Katanya lalu meneguk air mineral. Jung Yonghwa. Aku baru menyadari,
semenjak bertemu dengannya baru sekarang aku mengenalinya. Jung Yonghwa, harus
bagaimana aku memanggilnya?
“Bangabseumnida.” Ucap Yonghwa. Ia
menoleh padaku lalu tersenyum. Wajahnya begitu dekat denganku. Matanya yang
indah menatap kedua mataku. Aku menundukkan wajahku. Mencoba mengusir perasaan
yang tampak menggangguku.
“Ne, bangabseumnida.”
+++++
“Annyeong haseyo..” sapaku pada
Yonghwa. Ia menoleh padaku lalu memutar bola matanya. Yonghwa lalu terus
berjalan menuju atap sekolah. Seperti kemarin, aku mengikutinya lagi.
Sesampainya di atap, Yonghwa duduk bersandar pada pagar pembatas. Di sanalah ia
biasa duduk melakukan kegiatannya. Apa ia tak bosan melakukan hal yang sama
setiap harinya seperti itu? Setelah duduk, Yonghwa mengadah padaku.
“Untuk apa kau mengikutiku? Apa yang
kau inginkan dariku?” kata Yonghwa ketus.
“Aku hanya ingin ke sini. Apa tidak
boleh?” sahutku.
“Aniyo. Pergilah dari sini.” Yonghwa
mengusirku. Aku tau Yonghwa akan melakukan ini padaku.
Aku melepas tas-ku dan mengeluarkan
sesuatu dari dalamnya. Ku sodorkan sebungkus Tortilla padanya. Yonghwa menatapku dan tortilla itu bergantian. Ia tampak heran. Aku hanya menunggu
reaksinya setelah aku memberikan tortilla
padanya.
“Untukku?” Tanya Yonghwa. Aku
menggeleng. “Untuk kita. Setuju?”
Yonghwa tampak berpikir lama. Ia lalu
memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia lalu menarik nafas lalu
menghelanya. “Geurae. Itu tidak buruk.”
Aku lalu tersenyum penuh kemenangan menatapnya.
Tak ku sangka ini berhasil. Ternyata orang seperti Yonghwa mudah ‘disogok’
dengan hal hal seperti ini.
“Chotta! (bagus!)” seruku dengan senang seraya duduk manis di sampingnya. Yonghwa
menatapku sinis.
“Mengapa kau menatapku seperti itu?”
tanyaku sambil cemberut.
“Kau ini, kau… Kau resek sekali.”
Ucap Yonghwa tanpa ekspresi. Aku mengernyitkan dahi. Berani sekali orang ini
menyebutku resek. Apa aku terlihat seperti pengganggu? Atau aku memang
pengganggu? Sungguh, kalaupun aku mengganggu aku tak bermaksud seperti itu.
“Mwo-ya? Aku tidak bermaksud mengganggumu!
Hanya saja aku..” kalimatku terputus.
“Mwoga?”
“Hanya saja aku.. aku.. mmm.. Apa kau
tak bosan sendirian?” tanyaku. Yonghwa memalingkan wajahnya dan memandangi
langit yang masih berwarna biru cerah. Ia menghembuskan nafasnya lalu
memejamkan matanya.
“Nan oerowo johayo (aku suka
sendirian).” Katanya kemudian seraya mebuka matanya.
“Jinjjayo? Yaa, jika kau melakukan
suatu hal yang kau suka terus menerus, kau akan menjadi bosan. Arata?” jelasku.
“Oh, geurae. Lalu apa urusanmu jika
aku bosan, huh?” Yonghwa membentakku. Aku terkejut dan menjauhkan telingaku
karena suara Yonghwa yang begitu keras. Aku hanya tertunduk. Apa aku melakukan
hal yang salah?
Kami terdiam untuk sejenak. Tiba-tiba
Yonghwa mengulurkan tangannya padaku. Bola mataku berbinar menatap apa yang ada
di hadapanku. Yonghwa ingin meminta maaf padaku?
Aku menghela nafasku lalu memandang
Yonghwa yang menunggu reaksiku. Aku baru saja akan menyambut tangan Yonghwa dan
berjabat tangan dengannya. Namun, Yonghwa menarik tangannya. Huh?
“Mau apa kau?” Tanya Yonghwa
kemudian.
“Bukankah kau ingin berjabat tangan
denganku?” aku balik bertanya pada Yonghwa.
“Aniya. Tortilla-nya. Berikan padaku.”
“Mwo-ya???” tanyaku dengan nada suara
meninggi. Apa yang namja ini pikirkan sebenarnya? Seharusnya dia meminta maaf
karena telah membentakku. Apa dia tidak punya rasa bersalah?
“Ahh.. kau ini!” kataku dengan wajah
masam.
“Geurae. Aku akan memberikan ini
padamu. Tapi dengan syarat, aku boleh datang ke sini dan jangan bentak aku!
Araseo?” perintahku yang diikuti anggukan dari Yonghwa.
“Ne. Araseo.”
“Jangan cuma berkata ‘Araseo’. Kau
harus benar-benar melakukan yang aku perintahkan. Ne?” ucapku seraya
mengacungkan jari telunjukku sekan mengajarinya suatu hal.
“Ne, ne, ne. Kau ini berisik sekali.
Sekarang, berikan.” Ucap Yonghwa sambil mengulurkan tangannya lagi. Aku hanya
cemberut manja lalu memberikan sebungkus tortilla
chips pada Yonghwa. Yonghwa segera meraihnya lalu membukanya. Yonghwa
segera melahap kepingan-kepingan tortilla
yang menggoda di lidah. (?)
“Jangan serakah. Bagi.” Pintaku pada
Yonghwa sambil mengadahkan kedua tanganku. Yonghwa menoleh padaku lalu
menyodorkan sebungkus tortilla itu.
“Ambil sendiri.” kata Yonghwa ketus.
Cih, licik sekali orang ini. Aku lalu mengambil beberapa tortilla lalu
memasukannya ke dalam mulutku. Tortilla rasa jagung benar-benar enak. Jika
ditambah saus tomat mungkin akan lebih maknyos. (?) *maap author kehabisan
kata-o-*
Tanpa
sengaja, aku melirik sebuah buku catatan yang terselip diantara buku-buku lain
dalam ts Yonghwa. Buku berwarna viridian
green polos entah sangat menarik
perhatianku. Aku ingat saat Yonghwa duduk sendirian, beberapa kali ia
membolak-balik buku itu dan menulis sesuatu di dalamnya. Aku rasa itu bukan
buku untuk mencatat mata kuliahnya. Buku itu memiliki sesuatu yang aku rasa
rahasia karena Yonghwa menulisnya saat menyendiri. Apa itu buku diary? Masa ia namja seperti Yonghwa
menulis diary? Menggelikan sekali.
Ide jahil
menyusup ke dalam otakku. Aku mengambil buku itu dari tas Yonghwa.
“Yaa! Jangan
sentuh itu!” seru Yonghwa terkejut. Ia mencoba meraih buku itu tapi aku berdiri
menghindarinya.
“Buku apa ini? Apa ini buku diary-mu?
Hahaha..” kataku sambil mengapitkan buku itu dijari-jariku lalu melambaikannya
di udara. Yonghwa pun bangkit.
“Aniya! Bukan diary! Cepat berikan buku itu!” kata Yonghwa menghampiriku. Aku
berlari menghindarinya.
“Kalau bukan diary, lantas buku apa?
Kenapa kau mengejarku? Apa ada hal yang rahasia dari buku ini?” tanyaku sambil
berjalan mundur di depan Yonghwa.
“Ani.. Tidak ada rahasia. Berikan
padaku.” Ujar Yonghwa sambil mengadahkan tangan kanannya meminta buku ini.
“Kalau tidak ada rahasia, berarti aku
boleh melihatnya kan?” ucapku sambil tersenyum nakal. Aku membuka buku itu dan
melihat-lihat isi dari setiap lembar halaman itu.
“Kau! Kau sangat tidak sopan.”
Aku terdiam. Bukan karena Yonghwa
berkata aku tidak sopan. Tapi karena apa yang tertulis di buku itu membuatku
tercengang.
“Kau.. Kau yang menulis semua ini?
Kau yang membuatnya?” tanyaku seraya menatap Yonghwa serius. Yonghwa tidak
menanggapiku. Ia kembali duduk dan melahap sisa tortilla yang sempat ditinggalkannya. Aku menghampirinya dan duduk
di sampingnya.
“Kau bisa... menulis lagu?”
Buku itu berisi untaian kata-kata
indah yang menjadi lirik. Juga tertulis kunci gitar yang bentuk dan simbolnya
tak kumengerti. Aku tau pasti ini adalah lagu. Dan aku tau, Yonghwa pasti yang
menulisnya.
“Maukah kau menyanyikan lagu ini
untukku? Mau ya? Mau kan? Mau doong..”
“Sikkeurowo! (berisik!)”
“Aku tak mengerti kunci gitar yang
kau tulis di sini. Aku tak tau lagunya seperti apa. Aku tak akan berisik, tapi
kau akan menyanyi lagu ini supaya aku tau lagunya seperti apa. Ne? Ne??”
“Hhh..”
+++++
“Ahpeun
sarang aa, sal ppaein deun nan apeuda
My painful love, I’m hurting as if I cut
my skin
chameuryo
esseobwado sori eobsyi tto apa unda
I try to hold it in but soundlessly, it
hurts
sseurin
sarang aa, dokeul samkin deu sseurida
My aching love, it’s bitter as if I
swallowed poison
useuryo
esseobwado aryeonagae sseryeo unda nan..”
I try to smile but I’m faintly aching..
(CN Blue – Still In Love)
Note : Liriknya asli yang bikin Yonghwa ;D
Aku menatapnya penuh perhatian. Yonghwa
bernyanyi ditemani gitar yang selalu dibawanya kemana-mana. Sorot matanya yang
lembut dan bulu matanya yang lurus itu menunjukkan dia bukan orang yang kejam.
Semua kata-kata kasarnya padaku hanya untuk membela dirinya. Ia hanya dapat
mengungkapkan isi hatinya ke dalam lirik yang ditulisnya. Dan kini
dinyanyikannya dengan sangat.. indah.
Yonghwa selesai bernyanyi dan
meletakkan gitarnya di sampingnya. Pandanganku masih belum lepas dari kedua
matanya yang seakan tak peduli akan kehadiranku. Yonghwa menelan ludah sehingga
lehernya tampak bergetar. Ia lalu menoleh padaku. Dengan segera aku mengalihkan
pandanganku.
“Kenapa?” Tanya Yonghwa tiba-tiba.
“Ah? Apanya yang ‘kenapa?’” aku
balik bertanya.
“Kenapa melihatku seperti itu?”
Tanya Yonghwa lagi.
“Ah, aniya. Aku hanya..” kata-kataku
terhenti ketika menatap Yonghwa yang menunggu lanjutan kalimatku.
“Aku hanya ingin berterima kasih. Kau
keren sekali. Kau sudah menyanyikan lagu itu untukku. Jadi terima kasih.”
Ucapku kemudian. Yonghwa hanya menatapku datar. Kemudian ia mengangguk.
“Aku sudah tau kau akan mengatakan ini. Aku bernyanyi bukan
untukmu.” Kata Yonghwa.
“Ye? Lalu untuk siapa? Untuk seseorangkah? Hahaha, Jung
Yonghwa patah hati..”
“Dakchigo! (diam!)” gertak Yonghwa. Aku pun diam sejenak. Ia
sepertinya marah. Kalau ia marah, berarti yang ku katakan benar.
“Oh, geurae. Jadi aku benar. Kau memang sedang patah hati.”
Ucapku.
“Lalu kenapa? Kenapa jika patah hati? Apa kau
bisa menyembuhkan rasa sakit di hati ini?” To be continued..