Laman

Sabtu, 24 November 2012

FF: What A Beautiful Love [Part 1]


Title : What A Beautiful Love
Genre : Romance
Length : 2 shoot
Cast :
Kim Eun Hwa
Jung Yong Hwa

=============================================================================
Oh baby, oetoriya oetoriya ddaribiriddaradu~ oetoriya oetoriya ddaribiriddaradu~
oh baby I'm a loner, I'm a loner. daridiridara du~ I'm a loner. I'm a loner. daridiridara du~
Oetoriya oetoriya sarange seulpeohago sarange nunmuljitneun oetori
I'm a loner, I'm a loner. I'm a loner being sad at love, shedding tear at love
Sad sad sad sad sad sad sad tonight gaseumi apa
sad sad sad sad sad sad sad tonight. My hurt hurts.
Oh no no no no nobody knows mam molla
Oh no no no no no body knows, how I feel.
One two three four five six seven night su manheun bameul
one two three four five six seven night, I'm cheering up myself
Seumyeo nareul dallaego isseo
passing many nights awake..
(CN Blue – I’m A Loner)

Eunhwa’s POV…
            “Permisi.. Maaf.. Maaf..”
            Aku menelusuri tengah keramaian koridor sekolah. Setumpuk buku pelajaran kini ditanganku. Menyebalkan. Kenapa juga aku harus bertemu dengan Aspita-Seonsaengnim. *maap ya bu pinjem nama :p* Bertemu dengannya itu berarti ‘mencari sesuatu yang merepotkan’. Kalau bukan karena dia, aku tak mungkin membawakan buku sebanyak ini untuknya.
            Brak! Semua buku itu jatuh. Seseorang telah menabrakku sehingga buku itu terlepas dari tanganku. Aku berusaha memunguti buku-buku yang berserakan itu. Tunggu dulu, siapa yang menabrakku tadi? Bukankah biasanya di dalam cerita, orang yang menabrak membantu memunguti dan meminta maaf? Memangnya siapa sih yang menabrakku?
            “Sombong sekali. Apa karena ayahnya donator sekolah ini, ia jadi bersikap acuh tak acuh seperti itu?” kata seorang yeoja. Pandanganku tetap pada buku-buku itu.
            “Mungkin. Wajar saja ia tak punya teman. Kerjaannya selalu saja menyendiri. Apa ia bisa hidup tenang dengan cara seperti itu?” kata seorang yeoja satu lagi. Aku hanya mendengar percakapan mereka. Aku lalu menoleh pada seseorang yang menabrakku tadi. Ia orang yang dimaksud kedua yeoja itu. Seorang namja yang sendirian.
+++++
Aku mengikutinya. Entah apa yang membuatku penasaran dari namja satu ini. Sungguh menarik. Lebih-lebih ia tak pernah menyadari kehadiranku saat aku mengikutinya. Apa ia memang tak punya perasaan, atau memang sengaja tak peduli padaku?
Aku sampai di atap sekolah. Tempat ini betul-betul sepi. Sesaat kunikmati semilir angin yang berhembus mengibas rambutku. Kini aku baru merasakan betapa tenangnya tempat ini. Pantas saja namja itu hampir setiap hari ke sini. Atau mungkin malah setiap hari?
Fokusku kembali pada namja itu. Ia duduk di sudut atap. Sekolah ini memang memiliki kawat berjaring-jaring disekeliling atap sehingga aman. *araseo?* Dengan gitar di pangkuannya. Ia bermain gitar sebentar lalu menulis sesuatu pada sebuah buku. Aku rasa ia sedang menulis lagu. Apa ia bisa menulis lagu?
“Kenapa?”Tanya namja itu tiba-tiba. Pandangannya tetap pada bukunya. Ia bicara sendiri atau..
“Kenapa kau mengikutiku? Apa kau mata-mata? Tapi kau tak terlihat seperti mata-mata.” Kata namja itu lagi. Aku rasa ia memang benar-benar mengajakku bicara. Berarti sedari tadi ia menyadari kehadiranku. Ingin sekali rasanya menepuk kepalaku sendiri.
“Aku hanya.. mm.. Apa tidak boleh aku ke sini?” tanyaku padanya. Ia lalu mengalihkan pandangan dari bukunya. Ia memandangku. Ia menunjukku dengan jari telunjuknya lalu mengayuhkan tangannya, tampak seperti menyuruhku menghampirinya. Gayanya benar-benar seperti menghinaku. Membuatku ingin sekali menggampolnya. (?)
Aku hanya menurutinya. Biarkan saja dulu ia yang menang. Aku berjalan menghampirinya. Ia mengadahkan kepalanya menatapku yang kini berdiri di depannya.
“Mwoga?” tanyaku.
“Apa kau punya makanan?” ia balik bertanya padaku.
“Huh?” ucapku tak mengerti. Apa-apaan dia, makanan?
“Aku lapar. Kau punya makanan tidak?” ia mengulangi pertanyaannya. Dengan wajah tanpa rasa bersalah seperti itu.
“Aniyo.” Ucapku kemudian.
“Ya sudah. Belikan aku makanan.”
Aku tertegun mendengar kata-kata itu. Apa dia pikir aku ini pelayannya? “Shireo (no way).” Aku berkata sambil memalingkan wajahku.
“Waeyo?” Tanya namja itu.
“Aku bukan pesuruhmu.” tukasku.
“Memang bukan. Aku tidak mengatakan kau pesuruhku.” Balas namja itu.
“Pokoknya aku tetap tidak mau.” Ucapku. Namja itu berdiri di hadapanku. Kini akulah yang harus mengadahkan kepalaku menghadapnya.
“Ayolah..” katanya sambil berwajah manja. Aku menggeleng.
“Mengapa kau tidak membeli sendiri?” tanyaku kemudian.
“Jalannya jauh. Aku tak mau jalan jauh-jauh.” Katanya lagi. Yaa, ia pikir aku mau jalan jauh-jauh?
“Pakai uangku..” namja itu mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. Ia lalu menyerahkannya padaku. Apa orang ini sudah terlalu banyak uang? Ia memberikan uang pada orang asing sepertiku tanpa khawatir sama sekali. Ia benar-benar aneh.
“Bagaimana kalau suit saja?” tanyanya kemudian.
“Suit?” aku balik bertanya. Namja itu mengangguk. “Kalau aku kalah, aku akan membelinya tapi aku tak akan membagimu. Kalau kau kalah, kau harus membelikannya untukku. Aku akan membagimu. Bukankah itu impas?”
“Impas apanya?” tanyaku tak mengerti. Namja ini ada-ada saja.
“Ayo suit! Hana, dul, set!” serunya sambil membentuk jarinya menjadi bentuk gunting. Sementara aku tetap diam menatapnya heran.
“Kenapa diam saja? Baiklah, ulangi lagi. Hana, dul, set!” serunya. Aku akhirnya mengikuti permainannya. Lagipula, aku punya firasat baik dalam hal suit-menyuit. *maap bahasanya-_-*
“Aku menang. Belikan makanan untukku.” Namja itu menarik tanganku dan meletakkan sejumlah uang disana. Omona, aku kalah suit. Kenapa kalah untuk saat saat penting seperti ini?
+++++
“Nih.” Ucapku sambil menyodorkan kantung plastik besar berisi makanan yang baru saja kubeli. Entah kenapa aku menyetujui permintaannya. Kenapa juga aku mau saja melakukan hal-hal konyol seperti ini? Hufth..
Namja itu mengambil plastik besar dari tanganku lalu membuka isinya. Aku lalu duduk di sampingnya. Melelahkan juga. Kutarik nafasku lalu kuhembuskan. Untunglah, tempat ini tepat untuk melepas lelah.
“Mau tidak?” tawar namja itu. Ia menyodorkan sebungkus kripik tortilla padaku. Aku menoleh padanya lalu mengambil sejumlah tortilla. Setelah aku memakannya, namja itu kembali memakan tortilla-nya. Setelah menelannya, ia terdiam sejenak.
“Enak.” Katanya kemudian. Apa dia baru kali ini mencicipi tortilla? Kelihatannya ia bukan orang yang seperti itu.
“Aku sering makan tortilla. Tapi kenapa tortilla ini rasanya enak sekali?” katanya pada dirinya sendiri.
“Mungkin karena aku yang membelinya.” Ucapku sambil mengambil lagi tortilla dalam bungkusnya. Aku mengunyahnya.
“Jeongmal? Kalau begitu, besok kau belikan untukku lagi ya?”
“Uhuk uhuk!” aku tersedak mendengar ucapannya. Omona. Salah, aku salah bicara. Ucapanku menjadi racun. Apa aku harus menjadi pelayannya? Ah, andwaeeeeee…
“Kau kenapa? Gwaenchanha?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Gwaenchanha..” ucapku lalu menelan tortilla-ku yang macet di tenggorokanku.
“Oh.” Ucapnya singkat. Bagaimana dia ini? Bukannya menawarkanku minum atau apa, ia hanya membalasku dengan kata ‘Oh’. *nyesek sekalee-_-*
“Berikan aku minum.” Pintaku padanya yang masih sibuk dengan sebungkus tortilla di hadapannya. Ia lalu memberikanku sebotol minuman. Aku lalu meneguknya perlahan. Takut-takut nanti tersedak lagi kalau cepat-cepat.
“Oh iya. Kau siapa ya?” tanyanya kemudian.
“Aku? Oh, Kim Eunhwa imnida. Aku lebih sering dipanggil Eunhwa. Aku siswi kelas seni rupa di sini. Bangabseumnida.”
“Ne.. Aku hanya tanya siapa dirimu. Kau menjawab panjang sekali.” Kata namja itu. Aku memonyongkan bibirku lalu memutar bola mataku.
“Oh ya, aku lupa. Jung Yonghwa imnida.” Katanya lalu meneguk air mineral. Jung Yonghwa. Aku baru menyadari, semenjak bertemu dengannya baru sekarang aku mengenalinya. Jung Yonghwa, harus bagaimana aku memanggilnya?
“Bangabseumnida.” Ucap Yonghwa. Ia menoleh padaku lalu tersenyum. Wajahnya begitu dekat denganku. Matanya yang indah menatap kedua mataku. Aku menundukkan wajahku. Mencoba mengusir perasaan yang tampak menggangguku.
“Ne, bangabseumnida.”
+++++
“Annyeong haseyo..” sapaku pada Yonghwa. Ia menoleh padaku lalu memutar bola matanya. Yonghwa lalu terus berjalan menuju atap sekolah. Seperti kemarin, aku mengikutinya lagi. Sesampainya di atap, Yonghwa duduk bersandar pada pagar pembatas. Di sanalah ia biasa duduk melakukan kegiatannya. Apa ia tak bosan melakukan hal yang sama setiap harinya seperti itu? Setelah duduk, Yonghwa mengadah padaku.
“Untuk apa kau mengikutiku? Apa yang kau inginkan dariku?” kata Yonghwa ketus.
“Aku hanya ingin ke sini. Apa tidak boleh?” sahutku.
“Aniyo. Pergilah dari sini.” Yonghwa mengusirku. Aku tau Yonghwa akan melakukan ini padaku.
Aku melepas tas-ku dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Ku sodorkan sebungkus Tortilla padanya. Yonghwa menatapku dan tortilla itu bergantian. Ia tampak heran. Aku hanya menunggu reaksinya setelah aku memberikan tortilla padanya.
“Untukku?” Tanya Yonghwa. Aku menggeleng. “Untuk kita. Setuju?”
Yonghwa tampak berpikir lama. Ia lalu memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia lalu menarik nafas lalu menghelanya. “Geurae. Itu tidak buruk.”
Aku lalu tersenyum penuh kemenangan menatapnya. Tak ku sangka ini berhasil. Ternyata orang seperti Yonghwa mudah ‘disogok’ dengan hal hal seperti ini.
“Chotta! (bagus!)” seruku dengan senang seraya duduk manis di sampingnya. Yonghwa menatapku sinis.
“Mengapa kau menatapku seperti itu?” tanyaku sambil cemberut.
“Kau ini, kau… Kau resek sekali.” Ucap Yonghwa tanpa ekspresi. Aku mengernyitkan dahi. Berani sekali orang ini menyebutku resek. Apa aku terlihat seperti pengganggu? Atau aku memang pengganggu? Sungguh, kalaupun aku mengganggu aku tak bermaksud seperti itu.
“Mwo-ya? Aku tidak bermaksud mengganggumu! Hanya saja aku..” kalimatku terputus.
“Mwoga?”
“Hanya saja aku.. aku.. mmm.. Apa kau tak bosan sendirian?” tanyaku. Yonghwa memalingkan wajahnya dan memandangi langit yang masih berwarna biru cerah. Ia menghembuskan nafasnya lalu memejamkan matanya.
“Nan oerowo johayo (aku suka sendirian).” Katanya kemudian seraya mebuka matanya.
“Jinjjayo? Yaa, jika kau melakukan suatu hal yang kau suka terus menerus, kau akan menjadi bosan. Arata?” jelasku.
“Oh, geurae. Lalu apa urusanmu jika aku bosan, huh?” Yonghwa membentakku. Aku terkejut dan menjauhkan telingaku karena suara Yonghwa yang begitu keras. Aku hanya tertunduk. Apa aku melakukan hal yang salah?
Kami terdiam untuk sejenak. Tiba-tiba Yonghwa mengulurkan tangannya padaku. Bola mataku berbinar menatap apa yang ada di hadapanku. Yonghwa ingin meminta maaf padaku?
Aku menghela nafasku lalu memandang Yonghwa yang menunggu reaksiku. Aku baru saja akan menyambut tangan Yonghwa dan berjabat tangan dengannya. Namun, Yonghwa menarik tangannya. Huh?
“Mau apa kau?” Tanya Yonghwa kemudian.
“Bukankah kau ingin berjabat tangan denganku?” aku balik bertanya pada Yonghwa.
“Aniya. Tortilla-nya. Berikan padaku.”
“Mwo-ya???” tanyaku dengan nada suara meninggi. Apa yang namja ini pikirkan sebenarnya? Seharusnya dia meminta maaf karena telah membentakku. Apa dia tidak punya rasa bersalah?
“Ahh.. kau ini!” kataku dengan wajah masam.
“Geurae. Aku akan memberikan ini padamu. Tapi dengan syarat, aku boleh datang ke sini dan jangan bentak aku! Araseo?” perintahku yang diikuti anggukan dari Yonghwa.
“Ne. Araseo.”
“Jangan cuma berkata ‘Araseo’. Kau harus benar-benar melakukan yang aku perintahkan. Ne?” ucapku seraya mengacungkan jari telunjukku sekan mengajarinya suatu hal.
“Ne, ne, ne. Kau ini berisik sekali. Sekarang, berikan.” Ucap Yonghwa sambil mengulurkan tangannya lagi. Aku hanya cemberut manja lalu memberikan sebungkus tortilla chips pada Yonghwa. Yonghwa segera meraihnya lalu membukanya. Yonghwa segera melahap kepingan-kepingan tortilla yang menggoda di lidah. (?)
“Jangan serakah. Bagi.” Pintaku pada Yonghwa sambil mengadahkan kedua tanganku. Yonghwa menoleh padaku lalu menyodorkan sebungkus tortilla itu.
“Ambil sendiri.” kata Yonghwa ketus. Cih, licik sekali orang ini. Aku lalu mengambil beberapa tortilla lalu memasukannya ke dalam mulutku. Tortilla rasa jagung benar-benar enak. Jika ditambah saus tomat mungkin akan lebih maknyos. (?) *maap author kehabisan kata-o-*
            Tanpa sengaja, aku melirik sebuah buku catatan yang terselip diantara buku-buku lain dalam ts Yonghwa. Buku berwarna viridian green polos entah sangat menarik perhatianku. Aku ingat saat Yonghwa duduk sendirian, beberapa kali ia membolak-balik buku itu dan menulis sesuatu di dalamnya. Aku rasa itu bukan buku untuk mencatat mata kuliahnya. Buku itu memiliki sesuatu yang aku rasa rahasia karena Yonghwa menulisnya saat menyendiri. Apa itu buku diary? Masa ia namja seperti Yonghwa menulis diary? Menggelikan sekali.
            Ide jahil menyusup ke dalam otakku. Aku mengambil buku itu dari tas Yonghwa.
            “Yaa! Jangan sentuh itu!” seru Yonghwa terkejut. Ia mencoba meraih buku itu tapi aku berdiri menghindarinya.
“Buku apa ini? Apa ini buku diary-mu? Hahaha..” kataku sambil mengapitkan buku itu dijari-jariku lalu melambaikannya di udara. Yonghwa pun bangkit.
“Aniya! Bukan diary! Cepat berikan buku itu!” kata Yonghwa menghampiriku. Aku berlari menghindarinya.
“Kalau bukan diary, lantas buku apa? Kenapa kau mengejarku? Apa ada hal yang rahasia dari buku ini?” tanyaku sambil berjalan mundur di depan Yonghwa.
“Ani.. Tidak ada rahasia. Berikan padaku.” Ujar Yonghwa sambil mengadahkan tangan kanannya meminta buku ini.
“Kalau tidak ada rahasia, berarti aku boleh melihatnya kan?” ucapku sambil tersenyum nakal. Aku membuka buku itu dan melihat-lihat isi dari setiap lembar halaman itu.
“Kau! Kau sangat tidak sopan.”
Aku terdiam. Bukan karena Yonghwa berkata aku tidak sopan. Tapi karena apa yang tertulis di buku itu membuatku tercengang.
“Kau.. Kau yang menulis semua ini? Kau yang membuatnya?” tanyaku seraya menatap Yonghwa serius. Yonghwa tidak menanggapiku. Ia kembali duduk dan melahap sisa tortilla yang sempat ditinggalkannya. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Kau bisa... menulis lagu?”
Buku itu berisi untaian kata-kata indah yang menjadi lirik. Juga tertulis kunci gitar yang bentuk dan simbolnya tak kumengerti. Aku tau pasti ini adalah lagu. Dan aku tau, Yonghwa pasti yang menulisnya.
“Maukah kau menyanyikan lagu ini untukku? Mau ya? Mau kan? Mau doong..”
“Sikkeurowo! (berisik!)”
“Aku tak mengerti kunci gitar yang kau tulis di sini. Aku tak tau lagunya seperti apa. Aku tak akan berisik, tapi kau akan menyanyi lagu ini supaya aku tau lagunya seperti apa. Ne? Ne??”
“Hhh..”
+++++
“Ahpeun sarang aa, sal ppaein deun nan apeuda
My painful love, I’m hurting as if I cut my skin
chameuryo esseobwado sori eobsyi tto apa unda
I try to hold it in but soundlessly, it hurts
sseurin sarang aa, dokeul samkin deu sseurida
My aching love, it’s bitter as if I swallowed poison
useuryo esseobwado aryeonagae sseryeo unda nan..”
I try to smile but I’m faintly aching..
(CN Blue – Still In Love)
Note : Liriknya asli yang bikin Yonghwa ;D

            Aku menatapnya penuh perhatian. Yonghwa bernyanyi ditemani gitar yang selalu dibawanya kemana-mana. Sorot matanya yang lembut dan bulu matanya yang lurus itu menunjukkan dia bukan orang yang kejam. Semua kata-kata kasarnya padaku hanya untuk membela dirinya. Ia hanya dapat mengungkapkan isi hatinya ke dalam lirik yang ditulisnya. Dan kini dinyanyikannya dengan sangat.. indah.
            Yonghwa selesai bernyanyi dan meletakkan gitarnya di sampingnya. Pandanganku masih belum lepas dari kedua matanya yang seakan tak peduli akan kehadiranku. Yonghwa menelan ludah sehingga lehernya tampak bergetar. Ia lalu menoleh padaku. Dengan segera aku mengalihkan pandanganku.
            “Kenapa?” Tanya Yonghwa tiba-tiba.
            “Ah? Apanya yang ‘kenapa?’” aku balik bertanya.
            “Kenapa melihatku seperti itu?” Tanya Yonghwa lagi.
            “Ah, aniya. Aku hanya..” kata-kataku terhenti ketika menatap Yonghwa yang menunggu lanjutan kalimatku.
            “Aku hanya ingin berterima kasih. Kau keren sekali. Kau sudah menyanyikan lagu itu untukku. Jadi terima kasih.” Ucapku kemudian. Yonghwa hanya menatapku datar. Kemudian ia mengangguk.
“Aku sudah tau kau akan mengatakan ini. Aku bernyanyi bukan untukmu.” Kata Yonghwa.
“Ye? Lalu untuk siapa? Untuk seseorangkah? Hahaha, Jung Yonghwa patah hati..”
“Dakchigo! (diam!)” gertak Yonghwa. Aku pun diam sejenak. Ia sepertinya marah. Kalau ia marah, berarti yang ku katakan benar.
“Oh, geurae. Jadi aku benar. Kau memang sedang patah hati.” Ucapku.
“Lalu kenapa? Kenapa jika patah hati? Apa kau bisa menyembuhkan rasa sakit di hati ini?” 

To be continued..

FF: Please Be Mine [Part 3]




Title : Please, Be Mine!


Genre : Romance

Length : 3 Shoot

Cast :

- Choi Ryu Ri as Choi Ryu Ri

- FT Island Minhwan as Choi Min Hwan
- B1A4 Sandeul as Lee Sandeul
===================================================

Sandeul tergeletak lemas tak berdaya. Wajahnya penuh memar dan luka. Minhwan berdiri di hadapannya. Sandeul menoleh ke arahku. Minhwan yang menyadari keberadaanku nampak terkejut. Apa Minhwan yang membuat Sandeul seperti ini?

Aku menghampiri Minhwan yang sedari tadi menatapku. Aku balik menatapnya penuh tanda tanya dan rasa penasaran. Minhwan, apa dia tega berbuat seperti itu pada Sandeul? Seperti itukah Minhwan sebenarnya? Apa terlalu lama aku tak bertemu dengannya sehingga dia liar seperti ini?
“Yuu…” kata Minhwan masih dengan nafas yang terengah-engah.
“Pulanglah.” Ucapku singkat.
“Yuu.. Aku…”
“Eomma-mu mencarimu. Sebaiknya kau segera pulang.” Lanjutku. Minhwan terdiam. Aku mengalihkan pandangan mataku ke arah Sandeul. Aku menatapnya yang sedang tergolek lemas. Matanya sayup-sayup memandangku.
“Ryuri-ah..” panggilnya setengah berbisik. Aku meraih lengannya dan membantunya berdiri. Aku membiarkan Sandeul merangkulku. Aku menuntunnya berjalan tanpa mempedulikan Minhwan.
“Yuu!” seru Minhwan. Aku menghentikan langkahku dan menoleh kepadanya.
“Ada yang ingin kau jelaskan?” tanyaku pada Minhwan. Kini Minhwan mematung. Ia hanya memandangku tanpa membuka mulutnya.
“Amugeotto?” tanyaku lagi. Minhwan tertunduk. Aku melanjutkan langkahku bersama Sandeul. Aku embonceng Sandeul di sepedaku. Anak ini berat sekali. Ditambah lagi ia bersandar di punggungku. Tak apalah. Aku membawanya pulang ke rumahnya.
+++++
Sesampainya di rumah Sandeul aku memarkirkan sepedaku. Aku mengetuk pintu rumahnya. Sandeul masih merangkulku, bahkan ia menyandarkan kepalanya di kepalaku. Aku tau, ia begini karena aku. Jadi biarkanlah dulu dia seperti ini.
Tak lama kemudian Lee-harabeoji membukakan pintu. Ia terkejut melihat Sandeul yang nampak tak berdaya. Ia lalu menatap padaku.
“Choi.. Choi.. Ryuri! Apa yang terjadi dengan anak ini?” Lee-harabeoji bertanya padaku. Huh? Sungguh, aku tak tau apa-apa.
“Aku merebut sesuatu dari orang lain. Orang itu marah sekali padaku. Tapi lupakanlah.” Kata Sandeul. Ia melangkah masuk kedalam rumah. Aku hanya mengikutinya. Ia mengajakku ke ruang tengah. Ia duduk di atas sofa. Sandeul menyandarkan kepalanya di dinding. Aku duduk di sampingnya. Lalu Lee-harabeoji mengambil sebuah kotak obat. Aku lalu membersihkan luka di wajah Sandeul dan mengobatinya. Sandeul merintih. Aku tak tega melihatnya menjadi seperti ini.
“Aku akan membuatkan minum.” Kata Lee-harabeoji. Aku hanya mengangguk lalu tertunduk. Aku dan Sandeul saling diam. Sandeul menatapku.
“Minhwan itu.. namjachingu-mu?” Sandeul membuka pembicaraan. Aliran darahku seakan berhenti. Sandeul.. Minhwan.. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan tadi?
“Mwo?” tanyaku terkejut.
“Choi Minhwan. Dia mencintaimu, Ryu. Apa kau juga mencintainya?” Sandeul bertanya lagi. Kenapa tiba-tiba ia bertanya seperti itu. Perasaanku pada Minhwan, benar, aku mencintai Minhwan. Tapi, bagaimana aku mengatakannya? Di depan Sandeul yang sudah menyatakan cintanya padaku. Tanpa sadar setitik air mata mengalir di pipiku. Yaa! Apa yang ku lakukan? Aku cepat-cepat menghapusnya.
“Ryuri-ah.. Apa aku telah menyakiti perasaanmu?” Sandeul bertanya serata memegang daguku dan mengadahkan wajahku menghadapnya.
“Aku orang yang tenang. Aku bisa mengatasi masalahku dengan tenang dan cepat. Aku tak pernah menangis dan selalu kuat. Tapi aku terlalu lemah untuk memecahkan masalah seperti ini. Aku merasa sangat lemah. Perasaan ini seperti memukul dadaku. Sesak. Aku tak mengerti perasaan ini. Aku tak mengerti..”
Sandeul mendekat dan memelukku.
“Aku tak tau apa yang kau rasakan. Tapi kumohon jangan menangis. Terserah apa yang akan terjadi nanti. Terserah bagaimana perasaanmu padaku. Yang jelas aku mencintaimu.” Jelas Sandeul. Air mataku mengalir lagi. Aku menyembunyikan wajahku dalam pelukan Sandeul. Sandeul mengelus rambutku. Aku tak bisa mengelak, rasanya nyaman. Hatiku kini seperti terombang-ambing. Otakku sudah muak. Memikirkan satu orang saja sudah membuatku frustrasi, tapi aku dipaksa memikirkan dua orang yang membuatku nyaman sekaligus. Sungguh melelahkan.
+++++
                Next day…
                Aku memutar-mutar pulpen di jari-jariku. Pikiranku kacau. Tak bisa berkonsentrasi belajar. Suara Jung-seonsaengnim yang menggema di kelas tak ku hiraukan. Entah apa yang dia terangkan di depan kelas. Aku pun malas berpikir. Aku mencoba tidur tapi entah kenapa aku sulit masuk ke alam bawah sadarku.
                “Yaa! Kau! Yang duduk di belakang!” seru Jung-seonsaengnim. Duduk di belakang? Apa aku yang dimaksud? Seluruh kelas memandangku. Dari tadi aku memang tidak memperhatikannya. Aku hanya tertunduk. Jung-seonsaengnim menghampiriku.
                “Yaa! Tuan Choi! Ireona!” seru Jung-seonsaengnim. Matilah aku. Chamkanman, Tuan katanya?
                Aku melihat kea rah Jung-seonsaengnim. Tatapannya tajam ke arahku. Bukan, ia menatap ke belakangku. Aku melihat ke arah belakang. Minhwan? Apa yang ia lakukan? Ia tertidur di jam pelajaran seperti ini. Tak biasanya ia seperti ini. Tapi kenapa?
                “Minan! Yaa! Ireona!” bisikku pada Minhwan yang menelungkupkan wajahnya di dalam tangannya yang di lipat di atas meja. Minhwan lalu membuka matanya. Ia lalu bangun dari tidur dan menegakkan tubuhnya. Ia lalu menggosok matanya. Kantung matanya terlihat sangat tebal. Apa dia kurang tidur?
                “Tuan Choi! Cuci mukamu dulu atau kau keluar dari kelas ini!” teriak Jung-seonsaengnim pada Minhwan. Minhwan tetap tertunduk. Ia lalu menggeser kursinya lalu bangkit. Ia berjalan menuju pintu kelas. Ia membukanya lalu keluar kelas. Ia membanting pintu dengan kasar. Kenapa dia? Apa dia marah padaku?
Jung-seonsaengnim kembali menerang pelajaran. Selama jam pelajaran berlangsung, aku hanya melihat ke arah pintu kelas. Berharap Minhwan masuk ke kelas lagi. Berharap melihat kembali wajah Minhwan. Tapi nyatanya Minhwan tak datang. Kemana dia? Ya Tuhan, semoga Minhwan baik-baik saja.
+++++
Jam pelajaran pun berakhir. Sampai saat ini aku belum melihat wajah Minhwan. Bahkan ia tidak masuk ke kelas. Ia tak kembali setelah Jung-seonsaengnim menyuruhnya keluar. Aku jadi khawatir pada anak itu. Kemana Minhwan? Aku mencarinya hampir ke seluruh sekolah. Tapi aku tak kunjung menemukannya. Aku memutuskan untuk pulang. Chamkanman, aku melihat Minhwan. Ia keluar dari toilet. Apa sedari tadi ia tak keluar dari toilet? Untuk apa?
“Minaaaaaaaaaaan~!!” jeritku. Minhwan pun menoleh padaku. Minhwan hanya berdiri terdiam memandangiku yang kini berlari ke arahnya.
“Kau dari mana saja?” tanyaku dengan nafas yang tak beraturan.
“Apa kau peduli akan hal itu?”
“Mwo?” tanyaku. Apa aku tak salah dengar? Hatiku mulai gemas dengannya.
“Kenapa sebenarnya? Sikapmu sekarang berubah, Minan. Apa ada masalah? Dan, ada apa antara kau dan Sandeul? Mengapa kau membuat Sandeul terluka?” tanyaku dengan geram.
“Berubah? Bukankah kau yang berubah? Kau lebih sering bertemu Sandeul daripada aku. Dan bahkan kau lebih mempedulikan Sandeul daripada aku. Apa aneh jika aku berubah?” bantah Minhwan.
“Ne. Minan, aku dan Sandeul hanya teman. Lagipula, kau…” aku menghentikan perkataanku lalu diam. Minhwan juga diam. Ia menunggu lanjutan kalimatku. Aku meneguk ludah dan mengalihkan pandanganku dari Minhwan. “Kau bukan namjachingu-ku.”
Suasana hening sejenak. Keributan yang disebabkan seluruh penghuni sekolah seakan menghilang seketika.
“Geureongayo (begitukah)?” Tanya Minhwan lembut. “Apa karena aku bukan namjachingu-mu kau tak lagi peduli padaku dan menganggapku teman biasa? Kau butuh status ‘namjachingu’, Yuu?”
Nafasku tercekat.
“Aku pikir kau mencintaiku karena membutuhkanku sebagai orang yang juga mencintaimu. Makanya aku tak takut. Tapi yang kau butuhkan adalah seorang namjachingu. Aku salah.” Ujar Minhwan. Jantungku seperti sangat tersiksa. Air mataku mau tumpah.
Minhwan melangkah pergi. Ia menghampiri motornya. Minhwan mengendarainya lalu melaju kencang. Air mataku baru bebas mengalir. Aku sesenggukan tanpa suara. Nan paboya. Minhwan, jeongmal mianhaeyo.
Narul dareun sarammannamyun keuddaen Gieokhalkkayo
Would you remember me if you meet someone like me?
Nawa deutdeon norae deutnundamyun Gieokhalkkayo
Would you remember me if you hear the song that we used to listen to?
Naeireumgwa gateunsaram mannamyun keuddaen Gieokhalkkayo
Would you remember me if you meet someone with same name as me?
Kkoteun anideorado hanbeoneun nareul Gieokhae jweoyo
You don't have to, but please remember me at least just once...
(FT Island – If It’s Not Necessary)
+++++
BRAK! Aku membanting pintu rumahku. Melempar tas-ku entah ke mana lalu melangkah gontai ke arah kamar. Eomma menghampiriku dan menatapku heran.
“Ryuri-ah, apa kau belum makan? Apa kau sakit?” Tanya Eomma. Aku hanya menggeleng. Entahlah Eomma bisa atau tidak mengerti maksudku, aku tak peduli. Aku masuk ke kamar dan membanting pintu. Aku lalu menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Menenggelamkan wajahku ke atas bantal. Entah kenapa segalanya terasa sangat berat. Membebaniku.
+++++
The stars lean down to kiss you
And I lie awake I miss you
Pour me a heavy dose of atmosphere
Cause I’ll doze off safe and soundly
But I’ll miss your arms around me
I’ll send a postcard to you dear
Cause I wish you were here…
Aku membuka mataku. Sepulang sekolah tadi aku ketiduran sampai malam. Dan sekarang aku mendengar suara merdu yang terngiang di telingaku. Suara ini sudah tak asing lagi bagiku. Tapi kenapa malam-malam seperti ini? Apa aku bermimpi? Tidak, ini nyata. Aku terbangun dan menghampiri sumber suara itu.
I watch the night turn light blue,
But it’s not the same without you
Because it takes two to whisper quietly…
                Aku membuka pintu rumahku. Seorang namja duduk di teras rumahku dengan gitar di pangkuannya. Ia berhenti bernyanyi dan berhenti memetik senar gitarnya. Ia melihat ke arahku lalu tersenyum. Namja itu menghampiriku.
                “Yaa! Sandeul, apa yang kau lakukan malam-malam begini? Bernyanyi sambil bermain gitar di depan rumahku. Bagaimana jika Eomma-ku mendengarnya? Dia pasti…”
                Sandeul menempelkan jari telunjuknya di bibirku. Membuatku menghentikan kata-kataku.
                “Gwaenchanha. Kajja.” Ucap Sandeul. Ia menggenggam tanganku lalu mengajakku duduk.
                “Ryuri-ah.. Kau mau mendengarkan nyanyianku, kan?” lanjut Sandeul. Aku menyerngitkan dahi  tak mengerti. Sandeul kembali memetik senar gitarnya. *ceritanye si sandeul bisa b.inggris ye, padahal mah ngomong zoom zoom aje jum jum #plak*
The silence isn’t so bad
Till I look at my hands and feel sad
Cause the spaces between my fingers
Are right where yours fit perfectly
I’ll find repose in new ways
Though I haven’t slept in two days
Cause cold nostalgia chills me to the bone
But drenched in Vanilla twilight
I’ll sit on the front porch all night
Waist deep in thought because when I think of you
I don’t feel so alone
I don’t feel so alone
I don’t feel so alone
As many times as I blink I’ll think of you… tonight…
I’ll think of you tonight..
When violet eyes get brighter
And heavy wings grow lighter
I’ll taste the sky and feel alive again
And I’ll forget the world that I knew
But I swear I won’t forget you
Oh if my voice could reach back through the past
I’d whisper in your ear
Oh darling I wish you were here..
(Owl City – Vanilla Twilight)
                Mataku hampir tak berkedip. Aku benar-benar memusatkan perhatianku padanya. Apa yang ku dengar tadi sungguh indah. Sandeul, anak ini pandai membuat orang-orang terkesima akan suaranya. *termasuk author #plak*
                “Araseo. Neomu daebak.” Ucapku. Sandeul tersenyum lalu menghampiriku. Ia memelukku erat. Yaa, apa anak ini sakit? Kenapa kelakuannya benar-benar aneh?
                “Ryuri-ah, entah kenapa saat aku berada di dekatmu aku merasa terbebas dari beban. Membuatku melupakan segala masalahku. Membuatku berpikir bahwa hidup ini hanyalah harus tenang. Makanya aku merasa aman bersamamu.”
                Aku berkeringat. Jantungku berdebar tak karuan.
                “Aku rasa kau bisa baik-baik saja tanpa aku. Tapi tidak untukku. Aku tak bisa merasa baik tanpamu. Hidupku penuh dengan kecemasan. Tak peduli kau mencintaiku atau tidak, aku membutuhkanmu di sisiku, Ryu.”
                Sandeul melepaskan pelukannya. Wajahnya tepat di depan wajahku.
                “Nan jeongmal, saranghaeyo, Choi Ryuri.”
                Sandeul menyatakan cintanya. Lagi. Apa aku jahat padanya? Ia mencintaiku dengan tulus. Sedangkan aku tak memikirkan perasaannya. Aku mengabaikannya karena suatu alasan. Aku masih mencintai Minhwan. Yang menjadi pertanyaan adalah.. apa aku masih mencintai Minhwan?
                “Geurae. Moduege gamsahamnida. Jaga dirimu baik-baik.” Ucap Sandeul. Ia menatapku lama. Ia memutar bola matanya, melihat ke seluruh wajahku dengan seksama. Ia lebih mendekatkan wajahnya lalu menutup matanya. Aku memejamkan mataku. Takut dengan apa yang Sandeul ingin lakukan padaku. Lalu sebuah kecupan mendarat di pipiku. Cukup lama sampai Sandeul melepas kecupannya, aku membuka mataku. Aku tegang, tapi terasa sedikit lega. Sandeul tidak mencium bibirku. Meski begitu, bisa ku pastikan kini wajahku memerah.
                “Annyeonghi gaseyo.” Kata Sandeul padaku. Ia membawa gitarnya lalu masuk ke dalam mobilnya. Ia melambai dari dalam sambil tersenyum. Aku hanya membalas senyumannya. Ia lalu menyalakan mesin mobilnya lalu pergi melaju. Aku hanya memperhatikannya dari kejauhan. Entah mengapa, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.
+++++
                Segalanya seperti menghilang. Tak ada satu nomer pun yang bisa ku hubungi. Minhwan maupun Sandeul tak ada yang menjawab teleponku. Aku ingin menemui mereka. Sebaiknya aku datang ke rumah mereka. Tapi yang memusingkanku, aku harus ke rumah Minhwan dulu atau Sandeul dulu? Jadi aku mengurungkan niatku dan tetap di rumah selama Minggu ini.
                Sepanjang hari aku hanya menonton tv, makan, tidur-tiduran. Tak punya pekerjaan yang bisa dilakukan. Sebenarnya aku banyak tugas. Tapi aku sedang tak bisa berpikir. Jadi ku abaikan tugas itu. Aku memasang earphone-ku, lalu mencari sebuah lagu yang sesuai dengan mood-ku saat ini. Membosankan. Apa yang harus ku lakukan sekarang?
                Sampai akhirnya malam tiba. Aku sedang duduk dengan posisi bervariasi di depan tv. Terkadang sambil bersandar, sambil makan, atau tertidur di depan tv (?). Kini aku sedang menyeruput sekotak susu stroberi. Setelah susu itu habis aku pergi ke kamar. Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Hari ini tak berarti apa-apa. Lebih baik aku tidur lagi saja.
                “Ryuri-ah! Sedang apa kau? Ada seseorang datang mencarimu. Cepat temui dia.” Kata Eomma sambil masuk ke dalam kamarku.
                “Nuguyo? Bilang saja aku sudah tidur.” Kataku dengan lemas. Aku memang sudah mengantuk.
                “Jinjja? Tapi Minhwan bilang ada hal yang penting..”
                Mataku membelalak. MINHWAN? Aku langsung berdiri dan keluar rumah dengan segera. Tak peduli dengan penampilanku sekarang yang sudah tampak amburadul. Minhwan sedang berdiri bersandar pada motornya.
“MINAN!” seruku pada Minhwan lalu berlari ke arahnya. Aku tersenyum kepadanya.
“Kenapa berlarian seperti itu? Apa kau merindukanku?” Tanya Minhwan.
“Mwoga? Mengapa bertanya seperti itu?” aku balik bertanya.
“Memangnya kenapa? Karena aku merindukanmu.” Ucap Minhwan. Aliran darahku seakan berhenti mendengar kata-kata Minhwan. Aku lalu memeluknya.
“Nado bogosipeoyo.” Ucapku. Perasaanku lebih tenang. Serasa seperti sekian lamanya aku tak memandang wajah Minhwan, kini ia ada di depanku. Seperti mengobati rasa rinduku.
“Kenapa belum tidur?” Tanya Minhwan lagi.
“Aku belum tidur karena kau. Kau sendiri? Mengapa baru menemuiku malam-malam begini?” tanyaku pada Minhwan.
“Aku hanya ingin tau keberadaanmu sekarang.” Jawab Minhwan.
“Ye? Aku tak pergi ke mana-mana. Memangnya mau kemana aku semalam ini?” aku bertanya lagi.
“Oh, begitu ya. Aku pikir kau akan mengantar Sandeul.” Ucap Minhwan. Mengantar.. Sandeul?
“Apa maksudmu Minhwan? Mengantar Sandeul? Kemana? Ada apa dengan Sandeul?” tanyaku bertubi-tubi. Minhwan menatapku heran.
“Jadi.. kau tak tau? Sandeul tak bilang padamu?” Tanya Minhwan bingung. Sandeul bilang sesuatu yang aku tak tau pada Minhwan. Begitu?
“Kemarin Sandeul datang menemuiku. Ia bicara padaku. Dia bilang dia mendapat beasiswa sebuah Universitas Seni di Washington. Untuk waktu yang lama sampai dia lulus. Ia memintaku untuk menjagamu selama dia tak ada.” jelas Minhwan.
“Jadi…” aku tak bisa berkata. Jadi inikah maksudnya menemuiku kemarin malam? Untuk mengucapkan selamat tinggal. Tapi kenapa dia tak mengatakannya kalau ia akan pergi keluar negri? Dan bukan untuk waktu yang sebentar?
“Minan, kapan ia berangkat?” tanyaku yang dijawab gelengan kepala dari Minhwan.
“Nan mollayo. Aku tak tau tepatnya kapan. Tapi Sandeul bilang ia akan pergi malam ini.” Ucap Minhwan. Aku bingung apa yang harus aku lakukan sekarang. Lalu aku memutuskan untuk mengambil sepedaku di garasi. Minhwan lalu menarik tanganku.
“Kau mau kemana?” tanyanya.
“Mianhaeyo, Minan. Aku akan bersepeda ke bandara. Aku ingin bertemu Sandeul sebelum ia pergi. Jeongmal mianhae.” Ucapku lalu kembali malanjutkan langkahku. Minhwan tak melepaskan genggamannya dari tanganku.
“Babo. Itu membuatmu menjadi lelet.” Kata Minhwan.
“Mwo?”
Minhwan lalu naik ke motornya. “Kajja. Kau mau ke bandara kan?” Tanya Minhwan. Aku membulatkan mataku. Bukannya segera naik aku malah keheranan menatap Minhwan. Kenapa anak ini malah…
“Ppalli! Kau ingin menemui Sandeul atau tidak?” kata Minhwan gemas. Aku membuyarkan lamunanku lalu bergegas naik ke motor Minhwan. Minhwan lalu menyalakan mesin motornya. Aku memeluk pinggangnya erat. Minan, gamsahamnida. Aku bertemu orang yang baik sepertimu.
+++++
Kami sampai di Incheon Airport. Aku dan Minhwan berlarian mencari Sandeul. Berharap pesawat yang ditumpangi Sandeul belum lepas landas. Aku mencari ke segala penjuru, namun tak melihat wajah Sandeul. Apa Sandeul sudah pergi?
“Yaa! Sandeul!” jerit Minhwan tiba-tiba. Minhwan menemukan sosok Sandeul. Sandeul tak melihat ke arah kami. Minhwan menarik tanganku, membawaku untuk menghampiri Sandeul.
“Lee Sandeul!!! Chamkanman! Jebal kajima!!” seruku sambil berlari. Sandeul lalu menoleh padaku. Ia tampak terkejut melihatku. Ia lalu berjalan mendekatiku.
Aku berhrnti di depannya. Aku ingin memeluknya sejenak. Tapi aku tak bisa melakukannya di depan Minhwan. Nafasku masih terengah-engah. Sandeul menatapku bergantian dengan Minhwan.
“Mengapa kau memberitahunya?” Tanya Sandeul pada Minhwan. Minhwan berdiri di sampingku.
“Cepat atau lambat, dia juga akan tau. Buat apa ditutup-tutupi?” kata Minhwan. Sandeul hanya tertawa kecil. Sejak kapan mereka jadi terlihat akrab begini?
“Sandeul! Mengapa kau tak bilang padaku kau akan pergi, huh? Waeyo? Wae?” tanyaku kesal.
“Aku tak mau membuatmu memikirkanku. Dan lihat sekarang, kau berlari-lari seperti habis melihat hantu saja.” Kata Sandeul enteng.
“Kau tau? Kau membuatku kaget. Paling tidak kau mengabariku. Mengapa kau malah memberi tau Minan bukannya aku?” protesku. Sandeul tersenyum lalu memandang Minhwan. mereka berdua saling bertatapan. Sandeul lalu mendekatiku lalu memelukku. Oh, Tuhan. Aku lalu memandang Minhwan. Minhwan hanya memandangiku dengan tatapan datar. Aku tak bisa mengelak dari Samdeul.
“Mianhae. Rencana keberangkatanku sebenarnya sudah lama. Tapi aku tak tau waktu yang tepat untuk memberitahumu. Pokoknya selama aku tak ada, jangan telat makan, rajin olahraga, tidur yang cukup, jangan terlalu banyak pikiran. Aku tak mau kau sakit atau menderita.” Tutur Sandeul mengguruiku. Ia lalu melepaskan pelukannya.
“Aku akan segera kembali. Tunggu aku ya.” Pinta Sandeul. Sandeul lalu menghampiri Minhwan.
“Pastikan Choi Ryuri baik-baik saja.” Kata Sandeul.
“Aku akan melakukannya tanpa kau minta.” Ucap Minhwan. Aigo, mereka ini membicarakan apa sih?
“Jika aku lulus nanti, aku akan segera kembali ke Seoul. Dan jika aku kembali kau masih belum juga menjadi namjachingu Ryuri. Aku tak akan melepaskannya.” Ancam Sandeul. Minhwan hanya tersenyum nakal.
“Tenang saja. Itu tak akan terjadi.” Ucap Minhwan. Sandeul tertawa kecil. Ia lalu menghela nafas.
“Geurae. Harabeoji sudah menungguku. Aku harus pergi sekarang.” Kata Sandeul.
“Secepat itukah?” tanyaku. Sandeul memegang kedua pipiku.
“Ne. Dan aku akan cepat kembali. Annyeong, Ryuri. Jaga dirimu. Saranghae.” Ucap Sandeul lalu berjalan pergi. Ia tersenyum manis padaku sebelum wajahnya tak terlihat lagi di hadapanku. Sandeul, aku harap kau akan selalu baik.
“Kau sedih?” Tanya Minhwan.
“Ya, sedikit.” Jawabku. Aku menoleh pada Minhwan. “Aku merasa kehilangan. Kehilangan seorang teman.”
“Jadi kau mau sampai kapan di sini?” Tanya Minhwan. Aku menggenggam tangannya. “Ayo pulang.”
Kami lalu ke tempat parkir. Minhwan lalu mengambil motornya. Ia lalu naik dan memakai helm-nya. “Kajja!”
Aku lalu menaiki motor Minhwan. Aku memeluk pingganggnya. Bersandar di punggungnya. Aku memang sangat kehilangan Sandeul. Tapi aku lebih tak ingin kehilangan orang di depanku ini.
+++++
Aku sampai di rumahku. Aku turun dari motor.
“Geurae. Cepat tidur sana.” Perintah Minhwan.
“Minan….” ucapku sambil memandanginya cukup lama. “Moduege gamsahamnida. Dan, maafkan aku, ya?”
Minhwan menghampiriku lalu memelukku. “Maaf untuk apa? Aku tak marah padamu.” Ucap Minhwan. Sungguh, yang ingin ku ucapkan padanya saat ini hanyalah kata terima kasih.
Minhwan lalu  melepaskan pelukannya. “Besok kau ada waktu?”
Eh?
+++++
“Minan… kita mau kemana?”
Minhwan menutup kedua mataku. Membawaku ke suatu tempat entah di mana. Aku hanya berjalan mengikutinya yang menuntunku.
“Sebentar lagi.” Kata Minhwan. Kami terus berjalan sampai akhirnya kami berdua berhenti.
“Geurae. Jangan buka matamu dulu sebelum ku suruh.” Lanjut Minhwan sambil melepaskan tangannya dari mataku. Aku masih menutup mataku.
“Set, dul, hana, ijen!” kata Minhwan. Perlahan aku membuka mataku.
Saranghae Baby Baby Baby Love.. Honey Honey Honey Love.. Neoman neoman saranghae yeongwontorok… Giyeokhae oneul oneul oneuldo.. Naeil Naeil Naeildo.. Oneulboda naeil deo neol saranghalge..
(FT Island – Baby Love)
                Aku terpaku melihat apa yang ada di depanku. Beberapa anak kecil bernyanyi di hadapanku. Lucu sekali. Suara mereka menjadi sebuah harmoni. Mereka indah seperti malaikat.
                “Yuu..” panggil Minhwan. Aku menoleh ke arahnya. Minhwan menggenggam kedua tanganku.
“Jebal, nekkeo haja. Ehm, ani. Would you be my girlfriend?” ungkap Minhwan. *ooooh… Brave Sound.. Na neoui boyfriend… #authornyanyiboyfriend*
Aku tertegun. Melihat semua yang dilakukan Minhwan. Bocah ini pandai membuatku terkejut. Dan sekarang ia menyatakan cintanya padaku. Bukan, ia memintaku menjadi yeojachingu-nya.
“Kenapa kau baru bilang sekarang?” tanyaku.
“Mianhae. Andai saja waktu itu aku tak membatalkan janjiku, jadinya tak akan seperti ini.” Jelas Minhwan. Waktu itu? Aigo, aku tak tau ia akan melakukan hal ini.
“Jadi, kau mau menjadi yeojachingu-ku atau tidak?” Tanya Minhwan.
“Eum, bagaimana kalau tidak?”
“Aku akan memaksamu.” Ucap Minhwan lalu tersenyum lebar.
“Karena kau memaksaku jadi.. ya sudah.” Kataku sok pasrah. (?)
“Ya sudah apa?” Minhwan mendelik.
“Ya sudah.” Ucapku. Minhwan mendekat padaku. Pandangannya tajam. Meminta penjelasan lanjut dariku. “Ya sudah. Aku mau menjadi yeojachingu-mu.”
“Aaa~ gomawoyo Yuu Yuu Yuu saranghae…” sontak Minhwan memelukku dengan tiba-tiba.
“Aish jinjja.. Minan.. hentikan! Jangan seperti anak.. kecil.” Kami baru menyadari bahwa segerombol anak kecil tadi memperhatikan kami. Mereka tertawa kecil. Lalu Minhwan melepaskan pelukannya.
“Minan, darimana kau dapatkan malaikat-malaikat ini?” tanyaku sambil menunjuk ke arah anak-anak tadi.
“Oh, mereka anak-anak panti asuhan. Aku sering bertemu mereka. Lalu ku minta mereka menyanyi untukmu.” Jelas Minhwan.
“Ye? Jahat. Kau tak pernah mengajakku. Kau juga tak pernah cerita padaku.”
“Ne, mianhae. Lain kali aku akan mengajakmu.” Kata Minhwan.
“Eo. Sebaiknya kau harus mengantar mereka pulang.” Ucapku sambil mengarah ke anak-anak tadi.
“Ne, aku akan mengantar mereka pulang. Kau mau ikut?” ajak Minhwan.
“Ne.”
“Kajja.”
+++++
“Anak-anak tadi lucu sekali.” Ucapku memcah keheningan sehabis mengantar anak-anak panti asuhan pulang. Minhwan mengangguk.
“Ne. Kapan kita punya anak seperti itu ya?” canda Minhwan. Aku membulatkan mataku menatap garang pada Minhwan. Minhwan menggigit bibirnya lalu mempercepat langkahnya.
“MINAN~!”
Aku mengejar Minhwan yang cengar cengir sendiri. Lalu berjalan berdampingan dengannya. Sambil menikmati matahari yang hampir tenggelam. Apakah aku akan terus sepeti ini. Berdampingan dengan Minhwan? Entahlah, aku tak peduli. Bahkah kini aku tak peduli aku ini yeojachingu Minhwan atau bukan. Yang terpenting adalah aku adalah bagaimana rasa cintaku pada Minhwan. Bagaimana rasa cinta Minhwan terhadapku. Sekarang aku milik Minhwan. Dan aku selalu berharap ‘selamanya’.
THE END