Laman

Minggu, 18 Desember 2011

FF: Please, Be Mine! [Part 1]



Genre : Romance
Length : 3 Shoot
Cast :
- Choi Ryu Ri as Choi Ryu Ri
- FT Island Minhwan as Choi Min Hwan
- B1A4 Sandeul as Lee Sandeul

Ryuri’s POV…
“Yuu, kau lelet!”
                “Yaa! Minan, kau pikir aku akan kalah, huh?”
                “Tentu saja.”
                “Tidak mungkin.”
                Aku mempercepat laju sepedaku. Aku berusaha mendahului Minhwan yang kini bersepeda di depanku. Kami berdua bersepeda menyusuri jalan di Sunyeodo Park. Minhwan adalah teman semasa kecilku. Dulu kami sering main bersama seperti saat ini. Setelah beberapa tahun kami tak bertemu, kami dipertemukan kembali. Dan saat ini kami seperti sedang bernostalgia ke masa lalu. Bermain-main seperti anak kecil.
                Aku mengayuh pedal sepedaku dengan kuat. Dan akhirnya aku bisa membalap Minhwan yang tadinya mendahuluiku. Aku menjulurkan lidahku tepat ketika aku berada di sampingnya. Aku terus melaju dengan cepat. Posisiku dengan Minhwan saling bergantian. Sial, Minhwan berhasil menyusulku. Ia tertawa sambil menoleh kepadaku dengan penuh kemenangan. Menyebalkan.
                GUBRAK! Suara gaduh itu terdengar. Aku menghentikan laju sepedaku. Lalu tertawa terbahak-bahak. Minhwan yang berusaha mengalahkanku jatuh dari sepeda di depanku.
                “Yaa! Jangan tertawa! Cara tertawamu menyebalkan tahu!” seru Minhwan yang hanya duduk di atas tanah sambil merintih kesakitan. Aku berusaha menahan tawaku.
                “Itu akibatnya jika kau berusaha mengalahkan seorang ‘Raja’. Kau tak kan bisa menang dariku.” Ucapku sambil menghampiri Minhwan.
                “Sudahlah jangan menghinaku terus. Bantu aku berdiri!” perintah Minhwan sambil mengulurkan tangannya.
                “Tidak mau!” ucapku sambil membuang mukaku.
                “Ah, ppali! Kalau kau tidak mau, kau harus cium aku dulu! Pilih mana, bangunkan aku atau cium aku?” Tanya Minhwan manja. Apa sih anak ini. Minhwan adalah cinta pertamaku sejak kecil. Kami sebenarnya saling mencintai. Tapi entahlah hubungan kami mau dinamakan apa. Benar-benar tidak jelas.
                Aku hanya menatapnya heran. Aku lalu menghela nafasku. Kuulurkan tanganku pada Minhwan agar bisa membantunya berdiri. Minhwan meraih tanganku. Ia berdiri, lalu ia menarik tanganku dan mendekatkan diriku pdanya. Tiba-tiba ia mencium pipiku. Aku bengong dan yakin pasti pipiku sudah bersemu merah. Minhwan lalu kabur sambil membawa sepedanya.
                “YAA! NEOMU BABO MINAAAAAN!”
*****
                Aku berjalan berdampingan dengan Minhwan sambil membawa sepedaku. Kami menyusuri jalan setapak menikmati hembusan angin.
                “Minan, aku lapar. Makan yuk.” Ajakku pada Minhwan membuka pembicaraan.
                “Di sini kan banyak daun-daunan. Kau makan saja.” Kata Minhwan tanpa rasa bersalah.
                “Ih, kau ini! Kau pikir aku ini ulat pemakan daun seperti yang di iklan Teh Pucuk? *eh* Ayolah Minan. Perutku tak bisa berkompromi.” Rengekku. Minhwan hanya tertawa kecil. Ia tak menjawab apapun. Tapi ia terus berjalan menuju sebuah café. Mataku berbinar melihat pemandangan di depanku ini. Aroma roti sudah tercium di hidungku.
                “Kita mau makan di sini?” tanyaku dengan bahagianya.
                “Aniyo. Aku mau ke toilet. Kalau mau makan, makan saja sendiri.” Ucapnya dengan santai. Mwo? Datang ke café hanya ingin ke toiletnya? Yang benar saja. Dasar anak ini. Aku memonyongkan bibirku. Minhwan tersenyum lalu menggenggam tanganku.
                “Aku bercanda. Kajja.” Minhwan lalu menarik tanganku dan masuk ke dalam café tersebut.
                “Kau tunggu dulu saja. Aku mau ke toilet. Nanti sekalian ku pesankan, ok?” kata Minhwan. Aku hanya mengangguk lalu mencari bangku kosong yang nyaman. Aku duduk di kursi dekat jendela sambil menunggu Minhwan.
I pray no tears in your dream
I know you’ll fly high in your life
I sesangeun  jakeun nan nuneuro
Tto geudael boryeogo hajiman
Boran deusi dangdanghage, malhal su isseo, you are the only one..
……………………
                Suara siapa itu? Siapa yang menyanyikan lagu itu? Indah sekali. Suara yang sangat merdu, lagu itu dinyanyikan dengan penuh penghayatan, setidaknya itu menurutku. Aku mencari asal suara itu. Pandanganku tertuju pada seorang namja di depan. Ia bernyanyi di atas panggung. Pandangan matanya sayu. Seperti menanggung sebuah kesedihan. Kenapa dia?
                “Roti datang, tuan putri.” Kata Minhwan tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Dia datang dengan membawa nampan dan pesanannya. Minhwan duduk di depanku. Ia membawa dua gelas susu dan dua buah roti mocha. Mocha? Minhwan masih ingat roti kesukaanku?
                “Gomawoyo.” Ucapku sambil tersenyum lebar.
                “Ingat, aku tidak bilang akan mentraktirmu.” Kata Minhwan lalu meneguk susu putihnya. Aku mengacuhkannya lalu mengambil sebuah roti mocha di depanku. Aku melahap roti itu. Rasanya benar-benar nikmat. Dulu sewaktu aku masih kecil, biasanya Minhwan membawa roti ini ke sekolah dan aku selalu mendapat bagian. Dan seringkali bagian itu lebih besar daripada untuknya. Hahaha. Aku melirik lagi ke arah penyanyi  café tadi. Ia sudah menyelesaikan lagunya lalu turun dari atas panggung. Namja itu lalu pergi entah kemana.
                Aku menghabiskan roti dan susuku. Minhwan baru menghabiskan susunya. “Pulang yuk.” Ajak Minhwan. Aku hanya mengiyakannya. Lalu kami mengahmpiri sepeda kami yang diparkirkan di depan café. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
                “Minan, kita belum bayar!” seruku pada Minhwan yang sudah menaiki sepedanya.
                “Sudah ku bayar. Cepat naik, lalu kita pulang.” Tukas Minhwan lalu ia mengayuh sepedanya. Aku lalu menaiki sepedaku dan mengendarainya. Kami lalu sampai ke persimpangan jalan. Aku dan Minhwan pulang dengan arah yang berlawanan.
                “Annyeonghi gaseyo. Cepat sampai rumah, selalu rindukan aku, selalu mimpikan aku. Oke?” kata Minhwan layaknya memperingatkanku suatu hal yang sangat penting.
                “Mwo? Apa-apaan kau ini! Yaa!!” sebelum aku selesai bicara, Minhwan sudah lari dengan sepedanya menuju ke rumahnya. Aku hanya menghela nafas panjang. Minhwan, kenapa kau membuatku tambah bingung? Tak usah kau peringatkan aku juga aku sudah merindukanmu setiap hari. Ia membuatku bingung dengan hubungan kami. Kami seperti sepasang kekasih yang suka main-main. Hubungan kami tanpa status. Mungkin Minhwan masih menganggapku sahabatnya. Tapi aku sungguh ingin mendapatkan kepastian yang jelas darinya. Ini bukan permainan.
                Aku mengayuh sepedaku menuju rumah. Sebentar lagi liburan musim panas akan berakhir. Aku harus “say goodbye” pada main sepeda, jalan-jalan, bersenang-senang, dan harus “say hello” pada buku-buku pelajaran, tugas yang menumpuk, juga ulangan harian. Yah.
                Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan seorang kakek. Ia sedang berusaha berdiri karena jatuh. Mungkin karena sudah tua, ia tak boleh membawa barang terlalu banyak. Aku meletakkan sepedaku dan menghampirinya.
                “Harajushi, gwenchanhayo?” tanyaku sambil membantu kakek itu berdiri. Setelah itu aku mengambilkan barang belanjaannya yang jatuh berserakan.
                “Ah, ne gwenchanha. Gamsahamnida.” Katanya lalu meminta tas belanjanya dari tanganku.
                “Apakah tidak berat?” tanyaku.
                “Aniyo. Tidak apa-apa.” Ucapnya dengan lembut.
                “Mau aku antarkan?” tawarku. Kasihan sekali kakek ini. Apa ia tidak punya anak atau cucu untuk mengurusnya sehingga harus berbelanja sendiri seperti ini?
                “Ah, tidak usah. Rumahku cukup jauh.”
                “Gwenchanha. Lagipula aku tau daerah ini. Aku kan bisa pulang dengan sepedaku. Kuantarkan saja, ya?” tawarku sekali lagi. Lalu aku menaruh tas belanja itu ke keranjang sepedaku. Aku tak menaiki sepedaku. Aku membawanya berjalan bersama sang kakek.
“Jeongmal gamsahamnida. Nuguseyo?” Tanya sang kakek.
“Choi Ryuri imnida.” Jawabku.
“Oh, begitu. Kau sangat baik. Aku juga punya cucu yang seumuran denganmu.” Ujar kakek itu.
“Ye? Jinjja? Mengapa ia tidak membantumu? Keterlaluan sekali.” Ungkapku.
“Hahahaha, sifatnya memang seperti itu. Dia punya pengalaman buruk dan sulit bersosialisasi.” Jelas kakek.
“Harajushi, tenang saja. Kalau aku bertemu dengannya, aku akan memperbudaknya dan menyuruhnya mengurusmu dengan baik.” Ucapku sok akrab. Kakek itu hanya tertawa.
Kami sampai di rumah sang kakek. “Apa kau mau mampir?” Tanya kakek itu. “Tidak, terima kasih. Aku harus pulang.” Tolakku lembut.
“Geurae. Aku Lee-harajushi. Kapan-kapan mampirlah ke rumahku.” Ujar Lee-harajushi.
“Ne. Chamjohasibsio. Bangabseumnida. Annyeong.” Ucapku sambil melambaikan tangan. Lalu aku meninggalkannya dan bergegas pulang.
*****
Next Day…
Kejadian sama terulang lagi hari ini. Aku menemui Lee-harajushi. Saat aku sedang berkeliling-keliling. Kali ini tanpa Minhwan. Aku bersepeda sendirian. Lalu aku menemui Lee-harajushi yang sedang membawa tas belanjanya. Tapi aku rasa itu bukan bahan-bahan untuk memasak. Entah itu apa.
“Annyeong hasimnikka.” Sapaku. Aku mendekat pada Lee-harajushi. Ia tersenyum padaku.
“Oh, kau.. kau.. Choi.. Choi..”
“Choi Ryuri.” Ucapku memotong perkataannya. Aku tak sopan ya?
“Ah, ne. mampirlah ke rumahku sekali saja. Aku akan memberikanmu makanan yang enak.” Bujuk Lee-harajushi. Kakek ini ada-ada saja.
“Haha, geurae.” Aku menuruti saja kata Lee-harajushi. Siapa tahu setelah lelah bersepeda, aku bisa mendapatkan makan dan minum gratis. #plak
Aku sampai di rumah Lee-harajushi. Aku memarkirkan sepedaku di pintu depan rumahnya. Lee-harajushi mempersilahkanku masuk. *bahasa gue bener kaga sih?* Aku memasuki rumahnya. Aku mungkin bermimpi memasuki rumah yang menyerupai istana ini. Aku menjadi tamu dalam sebuah rumah yang.. wow.
Lee-harajushi menyuruhku duduk di ruang tamu. “Aku akan menyediakan minum dan makan untukmu. Kau tunggu dulu saja.” Ucap Lee-harajushi.
“Ah, tidak usah repot-repot.” Ucapku berbasa-basi. Sebenarnya sih aku tidak menolak yang gratisan seperti ini. :p Lee-harajushi pergi ke dapur. Aku memandang ke sekeliling rumah ini. Tempatnya bersih dan nyaman. *ini sih authornya yang norak* Lalu pandanganku tertuju pada sebuah rak besar. Di rak itu berjajar rapi banyak piala, medali, serta piagam. Aku lalu menghampiri rak itu. Memandanginya satu persatu. Banyak diantaranya adalah Juara dari Singing Competition *jiah*. Apa Lee-harajushi memenangkan lomba nyanyi? Ah, tidak mungkin. Aku membaca nama yang tertera di sana. Lee Sandeul.
“Lee Sandeul? Nugu?” gumamku.
“Aku Lee Sandeul. Ada apa dengan Lee Sandeul?” kata seseorang di belakangku. Glek. Aku lalu membalikan badanku dan melihat seseorang di belakangku. Ia menatapku dengan tajam. Jadi ini Lee Sandeul? Penyanyi café waktu itu. Adalah seorang juara di berbagai kompetisi menyanyi? Lalu..
“Apa kau Choi Ryuri? Orang yang akan memperbudakku agar mengurus kakekku dengan baik?” Kata Sandeul. Ya, Tuhan. Lee-harajushi menceritakan semua yang aku katakan. Dan Sandeul adalah cucu Lee-harajushi.
“Oh, itu. Eh.. aku kan bercanda ya tak usah di ambil ke hati.” Ucapku sambil senyum paksaan. Sandeul mendekatkan dirinya padaku. Wajahnya mendekat.
“Aku tau kau bercanda. Itu tidak lucu.” Ucap Sandeul sambil memiringkan senyumnya. Aku terdiam. Aku menelan ludah.
“Aku kan tak bermaksud melucu.” Ucapku. Jantungku berdebar sangat cepat. Orang ini tidak suka bercanda, atau tak pernah bercanda sih? Sandeul hanya tersenyum kecut.
“Jangan kau datang ke sini lagi. Arayo?” katanya dengan ketus. Aku heran, kenapa ada orang seperti ini di dunia ini?
“Choi RyuRi.." tiba-tiba suara Lee-harajushi memanggilku. Sandeul memandang Harajushi-nya itu lalu menjauhkan dirinya dariku.
"Oh, Harajushi." ucapku. Lee-harajushi tampak membawakan makanan dan minuman untukku. tampak lezat tapi...
"Eum, Harajushi.. Aku harus pulang. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Aku permisi dulu." pamitku pada Lee-Harajushi.
"Ye? Kenapa terburu-buru?" tanya Lee-harajushi.
"Jeongmal mianhaeseo. Gamsahamnida. Annyeong jumeseyo." ucapku sambil membungkukkan badan. Aku lalu pergi. Sebelum aku pergi aku memandang wajah Sandeul. Wajahnya menyeramkan. Hiyy.
*****
Aku merapikan rambutku di depan cermin. Menggulung lengan jaketku hingga siku lalu tersenyum. Aku lalu keluar kamar dan pamit pada Eomma. Aku melangkahkan kakiku ke luar rumah. Sore ini, Minhwan mengajakku pergi. Mungkin semacam kencan. Haha. Tapi entah kami akan pergi ke mana. Ia hanya memintaku untuk menemuinya si Sunyeodo Park.
          Aku pergi ke taman hanya dengan berjalan kaki. Untung saja tidak jauh dari rumahku. Aku berjalan dengan hati-hati, karena jalanan masih basah sehabis diguyur hujan. Di sepanjang jalan juga terdapat banyak genangan air yang membuatnya menjadi semakin licin.
          Aku memandang seseorang di depanku. Seorang namja yang tampak mengenakan earphone di telinganya sedang melantunkan sebuah lagu. Entah lagu apa, yang jelas suaranya sangat merdu. Ia lalu memandangku. Kami saling pandang. Nyanyiannya terhenti.
 "Annyeong.." sapaku ramah. Lee Sandeul, namja bersuara indah itu tetap menunjukkan wajah masamnya.
            "Annyeong." sapanya singkat. Apa namja ini tidak pernah tersenyum?
            "Kenapa kau pergi sendirian?" tanyaku sok akrab. Sandeul menghentikan langkahnya dan melepaskan earphone-nya.
            "Apa pernah aku pergi bersama orang lain?" Ia balik bertanya. Aku terdiam.
            "Aniyo. Lalu, apa kau tidak pernah pergi dengan temanmu?" tanyaku yang baru mulai menyadari kalau selama ini Sandeul tak pernah berteman dengan orang lain, slain kakeknya.
           "Teman? Aku tidak punya teman." ucapnya.
           "Geureongayo? Jinjja? Setiap orang pasti butuh teman. Bukankah hidupmu enak? Kau punya suara yang indah, kakek yang perhatian, rumah enak, semua enak, bagaimana bisa.." aku menghentikan ucapanku. Aku melihat pandangan mata Sandeul yang kosong.
          "Apa aku salah bicara?" tanyaku. Sandeul lalu menatap mataku.
          "Aniyo." kata Sandeul kemudian.
         "Mungkin aku bisa menjadi temanmu?' tawarku sambil menunjuk wajahku dengan jari telunjukku.
         "Tidak, terima kasih." kata Sandeul lalu melanjutkan perjalanannya. Aku menghela nafas, lalu aku membalikkan badanku memandanginya. Aku berlari kecil menghampirinya.
        "Yaa! Lee Sandeul!!" seruku. Sandeul berbalik menghadapku. Aku lupa pada jalan yabg licin sehingga aku hampir terpeleset. Aku berusaha untuk tidak jatuh. Aku berpegangan pada tangan Sandeul. Rupanya Sandeul tidak menjaga keseimbangannya. Ia juga terpeleset genangan air dan jatuh bersamaku. Aku jatuh tepat di atas tubuhnya. *Aw* Aku lalu mencoba berdiri dan menatapnya. Wajahnua sangat dekat denganku. Michyeo, pasti wajahku sudah merah padam.
        Aku lalu berdiri melihat celana panjangku yang basah karena genangan air. Aku lalu menoleh pada Sandeul yang sedang mencoba berdiri. Jaket dan celananya basah serta kotor. Itu semua gara-gara aku. Ia menghela nafas dan menatapku.
        "Jeongmal mianhaeseo.. Jeongmal jeongmal jeongmal mianhaeseo.." ucpaku sambil menyatukan kedua telapak tanganku pertanda memohon maaf.
 "Gwaenchanhayo?" tanya Sandeul. Aku tertegun. "Ye?"
             "Gwenchanhayo?" tanya Sandeul lagi.
             "Eh, eum.. Ne, gwenchanha. Gomawoyo." ucapku tergagap. Ini tak salah? Sandeul menghawatirkanku?
             "Geurae." ucap Sandeul lalu berjalan lagi. Sandeul terdiam sejenak lalu menghampiriku. Ia memegang kedua bahuku dan menatapku lekat-lekat. Aku menelan ludah.
             "Aku tidak butuh teman. Araseo?" ucap Sandeul. Ia lalu berbalik dan kembali berjalan. Aku menatapnya. Apa karena itu ia selalu terlihat sedih?
 "Lee Sandeul..." aku memanggilnya lagi. Sandeul kembali terhenti tanpa menoleh padaku.
             "Terserah apa katamu. Aku tak pernah menolak untuk berteman jika tanpa suatu alasan." ujarku pada Sandeul yang tetap pada posisinya. Ia lalu terus berjalan. Aku hanya menghela nafas. Kenapa orang beruntung seperti Sandeul masih tetap menyimpan rasa sedih?
             Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah pesan singkat dari Minhwan. Aku membelalakan mataku membacanya.
             "Dasar Minan.. Awas kau.."
*****
              BYUR! Aku mengguyur sekujur tubuhku dengan air. Tapi aku tak kunjung segar. Apa-apaan ini Minhwan? Ia yang mengajakku pergi dan Ia juga yang membatalkan janji. Bukannya menemui Minhwan aku malah menemui Sandeul. Lagipula ada apa dengan Sandeul? Jadi selama ini ia selalu bersedih karena tidak mempunyai teman. Bahkan aku hampir tidak percaya akan hal itu. Dia kan berasal dari keluarga berada, berprestasi dalam bernyanyi, dan... terbilang lumayan tampan. Tatapan matanya tajam namun pandangannya sendu.

          "Ryuri-ah! Lama sekali kau mandi! Ppali! Ada tamu mencarimu." kata Eomma sambil mengetuk pintu kamar mandi. Siapa sih yang malam-malam begini mencariku? Fans? #plak

"Nuguseyo?" tanyaku dari dalam kamar mandi.

"Minhwan. Ppalli!" seru Eomma. Glek! Minhwam ke rumahku. Aku belum berbalut pakaian. Bagaimana ini? Aku harus keluar dengan handuk? Ah, andwaeee.

"Yuu.. kau di dalam?" suara Minhwan terdengar dari luar. Ia mengetuk pintu kamar mandiku. Sedang apa dia? Dia membuatku panik. Lagipula kenapa Eomma bisa-bisanya meninggalkanku? Aku cepat-cepat mengeringkan tubuhku dan memakai handuk.

"Ne. Mau apa kau datang dengan tiba-tiba? Membuatku kaget saja." ucapku tanpa membuka pintu.

"Waeyo? Aku ke sini hanya sebentar. Aku rindu padamu, Yuu. Aku tak bisa satu hari tanpa melihat wajahmu. Bolehkah aku melihatmu sebentar saja, Yuu?" ungkap Minhwan. Jantungku mempercepat debarannya. Aku menghela nafasku. Lalu aku mem buka sedikit pintu kamar mandiku. Aku hanya mengintip.

"Apa kau ke sini hanya untuk itu?" tanyaku sambil bersembunyi dari balik pintu. Minhwan tersenyum memandangku.

"Aniyo. Aku mau minta maaf. Aku sudah membatalkan janjiku. Aku ada keperluan dengan Eommaku. Mianhaeyo." ucap Minhwan. Melihat wajahnya aku jadi tak tega.

"Kau kan sudah minta maaf. Gwaenchanha." ucapku.

"Geurae. Sebagai gantinya, mungkin besok malam temui aku di Sunyeodo Park. Ok?" ajak Minhwan.

"Ok" ucapku. Minhwan mencubit kedua pipiku.
"Gomawoyo, Yuu. Jam 07.00 pm. Jangan sampai tidak datang ya." kata Minhwan lalu melepaskan cubitannya.

"Ne. Jangan batal lagi" ucapku sambil mengelus pipiku.

"Tenang saja. Ehm, ngomong-ngomong kau terlihat sexy dengan handuk itu." kata Minhwan sambil menggigit bibir bawahnya. Aku membelalak. "MWO???"

"Annyeonghi gaseyo, Yuu!!!" Minhwan kabur lalu menghampiri Eomma di ruang tamu. Ia pamit pada Eommaku lalu pergi. Aku menutup pintu kamar mandiku dan memandang ke cermin. Wajahku merona.

*****
Malam ini tidak begitu baik. Langit tampak berwarna kemerahan dan berawan. Mungkin akan turun hujan. Maka aku sudah mempersiapkan payung dari rumah. Aku akan menemui Minhwan. Entah apa yang mau dilakukan anak ini.
Apakah begini kelakuan anak muda jaman sekarang? Malam ini kan malam Senin, jika bukan karena Minhwan aku malas berjalan-jalan di malam Senin karena besok aku harus sekolah. Aku melihat di sepanjang jalan menuju Sunyeodo Park. Banyak sekali orang pamer kemesraan. Membuatku kesal saja. Tapi hanya seseorang yang sedang duduk di kursi taman sendirian. Nugu? Jangan bilang itu Sandeul. Menyebalkan jika aku harus bertemu dulu dengannya sebelum bertemu Minhwan.

Dugaanku tepat. Ia duduk sambil tertunduk. Ia tidak tertidur, ia hanya melamun seperti biasanya. Apa aku harus mengajaknya bicara? Tapi nanti aku malah mengganggunya. Aku mengurungkan niatku untuk menyapanya. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan berjalan terus di depannya.

"Choi Ryuri."
Aku mendengarnya, panggilan itu, seseorang memanggil namaku. Dan yang memanggilku adalah Sandeul. Apa aku tak salah dengar? Sandeul memanggilku? Aku memundurkan beberapa langkah kakiku.

"Apa kau memanggilku?" tanyaku pada Sandeul yang masih tertunduk. Aku memandang wajahnya. Yaa, apakah benar yang ku lihat ini? Sandeul menangis? Air mata membasahi pipinya.

"Yaa! Kau mengangis? Waeyo? Apa karena aku?" tanyaku sambil membungkuk. Aku mengadah menatap wajah Sandeul. Sandeul balik menatapku. Aigo, aku tak kuasa menatap matanya yang terlihat bening, basah karena air mata.

Tiba-tiba Sandeul menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Ada apa dengan anak ini? Mengapa ia bersikap seperti ini padaku?

"Aku memikirkannya. Aku terus memikirkan perkataanku dari kemarin. Aku bilang aku tak butuh teman." ucapnya.

"Geurigo?" tanyaku.

"Ibuku sudah tiada. Seringkali ayahku pergi dengan wanita lain. Bahkan ayah jarang pulang ke rumah. Sekalipun ada, ayahku membawa seorang wanita. Itu membuatku harus tinggal di rumah kakekku. Aku tak pernah mendapat perhatian dari orangtuaku. Aku tak pernah mendapat kasih sayang mereka. Aku hanya dapat merasakan kasih sayang Ibuku sampai aku berusia 6 tahun."

Aku diam.
"Aku selalu mendapat ejekkan. Aku memutuskan diam dan tidak meladeni mereka. Karena itulah aku tak bisa bersosialisasi dengan baik. Aku tak bisa berteman dengan mudah. Aku tak sepertimu, Choi Ryuri. Kau bisa dengan mudah menjadikanku temanmu. Aku iri padamu. Aku bilang aku tak butuh teman. Aku rasa.. itu bohong."

Bibirku seperti terkunci. Apa yang harus ku katakan pada anak ini?

"Aku kesepian, Choi Ryuri. Masih bisakah aku menjadi temanmu?

Aku mengela nafasku. Anak ini benar-benar menderita. Aku menyadari aku labih beruntung darinya. Tanganku tergerak memegang kepala Sandeul. Mangelusnya dengan lembut. Aku balik memeluknya.

"Bisa." ucapku.

"Gamsahae." kata Sandeul.

"Yuu?"

To be continued...