Laman

Rabu, 28 September 2011

FF: Stay In Love



Cast :
- Choi Ryu Ri
- Choi Min Hwan

                Aku menaruh bukuku ke dalam lokerku. Lalu aku berjalan ke luar sekolah bergegas pulang ke rumah. Di mana si Kim JangLi itu? Sahabatku itu biasanya pulang bersamaku. Ntah kenapa mungkin ia pulang lebih awal. Iya sih, karena aku masih ada urusan dengan sonsaeng-ku karena membuat kekacauan di kelas.
Aku menatap langit yang biru. Merasakan udara yang mulai dingin. Aaku memeluk tubuhku mencoba membuatnya hangat. Sebentar lagi musim dingin. Pergantian musim adalah hal bahagia bagi hidupku. Kenapa? Karena jika musim dingin tiba, liburan juga tiba. Aku bisa melakukan kegiatan yang kusukai. Meskipun begitu, aku tak suka badai. Menyebalkan kalau ia datang. Aku tak bisa main ke luar rumah menikmati salju dan terperangkap di dalam rumah. Sangat membosankan.
Seketika aku mencium aroma ayam bakar yang membuatku lapar. Oh, siapakah yang meyebarkan aroma dari surga ini lalu menghampiri hidungku? Aku mengendus hidungku mencari tempat aroma ayam bakar ini berasal. Aku lalu memasuki sebuah restoran yang menjual ayam bakar itu. Ayam bakar yang terpampang di depanku benar-benar menggodaku. Aku merogoh sakuku dan menghitung uangku. Masih cukup! Aku memandang ayam bakar di etalase dengan tatapan sangar. Belum sempat aku memesan ayam bakar itu, seorang pelayan mengambil ayam itu.
“Ya! Chamkanmanyo! Aku mau ayam itu!” teriakku. Aku rasa teriakkanku benar-benar tak terkendali sehingga hampir semua pengunjung restoran itu menatapku.
“Ah, mianhamnida. Tapi ini sudah dipesan lebih dulu.” Ucap pelayan itu sambil membungkukan badannya. Lalu ia menaruh ayam itu di piring.
“Apakah tidak ada ayam bakar lagi?” tanyaku sambil menggebrak meja.
“Andwae, mianhae.” Pelayan itu memberikan sepiring ayam bakar itu kepada seorang namja. Aku memperhatikan ayam itu terus menerus. Apakah aku harus mrelakan ayam itu?
“Eum, permisi. Boleh aku membeli ayam bakar itu darimu.” Tanyaku pada namja itu dengan memasang wajah aegyo.
“Enak saja. Aku baru saja memesan ayam bakar ini. Tidak akan aku berikan.” Katanya ketus. Aku menarik nafasku dalam-dalam.
“Jinjja? Kalau begitu lebih sopan sedikit kalu bicara! Lagipula aku ingin membelinya bukan memintanya!” seruku.
“Ya! Kau tak perlu marah-marah begitu. Siapa cepat dia dapat!” Ia juga balas berteriak padaku. Aku menatap matanya. Matanyatampak tak asing di mataku.
“Ryuri-ah? Kau Choi Ryuri, kan?” tanyanya tiba-tiba. Aku memandangnya lama. Ini adalah orang yang sudah lama ku kenal. Orang yang sudah lama tak bertemu denganku. Aku benci orang ini, tapi sangat merindukannya. Choi Minhwan... Seperti inikah kau sekarang?
“Ah, eumm…. Ne.” ucapku terbata-bata.
“Kau masih ingat padaku?” tanyanya lagi. Kali ini disertai senyum. Ia sangat berbeda dengan dulu. Senyumnya sangat manis. Aku membuyarkan lamunanku.
“Ehm, ne.” jawabku. Lalu aku segera pergi dari restoran itu. Sepertinya Minhwan memanggilku tapi aku menghiraukannya. Aku tetap berjalan cepat menuju rumahku sambil ngedumel sendiri.
“Aduh, Ryu.. Apa yang kau pikirkan sih? Dia kan hanya teman masa kecilmu lalu kenapa kau jadi salah tingkah seperti ini? Ya, senyumnya manis, sih. Tapi kau kan dulu membencinya. Huh, aigooo.” Kataku sambil menggaruk kepalaku meskipun tak gatal. Minhwan teman masa kecilku. Kami sangat akrab. Tapi kami sempat bertengkar. Andai saja ia tak berbuat seperti itu padaku.
~Flashback~
                Hari ini ulang tahunku. Aku bersekolah dengan riang. Meskipun teman-temanku tak ada yang tahu hari ulang tahunku, tetap saja aku senang. Appa dan Eomaku pasti akan membelikanku hadiah. Aku memandang Minhwan yang sedang berjalan-jalan di pinggir kolam. Minhwan itu cinta pertamaku. Aneh ya? Aku ini kan masih siswa TK. Aku tak tau kenapa, tapi aku menyukainya.
“Ryu-ah, ke sini!” Minhwan memanggilku dari kejauhan. Aku mengikutinya menuju danau di belakang taman kanak-kanak tempat kami bersekolah. Aku mendekatinya dan bertanya “Ada apa?”
Minhwan tersenyum padaku. Ia adalah sahabat karibku. Kami selalu main bersama. Aku senang bila main bersamanya. Mungkin ia tak mengerti yang aku rasakan sekarang ini. Mungkin aku terlalu banyak menonton film drama yang hiperbola. Tapi aku merasa benar-benar menyukainya. Minhwan menatap mataku dan memegang tanganku. Eh, kenapa ia seperti ini?
Ia lalu memegang pundakku dan… dan... dan dia mendorongku ke dalam danau yang berlumpur itu. Hei, apa-apaan dia ini? Aku piker dia ingin melakukan apa, ternyata mendorongku ke dalam danau berlumpur! Tubuhku dan bajaku basah semua. Kotor pula. Aku melihat sekujur tubuhku yang penuh lumpur. Lalu aku melihat kea rah kakiku. Mataku melotot. Cacing! Aku benci cacing! Cacing adalah hewan yang paling paling dan paling menjijikan yang pernah kutemui. Aku langsung berteriak keras dan bangkit. Lalu berlari benuju pinggir kolam dengan nafas yang terengah-engah.
“LIHAT ITU! CHOI RYU RI YANG PEMBERANI TAKUT PADA CACING!!!” seru Minhwan dengan kerasnya. Seluruh anak satu sekolah menertawaiku. Minhan adalah Bandar dari semua ini. Ia merencanakan ini. Mendorongku, mengotoriku dengan lumpur, memberitahu semua siswa bahwa aku takut pada cacing. Ini sungguh menyebalkan! Kau tahu? Aku adalah anak paling berani di sini. Aku tidak takut apapun. Dan predikat anak pemberani itu tercoreng!
Aku memandang mereka semua. Mereka terus tertawa. Ini adalah hari sialku. Tepat di hari ulang tahunku! Ini gara-gara Minhwan. Ia mempermalukanku. Aku belum pernah dipermalukan seperti ini. Minhwan sangat jahil padaku. Jahil sekali. Tapi di setiap kejahilannya, aku pasti bisa membalasnya. Enyah, kali ini aku diam. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku lalu berdiri dan menangis. Choi Ryuri tak pernah menangis, tapi kali ini aku tak kuat membendungnya.aku berlari, Minhwan mencoba menghentikanku tapi aku tak mengubrisnya.  Aku lari mengambil tas-ku dan segera pulang. Aku minta pindah sekolah. Dan sejak saat itu aku tak pernah melihat wajahnya lagi.
~Flashback End~
                Semalam aku tak bisa tidur. Entah mengapa aku memikirkan namja itu. Mengapa sih ia menampakan wajahnya di depanku lagi? Aku jadi teringat masa laluku. Andai saja aku tak membencinya, mungkin keadaan kami tak seperti sekarang. Entah ada rasa sulit untuk memaafkannya.
                Aku memasuki ruang kelasku. Menuju kursi di sebelah JangLi yang sedang sibuk dengan tugasnya. Wajahnya tampak sangat serius menyalin pekerjaan milik Miyoung yang nampaknya sudah menagih bukunya. Aku segera duduk di kursiku dan menelungkupkan wajahku ke dalam tanganku yang dilipat di atas meja. Aku masih mengantuk. Tak lama kemudian, Jung-sonsaengnim datang. Aku berdiri untuk memberi salam dengan malas.
                “Geurae, kalian akan kedatangan siswa baru. Mungkin ada diantara kalian yang sudah mengetahui hal ini. Silakan masuk.” Jung-sonsaengnim memperkenalkan siswa baru itu. Mataku membelalak. Dan kalian tau apa yang aku pikirkan.
                “Annyeong haseyo. Ceoneun Choi Minhwan imnida.” Katanya sambil membungkukan badannya. Mengapa ia sekolah di sini sih? Dari sekian banyak sekolah di Korea Selatan mengapa ia memilih sekolah ini? Mengapa harus satu kelas denganku? Mengapa? Mengapa?
                Ia menatapku. Aku tak berani memandangnya. Aku hanya tertunduk. Jantungku jadi berdebar kencang begini. Bagaimana hari-hariku bila ia ada di sini. Hatiku penuh rasa tidak tenang. Entah apa yang membuatku seperti ini. Ia lalu duduk di kursi di belakang-ku. Kenapa pula ada kursi kosong di belakangku? Ya, Tuhan.
                “Yuu~ Kita sekelas ya?”” bisiknya dari belakang. Yuu? Aku tak pernah mendengar panggilan itu lagi. Sudah sangat lama bahkan aku hampir lupa. Yuu adalah pnggilan masa kecilku. Panggilan itu hanya dari Minhwan. Hanya ia yang memanggilku begitu. Dan aku biasa memanggilnya Minan.
                “Yuu, kenapa kau diam saja? Kau jadi pendiam begini.” Ucapnya lagi. Aku tak menjawab pertanyaannya. Mulutku serasa terkunci rapat. Aku bingung apa yang harus katakan.
                “Yuu… Apa kau masih marah karena kejadian waktu itu?” tanyanya lembut. Deg! Jantungku mau copot rasanya. Ia masih tak melupakan kejadian itu.
                “Diam kau!” aku menoleh ke belakang dan menggebrak mejanya sambil berteriak keras. Minhwan menatap heran padaku. Ia terdiam. Seluruh kelas memperhatikanku.
                “Yaa! Choi Ryuri-ah. Kerjakan soal nomer 1 di papan tulis! Ppali!” seru jung-sonsaengnim memandangku sinis. Sedari tadi aku tak mendengarkan sonsaeng itu bicara. Glek! Matilah aku.
*****
                “Yuu~!!!” Minhwan memanggilku. Aku berlari menuju gerbang sekolah bergegas pulang menuju rumahku. Minhwan membuntutiku.
                “Yuu, kenapa kau jadi menghindariku begini?” Minhwan menarik lenganku dan berhasil mencegahku berlari. Aku menarik nafasku. Menguatkan diri menatapnya.
                “Aku tidak menghindarimu.” Ucapku lalu melepaskan tangannya dari lenganku.
                “Lalu mengapa kau berlari?” tanyanya.
                “Karena aku ingin segera pulang. Waeyo?” seruku lantang. Minhwan diam lagi. Aku segera pergi meninggalkannya. Minhwan hanya berdiri mematung. Mungkin sikapku terlalu kasar padanya. Namun aku bingung. Aku harus menunjukan sikap yang seperti apa padanya?
                Tiba-tiba hujan deras mengguyur tubuhku. Eh, mengapa bisa begini? Bukankah tadi cuaca sangat cerah? Bajuku basah kuyup. Aku tidak membawa payung. Parahnya jarak menuju rumahku masih jauh. Aku berlari sekencang-kencangnya. Musim dingin akan segera datang. Dan udaranya dingin sekali.
                “Yuu!!! Cepat naik!” seseorang menghampiriku dengan motornya. Minhwan?
                “Kau mau apa?” tanyaku sambil berteriak. Gemuruh suara hujan membuyarkan suaraku.
                “Kau mau kuantar atau tidak? Cepat naik dan tunjukkan rumahmu!” seru minhwan. Ada sesuatu yang mendorongku untuk menerima tumpangan dari Minhwan. Motor Minhwan melaju kencang. Refleks aku memeluknya. Wajahku memerah. Aku memandang sepintas wajah Minhwan yang berusaha keras mengendarai motornya di terpa hujan deras begini. Aku mengingat-ingat masa laluku lagi. Dan menyadari cinta pertamaku itu. Apakah perasaanku sama seperti waktu itu?
                Aku sampai ke rumahku.
                “Gamsahamnida.” Ucapku sambil membungkuk. Minhwan tersenyum. “Cepat masuk, keringkan badanmu, mandi air hangat.” Perintahnya lembut. Mengapa sifatnya dengan dulu berbeda sekali? Aku masuk ke rumahku dan segera kembali ke teras rumahku. Aku memberikan sesuatu pada Minhwan.
                “Payung?” tanyanya. Aku mengangguk. Ia tertawa.
                “Gomawoyo.” Ucapnya tersenyum lebar. Ia segera menyalakan mesin motornya. Sepertinya hujan sudah mulai reda. Oh, Tuhan… kau sengaja menurunkan hujan deras padaku, ya? :p
                “Masa aku harus memakai paying seperti ini? Bagaimana bisa aku menyetir?” candanya. Aku cemberut. “Kalau tak mau ya sudah!”
                “Aish, iya iya. Aku akan pakai. Ngomong-ngomong, Yuu, kapan kau memanggilku seperti dulu?” tanyanya. Memanggil seperti dulu? Maksudnya.. Minan?
                “Mwo? Sudah sana kau cepat pulang!” usirku. *kasian*
                “Iya… Kau jahat sekali. Tapi, aku merindukanmu memanggilku seperti dulu. Kau masih ingat nama panggilanku kan?” tanyanya lagi. Aku segera mengambil sapu ijuk di depan rumahku dan bersiap-siap memukulnya.
                “Ah, ne. geuraeyo!” Minhwan melaju cepat dengan payung yang kuberikan. Minan.. Minan.. kau merindukan panggilan itu? Aku ingin sekali memanggilmu begitu tapi… entah, bibirku sulit mengucapkannya.
*****
                “Yuu? Yuu! Kau sakit?” Minhwan mengguncang-guncangkan bahuku dan memandang kepalaku yang tergeletak di atas meja. Kepalaku pusing. Mungkin karena kemarin terlalu lama berada di tengah hujan. Mataku berat sekali. Salahku juga sih, kemarin bukannya aku mandi air hangat, aku malah mandi dengan air dingin. Aku malas memasak air. Yah, menyebalkan.
                “Yuu! Sebaiknya kau izin pulang!” pinta Minhwan. Aku tak bergerak sama sekali. Masih tetap berada dalam pososoku semula. Aku lemas, tak bertenaga.
                “Yuu!” teriak Minhwan lagi. Aku membuka mataku. Pandanganku menjadi buram. Aku melihat wajah manisnya yang namapak cemas menatapku. Ia menarik bahuku dan menyandarkanku ke kursi. Kepalaku terasa sangat pusing. Minhwan mengalungkan tanganku di lehernya. *ngerti ga?*
                “Mau apa kau?” tanyaku dengan nada lemas. Mataku masih sedikit terpejam. Aku melihat semua siswa di kelas menatap kami.
                “Joyonghi.” Kata Minhwan. Minhwan menggendongku. HAH? *FF gue wajib gendong2an*
                “Mau kemana kau?” tanyaku lagi. Kali ini berusaha mengangkat kepalaku yang terasa berat untuk memandangnya.
                “Membawamu pulang, pabo!” seru Minhwan. Wajahnya tampak kelelahan.
                “Kau keberatan ya?” tanyaku sambil bersandar di punggungnya.
                “Aniyo.”
                “Pasti keberatan tuh..”
                “Lagian siapa suruh kemarin hujan-hujanan? Kau kan jadi sakit begini!” tukas Minhwan seperti ibu-ibu.
                “Tapi kau tidak sakit sepertiku?”
                “Kalau aku sakit, nanti yang membawamu pulang siapa?” tanyanya menatapku. Mata kami bertemu. Aku mengalihkan wajahku. Lalu bersandar lagi di punggungnya. Rasanya nyaman. Minan, aku baru menyadari. Aku merindukanmu. Rumahku memang tidak jauh dari sekolah. Bisakah jalan ke rumahku menjadi lebih panjang? Entah, mungkin terlalu nyaman, aku sampai tertidur di atas punggungnya.
Minhwan’s POV…
                Aku hampir sampai ke rumah Yuu. Ah, gadis ini mengapa berat sekali sih? Aku menoleh padanya. Mengapa pula ia tertidur segala? Yuu… Aku tahu pasti ia masih marah padaku karena kejadian saat kami masih kecil. Aku pikir ia sudah melupakannya. Mungkin yang aku lakukan memang keterlaluan. Tapi sungguh aku tak bermaksud seperti itu.
                “Permisi~!” aku tiba di depan rumah Yuu. Mengintip sedikit ke dalam jendela rumahnya. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya membukakan pintunya untukku. Ibunya Yuu. Aku masih mengingat wajahnya.
                “Ryu! Ryu kenapa? Geurugo nuguseyo?” Tanya ibunya Yuu. Wajahnya cemas melihat anaknya yang sedang tertidur.
                “Aku Minhwan sahabat ryu. Dulu aku teman baik Ryu. Ryu sepertinya demam. Jadi aku mengantarnya pulang.” Jelasku.
                “Oh, geuraeyo. Kajja, Ajjhuma antarkan ke kamarnya.” Kata Ibunya Yuu sambil menyuruhku masuk ke dalam rumah. Aku masuk ke kamarnya nih? *bahasa gue ga enak banget*
                Aku memasuki kamar Yuu. Kamarnya berantakan. Dasar Yuu. Aku membaringkannya ke atas kasurnya. Lalu memijat bahuku yang terasa pegal. Hufth. Aku menoleh pada Yuu yang sedang tertidur. Tunggu, ia tidak tidur. Aku melihatnya membuka matanya. Huh, Yuu, kau mau membohongiku?
                “YUU! ADA CACING DI BANTALMU!” seruku mengerjai Yuu. Yuu langsung membuka matanya dan bangun. Ia menjauhi bantalnya dan memegang bahuku. Setelah menyadari kalau aku berbohong, ia mendorong bahuku. Aku terkekeh. Ia cemberut.
Ryuri’s POV…
                “Yuu.. Manhaeyo.” Minhwan memohon maaf padaku. Aku tak menoleh sedikitpun padanya.
                “Yuu…” Minhwan memegang bahuku dan menghadapkan wajahku ke wajahnya. Jantungku mau copoy. Mau apa dia?
                “Yuu.. Maukah kau maafkan aku karena kejadian waktu itu?” tanyanya. Ia menatap mataku tajam. Perasaanku aneh pada orang ini.
                “Kau pikir mudah melupakan kejadian itu?” ucapku.
                “Yuu..” panggilnya. Suaranya berbisik di telingaku. “Kau boleh marah padaku. Tapi… tolong jangan benci padaku.” Pintanya. Aku tak kuasa memandang matanya yang indah itu. Pandangan mata seperti Puss kucing-nya Shrek yang polos dan menggemaskan. Membuat hati semua orang luluh dan kasihan padanya. Ah, jeongmal.
                “Sudah cukup.” Aku memalingkan wajahku. Menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku tak tau harus bersikap apa. Aku hanya diam. Minhwan pasti sudah bisa menebak perasaanku.
                “HACHIII!!!” seru Minhwan tiba-tiba. Namja itu bersin keras sekali. Di depanku. Bersinnya sangat kencang. Jorok tapi lucu. Membuatku tertawa.
                “Hahaha.. Siapa bilang kau tak sakit? Hahaha.” Aku tertawa melihatnya yang sedang menutupi hidungnya dan mengelapnya. Ih. Minhwan lalu mengusap kepalanya.
                “Yuu… Panggil aku Minan lagi.” Ia memegang tanganku lalu tersenyum manja. Ah, dasar.
                “Untuk apa kau meminta itu? Kau seperti anak kecil saja.”
                “Ayolah, Yuu.. Panggil aku…” katanya sambil mengguncangkan tanganku.
                “Minan..” ucapku sambil menatap aneh Minhwan. Minhwan tertawa. “Ayo.. panggil lagi!” pintanya sambil terkekeh.
                “Apa sih!” seruku. Mungkin hubungan kami akan membaik.
*****
                Aku sudah baikan. Hari ini aku sudah bisa sekolah. Biarpun begitu, di saat jam kosong seperti ini harus dimanfaatkan. Guru Sejarah tidak masuk ke kelas hari ini. Saat membahagiakan. Aku manfaatkan untuk tidur siang di kelas. Meskipun suara siswa satu kelas sangat riuh, tidak mengganggu tidur siangku. Dan setelah aku puas tidur aku terbangun. Aku mengucek mataku. Mataku lalu tertuju pada buku tulis di depanku. Apa itu? Tidak mungkin aku tidur sambil menulis? Kau percaya itu? *maap rada gaje* Dan aku menulis nama Minhwan di buku-ku!
                “Ryu! Boleh aku lihat tugas Sejarah-mu?” kata Jokwon sambil merebut buku Sejarahku. Oh, tidak. Dia tidak boleh melihatnya! Aku menulis nama Minhwan di buku-ku! Bisa kacau!
                “Apa ini Ryu? Hahaha.. Yaa, chingudeul! Ternyata ada satu couple lagi di kelas kita ini!” teriak Jokwon sambil menunjukkan buku-ku kepada semua penghuni kelas.
                “Jinjja! Ryuri dan Minhwan! Ternyata diam-diam kalian berpacaran ya?” Tanya Jokwon. Seluruh penghuni kelas memandang Jokwon, aku dan Minhwan secara bergantian. Celaka. Aku berusaha merebut kembali buku-ku dari tangan Jokwon. Tapi aku tak berhasil mendapatkannya.
                “Berikan!” perintahku pada Jokwan. Tapi ia malah berlari menjauhiku. “Yaa, Ryu! Kau berpacaran dengan Minhwan ya?” tanyanya sambil terus menjauhkan buku-ku dariku.
                “Andwae! Tidak begitu! Itu tidak benar!” bantahku. “Lalu kenapa kau menulis namanya di bukumu? Kau suka padanya ya?” tanyanya meledekku.
                “Andwae! Aku tak menyukainya! Dia bukan siapa-siapa bagiku! Bahkan aku membencinya!” kata-kata itu terus mengalir dari bibirku. Ucapanku menjadi tak terkontrol karena aku berusaha keras membantah bahwa aku menyukai Minhwan. Semua orang terdiam. Aku menatap Minhwan. Ia tercengang menatapku. Aku tahu, ucapanku keterlaluan.
                “Minhwan, bagaimana menurutmu? Ada apa sebenarnya kau dengan Ryu? Kemarin juga kau mengantarnya pulang, kan?” Tanya Jokwon pada Minhwan. Anak ini memang menjadi sumber kerusuhan. *maap ya bang*
                “Waeyo? Aku hanya kasihan padanya. Tidak ada apa-apa antara aku dan dia.” Ucapnya lalu bangkit dari kursinya. Ia lalu pergi ke luar kelas dan membanting pintu kelas. Semua siswa dan siswi di kelas terdiam. Aku tahu dia pasti marah. Dia pasti kecewa dengan ucapanku. Entah kenapa hatiku menjadi sakit. Tidak seharusnya aku mengucapkan kata-kata itu. Aku memang pabo.
                Sepulang sekolah aku melihat Minhwan yang sedang menaiki motornya. Aku segera menghampirinya. Berharap ia bisa memaafkanku.
                “Minan~!” panggilku. Kali ini dengan panggilan yang dulu biasa ku sebut untuk memanggilnya. Minan. Minhwan menoleh padaku. Aku terdiam. Tak tahu apa yang harus aku ucapkan.
                “Mworago?” tanyanya ketus. Aku berdiri mematung. Nampaknya ia sangat marah. Ryu, sebenarnya kau ini mau apa sih? Kau ini kan membencinya. Yang tadi aku katakana tidak salah, kan? Lalu kenapa kau jadi mengejarnya seperti ini? Kenapa kau Ryu?
                Minhwan lalu berbalik lalu mengendarai motornya tanpa mempedulikanku. Dadaku rasanya sesak. Sakit. Entah apa yang membuatku seperti ini. Aku berjalan menuju rumahku dengan gontai. Minan, aku tau, aku bukannya membencimu. Sebenarnya hatiku tak berkata aku membencimu. Aku tak tau, apa yang aku rasakan ini. Minan, kau bisa beri tahu aku arti rasa ini?
*****
                Aku menyusuri pinggir kota Seoul yang penuh dengan keramaian. Melihat gedung bertingkat yang gemerlap di tengah malam, lalu-lalang warga Seoul, menghirup udara malam yang menusuk tulang rusuk-ku. *asek gue sok puitis* Tak berpengaruh seberapa ramai-nya, aku tetap sendirian. Aku memikirkan sesuatu yang membuatku tak bisa tidur. Sudah beberapa hari aku tak berbicara dengan Minhwan. Mulutnya terkunci saat beremu denganku. Tatapannya padaku juga berubah. Aku tak bisa berbohong. Aku merindukannya. Aku benar-benar merindukanmu Minhwan.
                Aku menyebrangi jalan raya. Tanpa sadar ada sebuah mobil di sampingku. Ah, sial. Aku terlalu banyak pikiran sehingga aku tak memperhatikan jalan. Mobil itu melaju kencang dan akan menabrakku. Oh, Tuhan tolong aku. Tapi ada seseorang yang menarik kerah bajuku. Untungnya aku selamat. Eh, nugu? Ia menarikku dan aku jatuh ke dalam pelukannya. Jantungku hampir copot. Aku memandang wajah orang itu.
                “Yuu, gwenchanayo?” Tanya Minhwan. Kenapa ia ada di sini? Nafasnya putih. Aku bisa merasakan debaran jantungnya yang tepat di samping telingaku. Minan, aku belum sanggup bertemu denganmu.
                “Gwenchana. Gomapta. Kenapa kau ada di sini?” tanyaku lalu melepaskan pelukannya.
                “Apa tak boleh aku ada di sini?” tia balik bertanya.
                “Ya, emm, bukan begitu.. tapi ya..” aku gelagapan. Apa yang harus aku katakana padanya.
                “Kenapa malam-malam begini keluyuran, huh?” lagi-lagi ia bertanya.
                “Ya.. hanya jalan-jalan saja. Aku hanya tak bisa tidur.” Jawabku jujur sambil menggaruk kepalaku.
                “Sebaiknya kau pulang. Udara dingin sekali nanti kau sakit lagi.” Ucapnya. Aku menatapnya sekali lagi. Tatapan sendunya itu aku dapatkan lagi. Ia lalu bergegas pergi.
                “Minan!” panggilku. Minhwan berhenti melangkah. “Waeyo?” tanyanya. Aku berlari kecil menghampirinya.
                “Ada yang harus aku katakan padamu.” Lanjutku. Minhwan menyerngitkan dahi. (?) “Mwoga?” tanyanya heran.
                “Dulu aku memang membencimu Minan. Aku tau aku egois. Aku tahu sikapku kasar. Tapi itu bukan karena aku tidak suka padamu. Aku benci karena kau tidak punya perasaan yang sama denganku.”
                “Maksudmu?”
                “Jadi… Jadi… Aku.. Aku.. Aku mau minta maaf.” Kataku sambil menunduk. Kenapa aku malah bilang maaf? Bukan itu yang ingin aku katakan. Hati dan bibirku benar-benar tidak kompak. (?) Minhwan menghela nafas. Ia lalu memelukku lagi. Apa-apaan ini?
                “Yuu, bukan itu yang ingin kau katakan, kan?” tanyanya seakan bisa membaca perasaanku.
                “Memang itu yang ingin aku katakan.” Ucapku pelan.
                “Ada lagi.”
                “Mwo?”
                “Kau tahu mengapa waktu itu aku mengerjaimu?” tanyanya sambil memegang pipiku. Mengadahkannnya ke wajahnya.
                “Apa kau lupa itu hari ulang tahunmu? Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun padamu Yuu..” jelas Minhwan. Jadi, begitukah?
                “Kau sahabat baikku Yuu. Aku menyukaimu sejak dulu. Aku ingin memberimu kejutan waktu itu. Nyatanya kau malah pergi dan aku belum sempat mengucapkan selamat untukmu.”
                “Kau…”
                “Saranghamnida.” Ucap Minhwan. Aku terperana mendengarnya. Minhwan menyukaiku? Salah. Minhwan mencintaiku? Aku tak bisa berkata. Bibirku membatu seketika. Lalu menyunggingkan senyum. Minhwan, kau punya perasaan yang sama sepertiku waktu itu. Cintaku tak sepihak.
                “Yuu! Aku tahu kau mau mengatakan itu juga! Kenapa kau tak mengatakannya? Cepat bilang padaku!” perintah Minhwan.
                “Harus?”
                “Wajib!” ucapnya. Aku menarik nafasku dalam-dalam.
                “Mi.. Minan… sa.. sa…”
                “Yang benar!”
                “MINAN, SARANGHAMNIDA!” teriakku sangat kencang. Orang-orang di sekitar kami memperhatikan kami berdua. Pipiku bersemu. Malu ih teriak teriak di depan umum. Minhwan nyengir.
                “Pintar.” Katanya. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku.
                “Mau apa?” tanayaku gugup. “Mau popo.” Ucapnya manja. Hah?
                “Kau gila!”
                “Aniyo.” Minhwan melepaskan jaketnya. Lalu menutupi kepalaku dan kepalanya. Wajah kami di tutupi oleh jaket Minhwan. Dasar anak ini. Kau tahu apa yang kami lakukan. Wajahku memerah. Minan, selama ini aku salah akan perasaanku. Aku bilang aku membencimu. Itu salah. Perasaanku masih sama. Sama seperti TK. Sama seperti kita bermain-main dulu. Sama seperti waktu itu. Perasaan ini sampai kapanpun tak akan berubah. Aku yakin. Perasaan ini cinta. Minan, saranghamnida.

 THE END
*mohon maap gaje and ganyambung*

FF: Just The Way You Are

*gue asal banget kasih judul.. maap banget ya kalo rada ga nyambung dan rada berantakan.. Enjoy it..*




Cast :
- Lee Hye Min
- Kim Jong Woon (Super Junior Yesung)

            Aku meneguk air minumku yang menghilangkan dahagaku. Aku mengeringkan wajahku dengan handukku sambil duduk di pinggir kolam renang. Ibuku adalah seorang atlet renang, wajar jika hobiku memang berenang dan kemampuanku tidak bisa dibilang buruk. Saat ini aku tergabung dalam sebuah klub renang. Aku memang sangat mencintai olahraga ini.

            “Hyemin-a! Cepat ke sini!” teriak Eunhwa sahabatku. Ia memanggilku dari kejauhan dengan seorang lelaki yang tampak mungkin lebih tua dariku. Siapa dia? Aku segera menghampiri mereka berdua. “Ya, ada apa Eunhwa-ssi?” tanyaku pada Eunhwa. “Hyemin, perkenalkan ini Kim Jongwoon. Ia anggota baru klub ini.” Kata Eunhwa. Jongwoon membungkukan badannya dan memperkenalkan dirinya “Annyeonghaseyo. Kim Jongwoon imnida.” Sapanya. Aku juga membungkukkan badanku dan memperkenalkan diriku “Annyeong. Lee Hyemin imnida.” Aku pun kembali ke pinggir kolam dan membereskan barang-barangku. Jongwoon duduk di sebelahku dan juga membereskan barang-barangnya. Aku tak tau apakah aku yang terlalu percaya diri atau ini memang kenyataannya. Tapi dari tadi Jongwoon memperhatikanku terus. Aku mencoba tidak begitu memperhatikan hal ini, tapi Jongwoon terus menatapku. Aku lalu muak dengan yang dilakukannya lalu bergantian menatapnya tajam. “Hei, apa maumu huh? Kenapa kau memperhatikanku terus?” seruku. Ia hanya diam lalu mendekatiku. Eh, ia mau apa? Tatapannya tertuju pada.. bibirku. Bibirku? Apa yang ia mau lakukan pada bibirku? Tidaaaaaaaaak! Aku menutup mataku seraya menjauhkan wajahku darinya. Lalu.. lalu ia.. menyentuh.. philtrum-ku? Eh, ia bercanda?
            Aku membuka mataku dan mendorongnya. “Apa yang kau lakukan???” tanyaku sembari menyentuh philtrum-ku sendiri. Ia tertunduk. Wajahnya menjadi lesu sekaligus bercampur rasa bersalah. “Maaf, aku kebiasaan.” Ucapnya sambil kembali terduduk. Apakah aku menyakiti perasaannya? Ada apa sebenarnya? “Aku mengidap touching syndrome. Aku suka menyentuh philtrum atau lekukan bibir atas orang lain. Maaf jika aku lancang menyentuh philtrum-mu.” Ucapnya sambil mentapku. Aku terpana menatapnya. Tatapannya sungguh lembut. Membuatku tak bisa berkata. Ya ampun, apa yang aku pikirkan sih? “Sudahlah. Tak apa. Lupakan saja. Tapi jangan lakukan itu lagi padaku. Mengagetkanku saja.” Ujarku sambil beranjak pergi. Tapi Jongwoon mencegahku dan menarik tanganku. “Terima kasih, ya.” Ucapnya sambil tersenyum. Arrrh, matilah aku. Senyumnya sangat manis. “Eumm, lupakan.” Aku melepaskan genggamannya pada tanganku dan pergi menghindar. Aku tak mau ia melihat wajahku yang pasti memerah sekarang.
*****
            Malam ini teman-teman satu klub-ku mengajak makan bersama. Entah untuk merayakan apa. Aku menyantap makananku dengan tidak selera. Kepalaku pusing entah kenapa. Mungkin terlalu berlama-lama di air menjelang musim dingin begini. Padahal teman-teman satu klub-ku sudah berbaik hati mengajakku makan malam bersama mereka. Aku mual. Aku mau pulang saja deh. “Hyemin-ssi. Kau sakit?” Jongwoon bertanya padaku seraya memegang bahuku. Aku menoleh padanya lalu menggeleng. “Aku tak apa.” Ucapku sambil tersenyum. “Jangan bohong. Wajahmu pucat.” Jongwoon memegang keningku. “Kepalamumu juga panas. Kau mau pulang?” Lanjutnya. Ia seperti mengetahui isi hatiku. Aku tetap menolaknya. “Eunhwa-ssi, bolehkah hyemin pulang duluan? Sepertinya ia sakit.” Pinta Jongwoon pada Eunhwa. Eunhwa menatapku terkejut. “Hyemin-ssi, lebih baik kau pulang saja. Kenapa kau tak bilang kalau kau sedang sakit?” Eunhwa tampak khawatir, sama seperti Jongwoon. “Eum, baiklah. Tidak apa-apa aku tidak bisa makan malam dengan kalian?” tanyaku. “Jangan permasalahkan hal itu. Kau harus banyak istirahat.” Kata Eunhwa. “Baiklah aku pulang dulu ya. Maaf teman-teman.” Aku berdiri lalu segera pergi meninggalkan teman-temanku. Aku memijat kepalaku yang masih pusing. Aku rasa aku kelelahan. Benar kata Eunhwa, aku harus banyak istirahat. “Hyemin-ssi!” seseorang menyerukan namaku, dan aku sudah mengenal pemilik suara ini. “Kau tak apa pulang sendirian?” Tanya Jongwoon sambil menemaniku berjalan. “Aku tak apa. Kenapa?” aku balik bertanya. “Mau aku antar?” tanyanya lagi. “Tak usah.” Tolakku kasar. Jongwoon menghentikan langkahnya sementara aku terus berjalan. Tapi aku rasa aku sudah tak kuat berjalan. Aku menarik tangan Jongwoon. “Aku sudah tak kuat. Antar aku sampai rumah ya?” pintaku pada Jongwoon. Ia menatapku heran. Aku tau yang aku lakukan benar-benar tak sopan. Tapi mau bagaimana lagi?
            Aku masuk ke dalam mobilnya. Bersandar pada kaca mobil. Kepalaku benar-benar pusing. Dan aku rasa aku mual. “Oh, Tuhan.. Sunbae..” aku memegangi kepalaku dan perutku. Keringat dingin mengucur di dahiku. “Hyemin? Kau baik-baik saja? Kau bisa tahan rasa sakitmu?” ucap Jongwoon panic. Ia cepat-cepat menyalakan mesin mobilnya dan melaju cepat menuju rumahku. Apa Jongwoon tau rumahku? Entahlah, aku tak bisa berpikir sekarang. Dan aku rasa aku mau muntah. ‘Sunbae.. Bisa kau pelan sedikit? Aku rasa aku akan..” aku mencoba menahan rasa mualku. “Hyemin-ssi, tahan sebentar lagi.” Kata Jongwoon yang ikut panic. Dan akhirnya aku memuntahkan seluruh isi perutku. “Ah, sial!” gumam Jongwoon.
*****
            “Sunbae, bagaimana dengan mobilmu? Aku sudah mengotorinya.” Sesalku pada Jongwoon keesokan harinya. Hari ini Jongwoon menjengukku. Entah mengapa ia masih berbaik hati menjengukku padahal aku sudah membuat kekacauan di mobilnya semalam. “Ah, tidak apa-apa. Kau sudah baikan?” tanyanya. “Mmm, iya. Terima kasih.” Ucapku sambil tersenyum lebar. Aku memandangnya yang sepertinya menatap wajahku dengan seksama. Apakah ia memperhatikan philtrum-ku lagi? Tapi mengapa hanya aku? “Sunbae, bolehkah aku bertanya?” tanyaku membuka pembicaraan. “Apa?” ia balik bertanya padaku. “Mengapa kau suka menyentuh philtrum orang lain? Dan mengapa aku yang menjadi sasaranmu?” tanyaku lalu Jongwoon tertunduk. Apakah aku menyinggungnya? Apa aku salah bicara? Ya, seharusnya aku tidak menanyakan ini. “Maaf.” Ucapku. “Tak apa. Aku memang sudah begini sejak dulu. Philtrum-mu sangat bagus. Aku menyukainya. Aku berusaha menghilangkan kebiasaan ini. Tapi aku tetap melakukan itu padamu. Aku yang minta maaf.” Katanya sambil tersenyum manis. Mengapa ia selalu member tatapan sendu padaku? “Aih, subae tak salah.” Hiburku. Entah sejak kapan aku jadi suka bersamanya.
*****
Aku naik ke atas kolam renang. Tubuhku lebih segar sekarang setelah berenang. Aku sudah sehat setelah beberapa hari kejadian di mobil Jongwoon itu. Aku ke pinggir kolam dan meneguk minumanku. Aku pasti selalu haus sehabis berenang. Mataku berputar mencari sosok Jongwoon. Eh, untuk apa aku mencarinya? Aku pun tak habis piker, tapi akhirnya aku melihatnya yang sedang berjalan ke arahku. Aku senang melihatnya berjalan dengan.. dengan siapa? Siapa gadis di sampingnya itu? Apakah ia sudah mempunyai kekasih? Kenapa ia tidak pernah bercerita padaku? Oh ya, aku hanya teman satu klub-nya. Aku bukan siapa-siapa. Entah apa yang membuatku menjadi bad mood. Jongwoon memandang ke arahku. Aku membuang mukaku.
Aku berjalan melewati kolam renang dengan terburu-buru. Aku bergegas pulang. Kenapa aku jadi salah tingkah seperti ini sih? Sial. Aku menjadi kurang hati-hati. Malangnya aku terpeleset di lantai yang licin di pinggir kolam. Itu membuatku jatuh ke kolam renang. Oh, tidak. Aku tidak bisa mengatur nafasku. Aku adalah perenang hebat namun ini terlalu mengejutkanku. Rasanya sesak. Benar-benar sesak seperti dicekik. Aku seperti orang yang tak bisa berenang sekarang. Siapa saja tolong aku. Mungkin aku bisa pingsan. Dan rasanya itu benar-benar terjadi. Aku kehilangan kesadaranku.
*****
                Aku membuka mataku. Dan menyadari seseorang di depan mataku. Bibirnya menempel di bibirku. Kim Jongwoon? Ia menciumku! Aku mendorong tubuhnya. Aku terbangun dan menyadari aku masih di atas lantai kolam renang. Jongwoon menciumku di depan umum? Sebuah tamparan mendarat di pipi Jongwoon. Aku menampar pipinya yang tembam itu. Ia lalu mengelus pipinya. “Hei, aku hanya menolongmu! Mengapa kau menampar pipiku?” tanyanya sambil meringis. “Kau? Menolongku?” tanyaku dengan heran. “Kau terpeleset di pinggir kolam dan jatuh. Kau tidak lihat bajuku jadi basah begini?” omelnya dengan ketus. Ia lalu menarik tanganku dan membantuku berdiri. Ia pergi meninggalkanku masih mengelus pipinya. Aku baru ingat. Tadi aku tenggelam dan aku pingsan. Jongwoon telah menolongku. Mengapa aku berpikir hal yang buruk padanya? Aku tau, aku salah. Jongwoon, maafkan aku.
*****
            “Kau tahu, Hyemin? Jongwoon akan pindah.” Ucap Eunhwa sambil melahap es-krim coklat-nya. Mataku membelalak. “Maksudmu?” tanyaku. Setelah Jongwoon marah padaku karena aku menamparnya, kami tak berhubungan lagi. “Ia bilang, ia akan pindah rumah. Katanya, jauh dari rumahnya yang lama.” Terangnya yang masih sibuk dengan es-krimnya. “Apakah ia akan keluar dari klub?” tanyaku mulai khawatir. “Bisa jadi.” Kata Eunhwa santai. “Kapan ia berangkat?” tanyaku terus menerus. “Ia bilang hari ini. Mendadak memang. Ada apa Hyemin?” tanyanya tiba-tiba. Aku menghiraukan pertanyaannya. Kalau Jongwoon pindah rumah atau pindah klub, aku tak bisa bertemu dengannya lagi. Aku tak bisa melihat senyum manisnya. Aku tak bisa melihat mata sendunya. Dan aku ingin sekali lagi, ia menyentuh philtrum-ku. Aku tak bisa membiarkan ini. Aku beranjak dari kursiku. “Hyemin, kau mau kemana?” Tanya Eunhwa sambil berteriak. Aku tetap brlari menuju rumah Jongwoon.
*****
            “Kim Jongwoon~!” seruku meneriakkan namanya. Aku berlari terengah-engah menuju rumahnya. Jongwoon menoleh padaku. “Hyemin?” Ia menatapku heran. Aku langsung memeluknya. “Sedang apa kau di sini?” lanjutnya. “Jangan pergi dulu. Aku tak mau kau pergi. Aku baru sadar kau tidaklah mengganggu hidupku tapi akulah yang telah mengganggu hidupmu. Aku minta maaf. Kau boleh menyentuh philtrum-ku. Dan tolong jangan pergi dari klub karena…” aku menghentikan perkataanku. “Karena apa?” Tanya Jongwoon sambil tersenyum penuh kemenangan. “Karena aku merindukanmu saat kau tak bersamaku.” Ucapku sambil menyembunyikan wajahku dalam pelukanku. Wajahku memerah lagi. “Jadi intinya?” tanyanya lagi. Aku memukul kepalanya. Ia merintih memegangi kepalanya. “Aku mencintaimu, pabo!” gertakku. Mulutku telah menjadi seperti harimau. Entah mengapa kata-kata itu keluar dengan sendirinya. Jongwoon tertawa. “Kenapa kau tertawa, huh?” ucapku dengan nada marah. “Aku juga mencintaimu, pabo.” Ucapnya kemudian. Aku tahu sekarang wajahku berwarna merah padam. “Lalu kenapa kau pindah?” tanyaku sambil tertunduk. “Karena aku ingin lebih dekat denganmu.” Ucapnya sambil mendekat. “Huh?” tanyaku heran. Maksudnya apa sih? “Aku memang pindah rumah dan jauh dari rumah lamaku. Tapi justru lebih dekat dengan rumahmu, pabo!” ia tersenyum lebar. Aku cemberut, lemas. Kekhawatiranku sia-sia. Aku melepaskan pelukanku dan pergi menjauhinya. “Hyemin-ssi…” panggilnya manja. Aku menghiraukannya. Ia lalu berlari ke arahku lalu memelukku dari belakang. “Boleh aku menyentuh philtrum-mu lagi?” Jongwoon memohon padaku. Aku terus cemberut tanpa menoleh sama sekali. Jongwoon memegang pipiku dan menghadapkanku ke wajahnya. Ia lalu menciumku. Mungkin ini adalah ciuman yang kedua kalinya setelah ia memberiku nafas buatan? Hihihi, terserahlah. Aku bahagia mencintainya. Meskipun kelakuannya yang sedikit abnormal itu. Aku mencintainya apa adanya. Dan yang membuatku lebih bahagia lagi adalah ia juga mencintaiku. Mungkin lebih. Meskipun ia tak sempurna begitu juga aku, namun kita hidup untuk saling melengkapi ketidaksempurnanan itu dan menjadikannya sempurna.

THE END

FF: As Long As You Love Me [Part 5]



Genre : Romance
Length : 5 shoot
Cast:
-          Kim Jang Li
-          Kang Min Hyuk

                “Aku… Aku adalah ayah kandung Kang Minhyuk.”
                “Mwo?” aku terkejut mendengarnya. Ayah kandung Minhyuk kembali? Ia datang secara tiba-tiba? Ini sulit dipercaya.
                “Jeongmal? Lalu kenapa Tuan datang ke sini? Merasa bersalah, huh? Mengapa baru sekarang Tuan datang?” tanyaku bertub-tubi. Entah mengapa kini emosiku meluap.
                “Ah, aniyo. Saat itu aku benar-benar tak punya uang. Aku sempat shock karena istriku kecelakaan. Sebenarnya waktu itu aku pergi untuk mencari uang. Aku terpaksa meninggalkan istriku dan Minhyuk. Aku benar-benar terpaksa karena uang.” Jelasnya panjang lebar.
                “Kenapa tak sejak dulu Tuan mengakui hal ini pada istri Tuan? Itu hanya akan membuat mereka khawatir!” seruku tak sabar. Sebenarnya orang ini hanya ingin melakukan hal baik, entah mengapa ia tak mau berkata jujur.
                “Aku tau istriku. Dia tak akan mengizinkanku pergi. Maka dari itu aku pergi secara sembunyi.” Jelasnya sambil tertundung. Di wajahnya tersimpan rasa penyesalan yang amat sangat.
                “Ikut aku.” Ajakku pada Ajjushi tersebut.
                “Eodiseo?” tanyanya.
                “Terus terang pada istrimu dan Minhyuk.” Aku menggenggam tangan Ajjushi itu.
                “Andwae. Masih adakah kata maaf dari mereka untukku?” Tanya Ajjushi itu. Ia melepaskan genggaman tanganku. Lalu ia berlari pergi entah kemana.
                “Ya! Chamkkanman!” seruku. Tapi Ajjushi itu terus berlari tanpa menoleh. Aku menghela nafas panjang. Aku yakin ia pasti akan kembali lagi. Tapi sulit mengajaknya menemui keluarganya. Aku harap ia mau mengakui perbuatannya. Semoga.
*****
                “JangLi, jaga Minhyuk sebentar ya.” Kata Eomma. Aku hanya mengangguk. Aku menoleh pada Minhyuk yang sekarang sudah bisa duduk di kasurnya. Kesehatannya sedah mulai pulih.
                “JangLi, kenapa Minhyuk ada di kamar ini? Minhyuk tak suka. Minhyuk lebih suka kamar yang dulu.” Keluh Minhyuk.
                “Memangnya kenapa?aku tahu kamar ini buruk untukmu, Oppa. Oppa mau kamar yang lebih bagus lagi? Mungkin aku bisa memberikannya untuk Oppa tap…” belum selesai aku bicara Minhyuk menutup mulutku dengan jari telunjuknya.
                “Cerewet.” Katanya datar. Aku hanya cemberut.
                “Asalkan Minhyuk bersama JangLi, Minhyuk mau tinggal di mana saja. Minhyuk bahagia bersama JangLi.” Ucapnya sambil tersenyum tulus. Aku menatapnya dalam. Sungguhkah yang ia katakan itu? Aku menggenggam tangannya.
                “Oppa…” aku menelan ludahku. Kami saling bertatapan.
                “Bagaimana kalau kita harus berpisah?” tanyaku. Minhyuk diam dan tertunduk. Ia lalu kembali menatapku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
                “Gwenchanha.” Ucapnya dengan senyum yang semakin mengembang di bibirnya. Kini, ia yang meraih kedua tanganku dan menggenggamnya.
                “Minhyuk sudah cukup bahagia bisa bertemu dengan JangLi meskipun tidak lama. Minhyuk tak akan menyesal akan berpisah atau mati sekarang.” Ucapnya tegas. Aku menelan ludahku sekali lagi. Menahan air mata yang hampir menetes. Akhirnya air mata itu jatuh juga. Aku menunduk dan segera menghapusnya.
                “Jadi kau ingin ku bunuh sekarang, huh?” candaku.
                “Tidak mau.” Katanya sambil menggelengkan kepalanya. Haha, Minhyuk. Kata-katanya menenangkanku. Aku seperti ingin hidup selamanya bersama dirimu seorang, Kang Minhyuk.
*****
                Sebentar alagi aku ujian. Aku akan menghadapi ujian kelulusan. Menyebalkan. Mengapa di saat seperti ini aku harus ujian? Seharusnya ada peraturan untuk meringankan beban peserta ujian yang galau. *curhat nih u.u*
                Aku duduk di salah satu bangku di taman rumah sakit itu. Buku pelajaran terpampang di depan mataku. Aku ingin belajar. Aku membolak-balik halaman bukuku itu. Tapi tak ada satu kalimatpun yang terbaca. Pikiranku melayang-layang. Entah apa yang aku pikirkan sebenarnya, yang jelas aku tak bisa berkonsentrasi. Aku menutup bukuku dan menelungkupkan wajahku di atas kedua tanganku.
                “Apa yang kau pikirkan?” seseorang bertanya padaku. Aku membuyarkan lamunanku dan menoleh pada orang sekarang duduk di sampingku itu. Ayah Minhyuk.
                “Waeyo?” tanyaku dengan nada malas. Aku menundukan kepalaku menatap buku di atas pangkuanku dengan pandangan kosong.
                “Apa kau akan menghadapi ujian?” tanyanya Ajjushi itu. Aku mengangguk.
                “Apa kau mencintai Minhyuk?” tanyanya lagi. Aku tertegun dan menatapnya. “Mengapa Tuan tanyakan itu padaku?”
                “Aku memperhatikanmu. Kau member perhatian lebih pada Minhyuk. Kau mencintainya kan?” ia meyakinkan kembali. Aku menundukan kepalaku. Aku tak dapat menjawab. Karena itu yang selama ini menjadi pertanyaanku. Apakah aku mencintai Minhyuk?
                “Lakukan untuknya. Berjuang untuk Minhyuk. Kau pasti bisa menempuh ujianmu. Lakukan hal baik dan yang terbaik untuk orang yang kau cintai.” Orang itu menceramahiku panjang lebar. Aku menatapnya. Apa yang ia inginkan sebenarnya?
                “Ya! Mengapa Tuan tak menemui keluarga Tuan. Aku yakin mereka akan memaafkan Tuan.” Saranku. Kalau saja orang ini tidak keras kepala mungkin ia sudah bisa kembali pada keluarganya.
                “Aku akan menemui mereka.”
                “Ne?” tanyaku antusias.
                “Tapi tidak sekarang. Aku yakin pasti aku akan mempunyai waktu untuk menemui mereka.” Lanjutnya. Aku cemberut dan kembali lemas.
                “Aku harus pergi. Annyeong.” Ucapnya sambil berlalu. Aku memandanginya. Minhyuk, sebenarnya kau punya ayah yang baik.
*****
                Aku sudah melewati hari-hari ujianku. Besok adalah hari terakhir ujianku. Aku sangat senang menghadapinya. Ujianku kulewati dengan semangat. Hanya ada satu orang yang membuatku seperti ini. Membuatku semangat menghadapi ujianku. Dan orang itu sekarang sedang terbaringdengan segala perawatan yang di jalaninya.
                Aku membaca bukuku. Mau tidak mau aku harus mempelajarinya. Mempelajari hal yang tak aku sukai. Aku belajar sampai larut, sehingga aku tertidur dengan setumpuk buku di genggamanku.
****
                Aku membuka mataku. Astaga! Aku tertidur di rumah sakit. Di atas kursiku. Dan di depan mataku Minhyuk sudah terbangun. Ia memainkan ponselku.
                “Ya! Apa yang Oppa lakukan dengan ponselku?” tanyaku sambil mengusap mataku yang masih belum mau terbuka. Minhyuk hanya tersenyum dan menunjukkan layar ponselku padaku.
                “Ya! Kau memotretku ya?” ucapku dengan suara lebih meninggi. Mataku melotot sekarang sambil menatap penuh ejek terhadap fotoku sendiri. Oh, beetapa menyedihkannya wajahku jika tertidur.
                “Ne. JangLi lucu saat tertidur. Seperti singa kelaparan. Jelek.” Kata Minhyuk. Aku memancungkan bibirku.
                “Dasar!” ujarku.
                “Hari ini JangLi ujian hari terakhir kan?” Tanya Minhyuk. Aku mengangguk.
                “Hwaiting!” seru Minhyuk sambil mengepalkan tangannya. Ia menyemangatiku. Aku tersenyum memandangnya dan berkata “Gomawo..”
                “Ini untuk JangLi.” Minhyuk melepaskan gelang dari tangannya dan memberikannya padaku.
                “Mwoga?” aku menerima gelang itu dari Minhyuk.
                “Ini dari Eomma untuk Minhyuk. Itu sangat berharga. Minhyuk mau JangLi yang menyimpannya.” Kata Minhyuk.
                “Ne? Waeyo?” tanyaku. Minhyuk memakaikan gelang itu di pergelangan tanganku.
                “Minhyuk melewati hari dengan gelang ini. Jadi ini seperti bagian dari hidup Minhyuk. Minhyuk memberikannya pada JangLi karena Minhyuk mau jadi bagian dari hidup JangLi.” Ucapnya dengan penuh harapan. Aku tersenyum.
                “Ne, aku akan menjaganya.” Janjiku pada Minhyuk.
                “Minhyuk, kau sudah terbangun?” kata Eomma yang tiba-tiba masuk ke kamar rawat Minhyuk.
                “Ne.” jawab Minhyuk singkat. Eomma membelai rambut anak tercintanya itu.
                “JangLi, ini hari terakhir ujian-mu kan?” Tanya Eomma padaku.
                “Ne, Eomma.” Jawabku.
                “Semoga sukses. Sebaiknya kau harus bersiap untuk ke sekolah.” Ujar Eomma. Aku hanya mengiyakan perkataan Eomma. Aku keluar dari kamar rawat Minhyuk. Aku melihat seseorang dari kejauhan. Orang itu tak asing lagi bagiku, Ayah Minhyuk. Aku menghampirinya untuk yang ke sekian kalinya.
                “Kenapa Tuan masih saja bersembunyi?” tanyaku secara tiba-tiba. Ajjushi ini menoleh padaku.
                “Molla.  Aku masih saja belum yakin.” katanya..
                “Tuan tak akan pernah berhasil jika Tuan tak yakin.” Ucapku. Dari mana aku dapatkan kata-kata yang menurutku… yah, puitis. Molla. Kini, tanganku menarik tangan Ajjushoi tersebut. Menuju kamar rawat Minhyuk. Mungkin aku sudah tak sabar menghadapi kelakuannya ini.
                KREK! Aku membuka pintu kamar rawat Minhyuk. Tampak Eomma yang terkejut melihat kehadiran suaminya ini. Minhyuk diam dan heran sambil memandang bergantian pada Eomma, padaku, dan pada Appa kandungnya ini.
                “Mau apa kau datang ke sini?” Tanya Eomma ketus. Ajjushi ini hanya tertunduk. *perasaan gue manggilnya ngga enak banget ya? Lanjut!*
                “Eomma, Eomma jangan marah dulu. Biarkan Ajjushi member penjelasan.”
                “Apa lagi yang harus di jelaskan?” Tanya Eomma pada suaminya itu tanpa menoleh sedikitpun.
                “Jagi, *gue bingung dia mau manggil apa* Jeongmal mianhaeyo. Aku tak bermaksud meninggalkanmu dan Minhyuk. Tapi izinkan aku bertemu Minhyuk.” Mohon Appa-nya Minhyuk.
                “Untuk apa kau pergi meninggalkanku dan Minhyuk waktu itu?” Tanya Eomma mulai meluapkan emosinya.
                “Eomma…” panggilku dengan ragu. Aku takut di bilanng ikut campur dalam masalah ini.
                “Biarkan Ia meminta maaf pada Minhyuk-Oppa. Lagipula, tak ada salahnya meminta maaf.” Lanjutku. Aku ikut memohon pada Eomma. Eomma pun menyetujuinya setelah berkali-kali ku bujuk. Minhyuk-ui Appa mendekati Minhyuk. Minhyuk hanya menatapnya dengan penuh tanda tanya, ‘siapakah orang ini?’
                “Minhyuk-i… Anakku.” Ucapnya. Minhyuk terus menatapnya lalu bertanya “Nuguseyo?”
                “Aku adalah Appa-mu, Minhyuk.”
                “Aniyo. Minhyuk tidak tau siapa Appa Minhyuk. Appa Minhyuk adalah Appa JangLi juga.” Bantah Minhyuk. Kasihan Appa kandungnya itu. Minhyuk tak mau mengakuinya.
                “Oppa..” aku berbisik pada Minhyuk.
                “Oppa, dengarkan aku. Oppa mau mendengarkanku kan?” tanyaku. Minhyuk menatapku. Wajah kami sangat dekat sekarang.
                “Ini benar-benar Appa-mu. Dia sudah kembali untuk menjenguk Oppa.” Lanjutku.
                “Maafkan Appa, Minhyuk. Jeongmal mianhae.” Minhyuk-ui Appa kembali memohon.
                “Minhyuk mau memaafkan Appa kalau Eomma memaafkan Appa.” Ucap Minhyuk sambil memandang Eomma-nya. Eomma-nya pun berfikir sejenak.
                “Tolong maafkan aku..” Ia kembali meminta permohonan maaf dari Eomma. Setelah pertimbangan yang berat, akhirnya Eomma memaafkan suaminya itu. Minhyuk lalu memaafkan Appa-nya itu. Minhyuk-ui Appa menangis bahagia.
                Aku lalu keluar dari kamar itu. Meninggalkan keluarga bahagia yang sudah lama hilang itu. Semoga mereka akan tetap seperti itu.
*****
                Aku melewati soal-soal ujianku. Arrrh, benar-benar memusingkan. Tapi aku harus tetap berusaha. Aku tak mau usahaku sia-sia begitu saja hanya karena soal yang tak bisa aku kerjakan. Sesekali aku melamun. Mengingat wajah Minhyuk. Berdoa agar Ia segera membaik.
                Akhirnya ujianku berakhir. Perasaanku sangat lega saat ini. Aku berjalan menuju rumah sakit dengan langkah riang. Bayangan wajah Minhyuk selalu berputar-putar di pikiranku. Tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku. Entah apa itu. Aku mengecek ponselku. Ada pesan dari Eomma. Aku terkejut membacanya. Aku mencoba menghubungi Eomma. Tapi Eomma tak mengangkatnya. Perasaanku tak enak. Aku segera berlari menuju halte bis dan menumpangi bis untuk menuju rumah sakit.
                Aku cemas. Aku takut sesuatu akan terjadi padanya. Aku ingin segera bertemu Minhyuk. Tubuhku berkeringat karena tak sabar. Jalanan pun macet. Aku terjebak di dalamnya. Oh, ayolah.. Aku terus menggerutu dalam hatiku. Sampai akhirnya aku muak karena bis tak juga berjalan lancer. *emangnya ini di Indo apa?*
                Aku turun dari bis. Tak peduli apa yang orang-orang katakan kepadaku. Aku berlari menyusuri pinggir jalan. Jantungku berdegup. Aku bukanlah seorang pelari, tapi aku berharap aku bisa berlari lebih kencang dari ini. Aku berharap aku tetap bisa menemui Minhyuk. Aku tak mau berpisah darinya. Aku tak sanggup.
                Aku sudah lelah. Nafasku naik-turun tak beraturan. Aku masih terus berlari terengah-engah tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarku. Rumah sakit itu terasa sangat jauh sekali. Aku harap terdapat kejaiban. Keajaiban yang bisa memprtemukanku pada Minhyuk lebih cepat. Akhirnya aku sampai ke rumah sakit.
                Aku menelusuri koridor dan mencari kamar rawat Minhyuk. Aku masih terus berlari. Minhyuk.. tunggu aku.. Aku akan ada untukmu.. Aku datang untuk menemuimu.. Hanya untukmu..
                Aku sampai. Aku menghentikan langkahku. Hanya beberapa meter dari tatapan mataku aku melihat jelas Eomma dan Appa Minhyuk yang sedang menangis. Appa-ku hanya berusaha menenangkan mereka.
                Aku lemas. Tubuhku seperti kehabisan tenaga. Seperti tak punya daya dan upaya lagi. Aku terduduk di koridor. Aku menundukan kepalaku. Air mataku mengalir. Aku tak dapat membendungnya. Aku menggenggam gelang yang Minhyuk brikan padaku. Hatiku menjerit, meneriakan namanya. Aku tak pernah menyangka hal ini. Kang Minhyuk, orang yang selalu tersenyum dan berusaha melindungiku. Kini ia pergi. Dan aku benci itu. Ia pergi tanpa mengucapkan salam padaku. Dan aku benci, Ia pergi untuk selamanya. Dan aku semakin terisak. Oppa… jangan pergi dulu dariku. Aku masih membutuhkanmu.

Even though i know that our parting is approaching
Because you’re leaving i hold my breath
When i smile without realizing it, am i passing us by
Even though pretenting to smile without knowing why…
Truthfully I want to cry
You look into my eyes
It seems our Love is ending like this
before i know it our parting is approaching
You say ”Goodbye”
Letting you go like this is still difficult to me,
please give me a little more time
I can’t live without you,
My all is in you
If i say goodbye first,
Then you will expect that i’m letting you go first
Even though in your stare, which has changed since before
there is no longer any love, i’m okay.
Time is slowly passing/ticking by and my mouth runs dry
I’m looking at you anxiously
I’m nervous and pacing
I’m afraid you’re going to say goodbye
It seems our love is endling like this (Even though you say it’s endling like this)
Before i know it our parting is approaching (It’s already unavoidable)
You say ”Goodbye” (You say Goodbye my girl)
Letting you go like this is difficult to me (To me it’s still)
Please give a little more time
Even without me you can smile
Our Love has already run out
Eventually you say your ”goodbye” give me some time
It seems our Love is ending like this (you say it’s ending like this)
Before i know it our parting is approaching (already unavoidable)
You say ”goodbye”
Letting go like this is still difficult to me
Please give me a little more time
Love like this
Before i know it our parting is approaching
You say ”goodbye”
I still can’t let go of the one person,
who means so much to me
I can’t live without you, my all is in you
I can’t live without you, my all is in you

_Super Junior - My All Is In You (Translation)_

*****
                Aku berdiri di jembatan Seongsan. Aku menatap matahari senja yang tampak sangat bersinar. Yang tetap sama. Sama seperti hari-hari sebelumnya atau tahun-tahun sebelumnya. Masih menyimpan kenangan yang tak mungkin aku lupakan. Kenangan bersama orang-orang yang aku cintai. Kenangan indah bersama Eomma, Appa, dan Kang Minhyuk.
Minhyuk. Kita telah berpisah, Kang Minhyuk. Kau tahu? Di dalam hatiku, aku tak akan pernah mengucapkan selamat tinggal padamu. Karena kau selalu ada dalam hatiku. Selama aku mencintaimu. Taka akan ada yang berubah. Kau akan selalu menjadi bagian dari hidupku seperti yang kau katakana waktu itu. Aku mencintaimu Kang Minhyuk. Aku mencintaimu.
-THE END-

*akhirnya jadi juga nih FF.. Thanks buat Readers yang kerajinan banget baca nih FF yang gajelas.. u.u Maklum saya masih pemula.. Sekali lg  thanks and HIP HIP HOORRAY!*

FF: As Long As You Love Me [Part 4]



Genre : Romance
Length : 5 shoot
Cast:
-          Kim Jang Li
-          Kang Min Hyuk

                “Ya! Apa yang kalian lakukan huh?”
                Aku membuka mataku dan menolehkan wajahku ke sumber suara itu. Yang aku takutkan terjadi. Eomma dan Appa pulang. Wajah mereka terpancar amarah. Habislah aku. Aku menjauh dari Minhyuk.
                “JangLi, apa yang kau lakukan?” seru Appa. Ia menarik tanganku dan menatapku. Aku diam. Tak berani membalas tatapannya.
                “Minhyuk, kenapa kau berbuat seperti itu? Waeyo? Apa yang ingin kau lakukan pada JangLi?” Tanya Eomma pada Minhyuk. Ia pasti marah bsar. Dan yang menjadi korban amarah adalah aku. Terang saja, Minhyuk tidak tau apa-apa. Eomma menghampiriku. Tanganku mulai berkeringat.
                “JangLi-a, apa yang telah kau ajarkan pada Minhyuk, huh? Kau tak bisa menjaganya dengan baik! Kau kan tahu Minhyuk itu bukan seperti anak pada umumnya! Mengapa kau member tahu hal seperti itu kepadanya! Kalau bukan karena kau, Minhyuk tak akan jadi seperti itu!” Eomma melontarkan semua isi hatinya. Aku lemas. Tak mampu menjawab.
                Minhyuk memegang bahu Eomma. “Eomma, kenapa Eomma marah-marah seperti itu pada JangLi? JangLi tidak salah Eomma.” Bela Minhyuk. Anak ini berani sekali membelaku di depan Eomma-nya.
                “Tidak salah? Memangnya apa yang tadi ingin kau lakukan padanya?” Tanya Eomma. Aih, Minhyuk tak mungkin berbohong . Ia jujur. Dan ia pasti akan mengatakan yang sebenarnya.
                “Minhyuk mau mencium JangLi.” Jawabnya tanpa rasa bersalah. Aku benar. Aku menggigit bibirku. Apa yang harus aku lakukan?
                “Mwoga? Kenapa kau mau melakukan itu padanya? Kau tak boleh melakukan itu!” Wajah Eomma memerah. Mungkin Eomma sudah murka dengan semua ini.
                “Karena Minhyuk mencintai JangLi.” Seru Minhyuk. Baru kali ini aku melihat wajahnya seperti itu. Wajah dengan penuh emosi yang tertahan di dalamnya. Minhyuk berjalan cepat menghampiriku. Ia menarik bahuku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku memejamkan mataku dan ia menciumku. Hei, apa-apaan ini? Minhyuk menciumku? Aku tak bisa mengelak dari ciumannya.
                Minhyuk melepaskan ciumannya. Aku membuka mataku dan menatap Minhyuk di depan wajahku. Jantungku berdegup kencang. Aku tak bisa tenang sekarang. Yang jadi masalah adalah Minhyuk menciumku di depan Eomma dan Appa. Oh, Tuhan.
                PLAK!
                Sebuah tamparan mendarat di pipi Minhyuk. Aku menutup mulutku tanda terkejut. Appa menampar pipi Minhyuk. Appa pasti sangat marah atas perbuatannya. Minhyuk mengelus pipinya yang sekarang memerah karena tamparan itu. Eomma menarik bahu Appa.
                “Apa yang kau lakukan pada Minhyuk-ku, huh? Kau tidak seharusnya menamparnya!” seru Eomma pada Appa. Minhyuk anak tunggal, dan aku ytahu Eomma sangat menyayangi nak semata wayangnya itu.
                “Mianhamnida. Tapi ia telah mencium anakku di depan mataku.” Kata Appa tak membela dirinya. Mereka saling mencaci maki. Mereka bertengkar karena aku. Ini semua salahku. Aku melihat Minhyuk yang sedang memijat kepalanya. Apa yang terjadi padanya?
                BRUK! Minhyuk terjatuh dan tergeletak di lantai. Minhyuk pingsan. Aku pun menghampirinya dan berteriak “Oppa~!”
*****
                Minhyuk segera dilarikan ke rumah sakit. Aku menunggu Minhyuk yang sedang mendapatkan pengobatan dan pemeriksaan lebih lanjut. Aku diam tertunduk. Aku tak mempedulikan orang di sekitarku.
                “JangLi-a…” Eomma menegurku. Aku menoleh padanya. Suaranya parau. Ia seperti akan menangis. Aku tau ia menahan tangisnya.
                “Aku harus bicara padamu.” Ucap Eomma lirih.
                “Ne. Mworago?” tanyaku setengah berbisik.
                “Dulu saat aku mengandung Minhyuk…” kalimat Eomma terputus.
                “Ne?”
                “Aku mengalami kecelakaan tabrak lari.”
                “Huh?” aku tertegun tak percaya. Aku tak dapat berkata.
                “Aku hampir mati tapi aku dan Minhyuk selamat. Dan saat itu aku melakukan operasi dan melahirkan Minhyuk. Karena itulah, Minhyuk mengalami gangguan pada mentalnya dan juga otaknya. Jadi…” Cerita Eomma panjang lebar.
                “Jadi.. Minhyuk.. Apa maksud Eomma sebenarnya?” tanyaku penasaran.
                “Minhyuk mengidap penyakit kanker otak.”
                “Jangan bercanda.”
                “Aku serius JangLi.” Kata Eomma sambil menangis. Aku tercengang. Air mataku mengalir. Aku tak bisa membendung tangisku. Minhyuk.. Orang yang selalu tersenyum. Orang yang kuat. Menderita kanker otak? Aku bermimpi. Katakana padaku kalau aku bermimpi. Aku memejamkan mataku dan mencubit pipiku. Aku membuka mataku dan masih dalam keadaan yang sama. Dan aku benci menyatakan aku tak bermimpi. Ini kenyataannya.
*****
                Aku memandang Minhyuk yang sedang berada di ruang rawat inap. Minhyuk masih belum sadarkan diri. Matanya masih terpejam. Aku tak sanggup melihatnya seperti ini. Aku tak mau hidupku berjalan begitu saja tanpanya. Aku menggenggam tangannya. Aku menangis lagi.
                “Pabo!” raungku.
                “Nuguga?” aku menoleh pada Minhyuk. Ia membuka matanya. Minhyuk telah sadar.
                “Oppa…”
                “Minhyuk tidak pabo.” Katanya polos. Aku tertawa kecil.
                “JangLi kenapa menangis?” tanyanya padaku.
                “Aku tidak menangis.”
                “Bohong. Jangan nangis lagi. Nanti jadi jelek.” Ucapnya pelan. Aku tertawa dan menghapus air mataku. Aku lalu tersenyum padanya.
                “Ne. aku tak akan menangis lagi.” Ucapku riang. Dasar Minhyuk. Mengapa ia membuatku semakin tak ingin kehilangan dia? Tak lama kemudian Eomma dan Appa datang.
                “Minhyuk-i, kau sudah bangun nak?” Tanya Eomma sambil membelai rambut anaknya. Minhyuk mengangguk dan bertanya “Minhyuk dimana?”
                “Kamar baru.” Ucapku asal.
                “Kamarnya jelek.” Protes Minhyuk. Aku tertawa lagi. Eomma dan Appa menemani Minhyuk. Aku memandang sekeliling. Aku melihat seseorang di luar kaca pintu. Ia tampak sedih menatap Minhyuk tanpa berpaling. Siapa dia?
                Aku keluar kamar rawat dan menghampiri pria tadi. Ia tampak terkejut melihatku. Aku rasa aku pernah bertemu dengan pria ini. Pria ini yang menabrak Minhyuk saat kami di jembatan waktu itu. Mau apa dia ke sini?
                “Nuguga?” tanyaku menatap wajah pria itu. Pria itu memalingkan wajahnya. Ia lalu bergegas pergi. Untungnya aku mencegahnya dan menarik tangannya.
                “Mianhamnida, nuguseyo?” tanyaku sambil menaikan nada suaraku. Pria itu berganti menarik tanganku dan mengajakku ke suatu tempat jauh dari kamar Minhyuk.
                “Ya! Maaf, Tuan. Untuka apa anda mengajakku ke sini dan siapa anda?” tanyaku penasaran. Aku mulai tak sabar. Pria itu menunduk.
                “Aku… Aku adalah ayah kandung Kang Minhyuk.”
                “Mwo?”

To Be Continued...