Laman

Rabu, 28 September 2011

FF: Stay In Love



Cast :
- Choi Ryu Ri
- Choi Min Hwan

                Aku menaruh bukuku ke dalam lokerku. Lalu aku berjalan ke luar sekolah bergegas pulang ke rumah. Di mana si Kim JangLi itu? Sahabatku itu biasanya pulang bersamaku. Ntah kenapa mungkin ia pulang lebih awal. Iya sih, karena aku masih ada urusan dengan sonsaeng-ku karena membuat kekacauan di kelas.
Aku menatap langit yang biru. Merasakan udara yang mulai dingin. Aaku memeluk tubuhku mencoba membuatnya hangat. Sebentar lagi musim dingin. Pergantian musim adalah hal bahagia bagi hidupku. Kenapa? Karena jika musim dingin tiba, liburan juga tiba. Aku bisa melakukan kegiatan yang kusukai. Meskipun begitu, aku tak suka badai. Menyebalkan kalau ia datang. Aku tak bisa main ke luar rumah menikmati salju dan terperangkap di dalam rumah. Sangat membosankan.
Seketika aku mencium aroma ayam bakar yang membuatku lapar. Oh, siapakah yang meyebarkan aroma dari surga ini lalu menghampiri hidungku? Aku mengendus hidungku mencari tempat aroma ayam bakar ini berasal. Aku lalu memasuki sebuah restoran yang menjual ayam bakar itu. Ayam bakar yang terpampang di depanku benar-benar menggodaku. Aku merogoh sakuku dan menghitung uangku. Masih cukup! Aku memandang ayam bakar di etalase dengan tatapan sangar. Belum sempat aku memesan ayam bakar itu, seorang pelayan mengambil ayam itu.
“Ya! Chamkanmanyo! Aku mau ayam itu!” teriakku. Aku rasa teriakkanku benar-benar tak terkendali sehingga hampir semua pengunjung restoran itu menatapku.
“Ah, mianhamnida. Tapi ini sudah dipesan lebih dulu.” Ucap pelayan itu sambil membungkukan badannya. Lalu ia menaruh ayam itu di piring.
“Apakah tidak ada ayam bakar lagi?” tanyaku sambil menggebrak meja.
“Andwae, mianhae.” Pelayan itu memberikan sepiring ayam bakar itu kepada seorang namja. Aku memperhatikan ayam itu terus menerus. Apakah aku harus mrelakan ayam itu?
“Eum, permisi. Boleh aku membeli ayam bakar itu darimu.” Tanyaku pada namja itu dengan memasang wajah aegyo.
“Enak saja. Aku baru saja memesan ayam bakar ini. Tidak akan aku berikan.” Katanya ketus. Aku menarik nafasku dalam-dalam.
“Jinjja? Kalau begitu lebih sopan sedikit kalu bicara! Lagipula aku ingin membelinya bukan memintanya!” seruku.
“Ya! Kau tak perlu marah-marah begitu. Siapa cepat dia dapat!” Ia juga balas berteriak padaku. Aku menatap matanya. Matanyatampak tak asing di mataku.
“Ryuri-ah? Kau Choi Ryuri, kan?” tanyanya tiba-tiba. Aku memandangnya lama. Ini adalah orang yang sudah lama ku kenal. Orang yang sudah lama tak bertemu denganku. Aku benci orang ini, tapi sangat merindukannya. Choi Minhwan... Seperti inikah kau sekarang?
“Ah, eumm…. Ne.” ucapku terbata-bata.
“Kau masih ingat padaku?” tanyanya lagi. Kali ini disertai senyum. Ia sangat berbeda dengan dulu. Senyumnya sangat manis. Aku membuyarkan lamunanku.
“Ehm, ne.” jawabku. Lalu aku segera pergi dari restoran itu. Sepertinya Minhwan memanggilku tapi aku menghiraukannya. Aku tetap berjalan cepat menuju rumahku sambil ngedumel sendiri.
“Aduh, Ryu.. Apa yang kau pikirkan sih? Dia kan hanya teman masa kecilmu lalu kenapa kau jadi salah tingkah seperti ini? Ya, senyumnya manis, sih. Tapi kau kan dulu membencinya. Huh, aigooo.” Kataku sambil menggaruk kepalaku meskipun tak gatal. Minhwan teman masa kecilku. Kami sangat akrab. Tapi kami sempat bertengkar. Andai saja ia tak berbuat seperti itu padaku.
~Flashback~
                Hari ini ulang tahunku. Aku bersekolah dengan riang. Meskipun teman-temanku tak ada yang tahu hari ulang tahunku, tetap saja aku senang. Appa dan Eomaku pasti akan membelikanku hadiah. Aku memandang Minhwan yang sedang berjalan-jalan di pinggir kolam. Minhwan itu cinta pertamaku. Aneh ya? Aku ini kan masih siswa TK. Aku tak tau kenapa, tapi aku menyukainya.
“Ryu-ah, ke sini!” Minhwan memanggilku dari kejauhan. Aku mengikutinya menuju danau di belakang taman kanak-kanak tempat kami bersekolah. Aku mendekatinya dan bertanya “Ada apa?”
Minhwan tersenyum padaku. Ia adalah sahabat karibku. Kami selalu main bersama. Aku senang bila main bersamanya. Mungkin ia tak mengerti yang aku rasakan sekarang ini. Mungkin aku terlalu banyak menonton film drama yang hiperbola. Tapi aku merasa benar-benar menyukainya. Minhwan menatap mataku dan memegang tanganku. Eh, kenapa ia seperti ini?
Ia lalu memegang pundakku dan… dan... dan dia mendorongku ke dalam danau yang berlumpur itu. Hei, apa-apaan dia ini? Aku piker dia ingin melakukan apa, ternyata mendorongku ke dalam danau berlumpur! Tubuhku dan bajaku basah semua. Kotor pula. Aku melihat sekujur tubuhku yang penuh lumpur. Lalu aku melihat kea rah kakiku. Mataku melotot. Cacing! Aku benci cacing! Cacing adalah hewan yang paling paling dan paling menjijikan yang pernah kutemui. Aku langsung berteriak keras dan bangkit. Lalu berlari benuju pinggir kolam dengan nafas yang terengah-engah.
“LIHAT ITU! CHOI RYU RI YANG PEMBERANI TAKUT PADA CACING!!!” seru Minhwan dengan kerasnya. Seluruh anak satu sekolah menertawaiku. Minhan adalah Bandar dari semua ini. Ia merencanakan ini. Mendorongku, mengotoriku dengan lumpur, memberitahu semua siswa bahwa aku takut pada cacing. Ini sungguh menyebalkan! Kau tahu? Aku adalah anak paling berani di sini. Aku tidak takut apapun. Dan predikat anak pemberani itu tercoreng!
Aku memandang mereka semua. Mereka terus tertawa. Ini adalah hari sialku. Tepat di hari ulang tahunku! Ini gara-gara Minhwan. Ia mempermalukanku. Aku belum pernah dipermalukan seperti ini. Minhwan sangat jahil padaku. Jahil sekali. Tapi di setiap kejahilannya, aku pasti bisa membalasnya. Enyah, kali ini aku diam. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku lalu berdiri dan menangis. Choi Ryuri tak pernah menangis, tapi kali ini aku tak kuat membendungnya.aku berlari, Minhwan mencoba menghentikanku tapi aku tak mengubrisnya.  Aku lari mengambil tas-ku dan segera pulang. Aku minta pindah sekolah. Dan sejak saat itu aku tak pernah melihat wajahnya lagi.
~Flashback End~
                Semalam aku tak bisa tidur. Entah mengapa aku memikirkan namja itu. Mengapa sih ia menampakan wajahnya di depanku lagi? Aku jadi teringat masa laluku. Andai saja aku tak membencinya, mungkin keadaan kami tak seperti sekarang. Entah ada rasa sulit untuk memaafkannya.
                Aku memasuki ruang kelasku. Menuju kursi di sebelah JangLi yang sedang sibuk dengan tugasnya. Wajahnya tampak sangat serius menyalin pekerjaan milik Miyoung yang nampaknya sudah menagih bukunya. Aku segera duduk di kursiku dan menelungkupkan wajahku ke dalam tanganku yang dilipat di atas meja. Aku masih mengantuk. Tak lama kemudian, Jung-sonsaengnim datang. Aku berdiri untuk memberi salam dengan malas.
                “Geurae, kalian akan kedatangan siswa baru. Mungkin ada diantara kalian yang sudah mengetahui hal ini. Silakan masuk.” Jung-sonsaengnim memperkenalkan siswa baru itu. Mataku membelalak. Dan kalian tau apa yang aku pikirkan.
                “Annyeong haseyo. Ceoneun Choi Minhwan imnida.” Katanya sambil membungkukan badannya. Mengapa ia sekolah di sini sih? Dari sekian banyak sekolah di Korea Selatan mengapa ia memilih sekolah ini? Mengapa harus satu kelas denganku? Mengapa? Mengapa?
                Ia menatapku. Aku tak berani memandangnya. Aku hanya tertunduk. Jantungku jadi berdebar kencang begini. Bagaimana hari-hariku bila ia ada di sini. Hatiku penuh rasa tidak tenang. Entah apa yang membuatku seperti ini. Ia lalu duduk di kursi di belakang-ku. Kenapa pula ada kursi kosong di belakangku? Ya, Tuhan.
                “Yuu~ Kita sekelas ya?”” bisiknya dari belakang. Yuu? Aku tak pernah mendengar panggilan itu lagi. Sudah sangat lama bahkan aku hampir lupa. Yuu adalah pnggilan masa kecilku. Panggilan itu hanya dari Minhwan. Hanya ia yang memanggilku begitu. Dan aku biasa memanggilnya Minan.
                “Yuu, kenapa kau diam saja? Kau jadi pendiam begini.” Ucapnya lagi. Aku tak menjawab pertanyaannya. Mulutku serasa terkunci rapat. Aku bingung apa yang harus katakan.
                “Yuu… Apa kau masih marah karena kejadian waktu itu?” tanyanya lembut. Deg! Jantungku mau copot rasanya. Ia masih tak melupakan kejadian itu.
                “Diam kau!” aku menoleh ke belakang dan menggebrak mejanya sambil berteriak keras. Minhwan menatap heran padaku. Ia terdiam. Seluruh kelas memperhatikanku.
                “Yaa! Choi Ryuri-ah. Kerjakan soal nomer 1 di papan tulis! Ppali!” seru jung-sonsaengnim memandangku sinis. Sedari tadi aku tak mendengarkan sonsaeng itu bicara. Glek! Matilah aku.
*****
                “Yuu~!!!” Minhwan memanggilku. Aku berlari menuju gerbang sekolah bergegas pulang menuju rumahku. Minhwan membuntutiku.
                “Yuu, kenapa kau jadi menghindariku begini?” Minhwan menarik lenganku dan berhasil mencegahku berlari. Aku menarik nafasku. Menguatkan diri menatapnya.
                “Aku tidak menghindarimu.” Ucapku lalu melepaskan tangannya dari lenganku.
                “Lalu mengapa kau berlari?” tanyanya.
                “Karena aku ingin segera pulang. Waeyo?” seruku lantang. Minhwan diam lagi. Aku segera pergi meninggalkannya. Minhwan hanya berdiri mematung. Mungkin sikapku terlalu kasar padanya. Namun aku bingung. Aku harus menunjukan sikap yang seperti apa padanya?
                Tiba-tiba hujan deras mengguyur tubuhku. Eh, mengapa bisa begini? Bukankah tadi cuaca sangat cerah? Bajuku basah kuyup. Aku tidak membawa payung. Parahnya jarak menuju rumahku masih jauh. Aku berlari sekencang-kencangnya. Musim dingin akan segera datang. Dan udaranya dingin sekali.
                “Yuu!!! Cepat naik!” seseorang menghampiriku dengan motornya. Minhwan?
                “Kau mau apa?” tanyaku sambil berteriak. Gemuruh suara hujan membuyarkan suaraku.
                “Kau mau kuantar atau tidak? Cepat naik dan tunjukkan rumahmu!” seru minhwan. Ada sesuatu yang mendorongku untuk menerima tumpangan dari Minhwan. Motor Minhwan melaju kencang. Refleks aku memeluknya. Wajahku memerah. Aku memandang sepintas wajah Minhwan yang berusaha keras mengendarai motornya di terpa hujan deras begini. Aku mengingat-ingat masa laluku lagi. Dan menyadari cinta pertamaku itu. Apakah perasaanku sama seperti waktu itu?
                Aku sampai ke rumahku.
                “Gamsahamnida.” Ucapku sambil membungkuk. Minhwan tersenyum. “Cepat masuk, keringkan badanmu, mandi air hangat.” Perintahnya lembut. Mengapa sifatnya dengan dulu berbeda sekali? Aku masuk ke rumahku dan segera kembali ke teras rumahku. Aku memberikan sesuatu pada Minhwan.
                “Payung?” tanyanya. Aku mengangguk. Ia tertawa.
                “Gomawoyo.” Ucapnya tersenyum lebar. Ia segera menyalakan mesin motornya. Sepertinya hujan sudah mulai reda. Oh, Tuhan… kau sengaja menurunkan hujan deras padaku, ya? :p
                “Masa aku harus memakai paying seperti ini? Bagaimana bisa aku menyetir?” candanya. Aku cemberut. “Kalau tak mau ya sudah!”
                “Aish, iya iya. Aku akan pakai. Ngomong-ngomong, Yuu, kapan kau memanggilku seperti dulu?” tanyanya. Memanggil seperti dulu? Maksudnya.. Minan?
                “Mwo? Sudah sana kau cepat pulang!” usirku. *kasian*
                “Iya… Kau jahat sekali. Tapi, aku merindukanmu memanggilku seperti dulu. Kau masih ingat nama panggilanku kan?” tanyanya lagi. Aku segera mengambil sapu ijuk di depan rumahku dan bersiap-siap memukulnya.
                “Ah, ne. geuraeyo!” Minhwan melaju cepat dengan payung yang kuberikan. Minan.. Minan.. kau merindukan panggilan itu? Aku ingin sekali memanggilmu begitu tapi… entah, bibirku sulit mengucapkannya.
*****
                “Yuu? Yuu! Kau sakit?” Minhwan mengguncang-guncangkan bahuku dan memandang kepalaku yang tergeletak di atas meja. Kepalaku pusing. Mungkin karena kemarin terlalu lama berada di tengah hujan. Mataku berat sekali. Salahku juga sih, kemarin bukannya aku mandi air hangat, aku malah mandi dengan air dingin. Aku malas memasak air. Yah, menyebalkan.
                “Yuu! Sebaiknya kau izin pulang!” pinta Minhwan. Aku tak bergerak sama sekali. Masih tetap berada dalam pososoku semula. Aku lemas, tak bertenaga.
                “Yuu!” teriak Minhwan lagi. Aku membuka mataku. Pandanganku menjadi buram. Aku melihat wajah manisnya yang namapak cemas menatapku. Ia menarik bahuku dan menyandarkanku ke kursi. Kepalaku terasa sangat pusing. Minhwan mengalungkan tanganku di lehernya. *ngerti ga?*
                “Mau apa kau?” tanyaku dengan nada lemas. Mataku masih sedikit terpejam. Aku melihat semua siswa di kelas menatap kami.
                “Joyonghi.” Kata Minhwan. Minhwan menggendongku. HAH? *FF gue wajib gendong2an*
                “Mau kemana kau?” tanyaku lagi. Kali ini berusaha mengangkat kepalaku yang terasa berat untuk memandangnya.
                “Membawamu pulang, pabo!” seru Minhwan. Wajahnya tampak kelelahan.
                “Kau keberatan ya?” tanyaku sambil bersandar di punggungnya.
                “Aniyo.”
                “Pasti keberatan tuh..”
                “Lagian siapa suruh kemarin hujan-hujanan? Kau kan jadi sakit begini!” tukas Minhwan seperti ibu-ibu.
                “Tapi kau tidak sakit sepertiku?”
                “Kalau aku sakit, nanti yang membawamu pulang siapa?” tanyanya menatapku. Mata kami bertemu. Aku mengalihkan wajahku. Lalu bersandar lagi di punggungnya. Rasanya nyaman. Minan, aku baru menyadari. Aku merindukanmu. Rumahku memang tidak jauh dari sekolah. Bisakah jalan ke rumahku menjadi lebih panjang? Entah, mungkin terlalu nyaman, aku sampai tertidur di atas punggungnya.
Minhwan’s POV…
                Aku hampir sampai ke rumah Yuu. Ah, gadis ini mengapa berat sekali sih? Aku menoleh padanya. Mengapa pula ia tertidur segala? Yuu… Aku tahu pasti ia masih marah padaku karena kejadian saat kami masih kecil. Aku pikir ia sudah melupakannya. Mungkin yang aku lakukan memang keterlaluan. Tapi sungguh aku tak bermaksud seperti itu.
                “Permisi~!” aku tiba di depan rumah Yuu. Mengintip sedikit ke dalam jendela rumahnya. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya membukakan pintunya untukku. Ibunya Yuu. Aku masih mengingat wajahnya.
                “Ryu! Ryu kenapa? Geurugo nuguseyo?” Tanya ibunya Yuu. Wajahnya cemas melihat anaknya yang sedang tertidur.
                “Aku Minhwan sahabat ryu. Dulu aku teman baik Ryu. Ryu sepertinya demam. Jadi aku mengantarnya pulang.” Jelasku.
                “Oh, geuraeyo. Kajja, Ajjhuma antarkan ke kamarnya.” Kata Ibunya Yuu sambil menyuruhku masuk ke dalam rumah. Aku masuk ke kamarnya nih? *bahasa gue ga enak banget*
                Aku memasuki kamar Yuu. Kamarnya berantakan. Dasar Yuu. Aku membaringkannya ke atas kasurnya. Lalu memijat bahuku yang terasa pegal. Hufth. Aku menoleh pada Yuu yang sedang tertidur. Tunggu, ia tidak tidur. Aku melihatnya membuka matanya. Huh, Yuu, kau mau membohongiku?
                “YUU! ADA CACING DI BANTALMU!” seruku mengerjai Yuu. Yuu langsung membuka matanya dan bangun. Ia menjauhi bantalnya dan memegang bahuku. Setelah menyadari kalau aku berbohong, ia mendorong bahuku. Aku terkekeh. Ia cemberut.
Ryuri’s POV…
                “Yuu.. Manhaeyo.” Minhwan memohon maaf padaku. Aku tak menoleh sedikitpun padanya.
                “Yuu…” Minhwan memegang bahuku dan menghadapkan wajahku ke wajahnya. Jantungku mau copoy. Mau apa dia?
                “Yuu.. Maukah kau maafkan aku karena kejadian waktu itu?” tanyanya. Ia menatap mataku tajam. Perasaanku aneh pada orang ini.
                “Kau pikir mudah melupakan kejadian itu?” ucapku.
                “Yuu..” panggilnya. Suaranya berbisik di telingaku. “Kau boleh marah padaku. Tapi… tolong jangan benci padaku.” Pintanya. Aku tak kuasa memandang matanya yang indah itu. Pandangan mata seperti Puss kucing-nya Shrek yang polos dan menggemaskan. Membuat hati semua orang luluh dan kasihan padanya. Ah, jeongmal.
                “Sudah cukup.” Aku memalingkan wajahku. Menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku tak tau harus bersikap apa. Aku hanya diam. Minhwan pasti sudah bisa menebak perasaanku.
                “HACHIII!!!” seru Minhwan tiba-tiba. Namja itu bersin keras sekali. Di depanku. Bersinnya sangat kencang. Jorok tapi lucu. Membuatku tertawa.
                “Hahaha.. Siapa bilang kau tak sakit? Hahaha.” Aku tertawa melihatnya yang sedang menutupi hidungnya dan mengelapnya. Ih. Minhwan lalu mengusap kepalanya.
                “Yuu… Panggil aku Minan lagi.” Ia memegang tanganku lalu tersenyum manja. Ah, dasar.
                “Untuk apa kau meminta itu? Kau seperti anak kecil saja.”
                “Ayolah, Yuu.. Panggil aku…” katanya sambil mengguncangkan tanganku.
                “Minan..” ucapku sambil menatap aneh Minhwan. Minhwan tertawa. “Ayo.. panggil lagi!” pintanya sambil terkekeh.
                “Apa sih!” seruku. Mungkin hubungan kami akan membaik.
*****
                Aku sudah baikan. Hari ini aku sudah bisa sekolah. Biarpun begitu, di saat jam kosong seperti ini harus dimanfaatkan. Guru Sejarah tidak masuk ke kelas hari ini. Saat membahagiakan. Aku manfaatkan untuk tidur siang di kelas. Meskipun suara siswa satu kelas sangat riuh, tidak mengganggu tidur siangku. Dan setelah aku puas tidur aku terbangun. Aku mengucek mataku. Mataku lalu tertuju pada buku tulis di depanku. Apa itu? Tidak mungkin aku tidur sambil menulis? Kau percaya itu? *maap rada gaje* Dan aku menulis nama Minhwan di buku-ku!
                “Ryu! Boleh aku lihat tugas Sejarah-mu?” kata Jokwon sambil merebut buku Sejarahku. Oh, tidak. Dia tidak boleh melihatnya! Aku menulis nama Minhwan di buku-ku! Bisa kacau!
                “Apa ini Ryu? Hahaha.. Yaa, chingudeul! Ternyata ada satu couple lagi di kelas kita ini!” teriak Jokwon sambil menunjukkan buku-ku kepada semua penghuni kelas.
                “Jinjja! Ryuri dan Minhwan! Ternyata diam-diam kalian berpacaran ya?” Tanya Jokwon. Seluruh penghuni kelas memandang Jokwon, aku dan Minhwan secara bergantian. Celaka. Aku berusaha merebut kembali buku-ku dari tangan Jokwon. Tapi aku tak berhasil mendapatkannya.
                “Berikan!” perintahku pada Jokwan. Tapi ia malah berlari menjauhiku. “Yaa, Ryu! Kau berpacaran dengan Minhwan ya?” tanyanya sambil terus menjauhkan buku-ku dariku.
                “Andwae! Tidak begitu! Itu tidak benar!” bantahku. “Lalu kenapa kau menulis namanya di bukumu? Kau suka padanya ya?” tanyanya meledekku.
                “Andwae! Aku tak menyukainya! Dia bukan siapa-siapa bagiku! Bahkan aku membencinya!” kata-kata itu terus mengalir dari bibirku. Ucapanku menjadi tak terkontrol karena aku berusaha keras membantah bahwa aku menyukai Minhwan. Semua orang terdiam. Aku menatap Minhwan. Ia tercengang menatapku. Aku tahu, ucapanku keterlaluan.
                “Minhwan, bagaimana menurutmu? Ada apa sebenarnya kau dengan Ryu? Kemarin juga kau mengantarnya pulang, kan?” Tanya Jokwon pada Minhwan. Anak ini memang menjadi sumber kerusuhan. *maap ya bang*
                “Waeyo? Aku hanya kasihan padanya. Tidak ada apa-apa antara aku dan dia.” Ucapnya lalu bangkit dari kursinya. Ia lalu pergi ke luar kelas dan membanting pintu kelas. Semua siswa dan siswi di kelas terdiam. Aku tahu dia pasti marah. Dia pasti kecewa dengan ucapanku. Entah kenapa hatiku menjadi sakit. Tidak seharusnya aku mengucapkan kata-kata itu. Aku memang pabo.
                Sepulang sekolah aku melihat Minhwan yang sedang menaiki motornya. Aku segera menghampirinya. Berharap ia bisa memaafkanku.
                “Minan~!” panggilku. Kali ini dengan panggilan yang dulu biasa ku sebut untuk memanggilnya. Minan. Minhwan menoleh padaku. Aku terdiam. Tak tahu apa yang harus aku ucapkan.
                “Mworago?” tanyanya ketus. Aku berdiri mematung. Nampaknya ia sangat marah. Ryu, sebenarnya kau ini mau apa sih? Kau ini kan membencinya. Yang tadi aku katakana tidak salah, kan? Lalu kenapa kau jadi mengejarnya seperti ini? Kenapa kau Ryu?
                Minhwan lalu berbalik lalu mengendarai motornya tanpa mempedulikanku. Dadaku rasanya sesak. Sakit. Entah apa yang membuatku seperti ini. Aku berjalan menuju rumahku dengan gontai. Minan, aku tau, aku bukannya membencimu. Sebenarnya hatiku tak berkata aku membencimu. Aku tak tau, apa yang aku rasakan ini. Minan, kau bisa beri tahu aku arti rasa ini?
*****
                Aku menyusuri pinggir kota Seoul yang penuh dengan keramaian. Melihat gedung bertingkat yang gemerlap di tengah malam, lalu-lalang warga Seoul, menghirup udara malam yang menusuk tulang rusuk-ku. *asek gue sok puitis* Tak berpengaruh seberapa ramai-nya, aku tetap sendirian. Aku memikirkan sesuatu yang membuatku tak bisa tidur. Sudah beberapa hari aku tak berbicara dengan Minhwan. Mulutnya terkunci saat beremu denganku. Tatapannya padaku juga berubah. Aku tak bisa berbohong. Aku merindukannya. Aku benar-benar merindukanmu Minhwan.
                Aku menyebrangi jalan raya. Tanpa sadar ada sebuah mobil di sampingku. Ah, sial. Aku terlalu banyak pikiran sehingga aku tak memperhatikan jalan. Mobil itu melaju kencang dan akan menabrakku. Oh, Tuhan tolong aku. Tapi ada seseorang yang menarik kerah bajuku. Untungnya aku selamat. Eh, nugu? Ia menarikku dan aku jatuh ke dalam pelukannya. Jantungku hampir copot. Aku memandang wajah orang itu.
                “Yuu, gwenchanayo?” Tanya Minhwan. Kenapa ia ada di sini? Nafasnya putih. Aku bisa merasakan debaran jantungnya yang tepat di samping telingaku. Minan, aku belum sanggup bertemu denganmu.
                “Gwenchana. Gomapta. Kenapa kau ada di sini?” tanyaku lalu melepaskan pelukannya.
                “Apa tak boleh aku ada di sini?” tia balik bertanya.
                “Ya, emm, bukan begitu.. tapi ya..” aku gelagapan. Apa yang harus aku katakana padanya.
                “Kenapa malam-malam begini keluyuran, huh?” lagi-lagi ia bertanya.
                “Ya.. hanya jalan-jalan saja. Aku hanya tak bisa tidur.” Jawabku jujur sambil menggaruk kepalaku.
                “Sebaiknya kau pulang. Udara dingin sekali nanti kau sakit lagi.” Ucapnya. Aku menatapnya sekali lagi. Tatapan sendunya itu aku dapatkan lagi. Ia lalu bergegas pergi.
                “Minan!” panggilku. Minhwan berhenti melangkah. “Waeyo?” tanyanya. Aku berlari kecil menghampirinya.
                “Ada yang harus aku katakan padamu.” Lanjutku. Minhwan menyerngitkan dahi. (?) “Mwoga?” tanyanya heran.
                “Dulu aku memang membencimu Minan. Aku tau aku egois. Aku tahu sikapku kasar. Tapi itu bukan karena aku tidak suka padamu. Aku benci karena kau tidak punya perasaan yang sama denganku.”
                “Maksudmu?”
                “Jadi… Jadi… Aku.. Aku.. Aku mau minta maaf.” Kataku sambil menunduk. Kenapa aku malah bilang maaf? Bukan itu yang ingin aku katakan. Hati dan bibirku benar-benar tidak kompak. (?) Minhwan menghela nafas. Ia lalu memelukku lagi. Apa-apaan ini?
                “Yuu, bukan itu yang ingin kau katakan, kan?” tanyanya seakan bisa membaca perasaanku.
                “Memang itu yang ingin aku katakan.” Ucapku pelan.
                “Ada lagi.”
                “Mwo?”
                “Kau tahu mengapa waktu itu aku mengerjaimu?” tanyanya sambil memegang pipiku. Mengadahkannnya ke wajahnya.
                “Apa kau lupa itu hari ulang tahunmu? Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun padamu Yuu..” jelas Minhwan. Jadi, begitukah?
                “Kau sahabat baikku Yuu. Aku menyukaimu sejak dulu. Aku ingin memberimu kejutan waktu itu. Nyatanya kau malah pergi dan aku belum sempat mengucapkan selamat untukmu.”
                “Kau…”
                “Saranghamnida.” Ucap Minhwan. Aku terperana mendengarnya. Minhwan menyukaiku? Salah. Minhwan mencintaiku? Aku tak bisa berkata. Bibirku membatu seketika. Lalu menyunggingkan senyum. Minhwan, kau punya perasaan yang sama sepertiku waktu itu. Cintaku tak sepihak.
                “Yuu! Aku tahu kau mau mengatakan itu juga! Kenapa kau tak mengatakannya? Cepat bilang padaku!” perintah Minhwan.
                “Harus?”
                “Wajib!” ucapnya. Aku menarik nafasku dalam-dalam.
                “Mi.. Minan… sa.. sa…”
                “Yang benar!”
                “MINAN, SARANGHAMNIDA!” teriakku sangat kencang. Orang-orang di sekitar kami memperhatikan kami berdua. Pipiku bersemu. Malu ih teriak teriak di depan umum. Minhwan nyengir.
                “Pintar.” Katanya. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku.
                “Mau apa?” tanayaku gugup. “Mau popo.” Ucapnya manja. Hah?
                “Kau gila!”
                “Aniyo.” Minhwan melepaskan jaketnya. Lalu menutupi kepalaku dan kepalanya. Wajah kami di tutupi oleh jaket Minhwan. Dasar anak ini. Kau tahu apa yang kami lakukan. Wajahku memerah. Minan, selama ini aku salah akan perasaanku. Aku bilang aku membencimu. Itu salah. Perasaanku masih sama. Sama seperti TK. Sama seperti kita bermain-main dulu. Sama seperti waktu itu. Perasaan ini sampai kapanpun tak akan berubah. Aku yakin. Perasaan ini cinta. Minan, saranghamnida.

 THE END
*mohon maap gaje and ganyambung*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar