Laman

Minggu, 08 Januari 2012

FF: Please, Be Mine! [Part 2]



Genre : Romance
Length : 3 Shoot
Cast :
- Choi Ryu Ri as Choi Ryu Ri
- FT Island Minhwan as Choi Min Hwan
- B1A4 Sandeul as Lee Sandeul
 
"Yuu?" seseorang memanggilku lembut. Suara yang sangat ku kenal. Panggilan yang tak lagi asing. Aku menoleh padanya. Jantungku serasa berhenti melihat seseorang di hadapanku. Choi Minhwan. Ia berdiri mematung menatapku. Aku melepaskan pelukanku terhadap Sandeul. Sandeul yang menyadari tingkahku menoleh pada Minhwan. Minhwan menatap Sandeul tajam.
”Nuguyo? Neoui namjachingu?” Tanya Sandeul. Aku terdiam, tak menghiraukan ucapan Sandeul. Apa yang harus kukatakan padanya? Aku dan Minhwan belum berpacaran.
Minhwan membuang wajahnya. Ia lalu berjalan pergi. Aku lalu berdiri. Berusaha mengejarnya.
”Kau akan megejarnya?” seperti bisa membaca pikiranku, Sandeul bertanya seperti itu padaku. Langkah kakiku sperti tertahan. Memintaku untuk tetap. Tapi sungguh aku ingin menemui Minhwan. Aku ingin membenarkan kesalahpahaman ini. Entah apa yang mempengaruhiku saat ini, aku malah duduk di samping Sandeul. Sandeul menoleh padaku heran.
”Nan mollayo. Tapi aku rasa… kau membutuhkanku.” Ucapku sambil tertunduk.
”Aku memang membutuhkanmu. Ryuri, gomawoyo.” Kata Sandeul. Aku menatapnya. Aku melihat senyuman mengembang di bibirnya. Senyum yang pertama kali ku lihat darinya. Senyum yang belum pernah ia tunjukan sebelumnya. Senyum yang ditujukan untukku.
###
                Pada akhirnya aku mengantar Sandeul pulang. Selama di perjalanan aku merasa heran pada Sandeul. Ia tersenyum terus bahkan tertawa. Anak ini benar-benar susah ditebak. Misterius. Tapi pandanganku terhadapnya seketika berubah. Bisa dibilang, aku nyaman bersamanya.
                Pintu rumah Sabdeul terbuka. Lee-harabeoji membuka pintu dengan wajah cemas. Namun raut wajahnya langsung berbinar ketika melihatku. Eh? Memangnya ada apa denganku?
“Sandeul, mengapa kau tidak menjawab teleponku?” Tanya Lee-harabeoji.
”Lowbat.” Ucap Sandeul singkat. Lee-harabeoji hanya menggelengkan kepala. ”Choi…”
”Ryuri.” Lanjut Sandeul mendahuluiku.
”Ah, ne. Choi Ryuri, apa sandeul pergi bersamamu?” Lee-harabeoji bertanya padaku.
”Aniyo. Kami hanya bertemu di jalan. Jadi aku mengantarnya pulang.” Jelasku.
”Begitu ya. Kalau begitu aku minta nomer teleponmu saja. Percuma jika aku menelepon Sandeul. Meneleponmu akan lebih akurat.” kata Lee-harabeoji.
”Hahaha, ye. Ini sudah malam. Eomma pasti mencariku. Aku pulang dulu, Harabeoji. Annyeonghi gaseyo.” Pamitku pada mereka. Aku lalu bergegas pergi.
”Ryuri..” suara Sandeul menghentikan langkahku. Aku menoleh ke arahnya.
”Hati-hati.” Ucapnya. Sandeul tersenyum lagi. Aku membalas senyumannya lalu terus berjalan. Aigo, Sandeul memiliki senyum yang manis. Ah, ani ani. Pasti salah lihat. Salah lihat…
Aku lalu teringat pada Minhwan. Sial, ia pasti marah padaku. Harusnya aku ke Sunyeodo Park, menemui Minhwan. Aku berharap dapat menatap wajahnya, senyum manja khas Minhwan. Aku tetap pergi ke Sunyeodo Park meski tak menemui Minhwan. Minhwan tak mungkin ada di sana. Untuk apa menunggu gadis sepertiku di malam yang dingin seperti ini? Ditambah lagi melihatku berpelukan dengan Sandeul. Aku tau, aku salah.
Aku menyusuri jalan setapak. Taman ini tidak terlalu ramai. Lagipula sepertinya akan turun hujan. Aku memandang sekeliling. Celingukan seperti orang bodoh. Pandanganku tertuju pada seseorang. Seseorang yang duduk di kursi taman. Ia memeluk kedua kakinya. Ia menelungkupkan wajahnya ke dalam pelukannya sehingga wajahnya tak terlihat. Baju yang dikenakannya persis seperti Minhwan. Apa ia Minhwan? Apa ia menungguku?
Aku menghampirinya. Mecoba memperhatikannya lebih jelas. Aku membelai rambutnya yang menutupi wajahnya. Omo, ini benar-benar Minhwan. Ia tertidur. Tapi dahinya berkerut seperti orang menggerutu. Aku memegang lengannya. Ia membuka matanya dan terbangun.
“Yuu?” bisik Minhwan. Ia memandangiku. Aku memegang kedua pipinya. Dingin.
”Yuu.. Aku rasa aku mimpi buruk. Aku harap itu tidak nyata.” Lanjut Minhwan. mimpi buruk? Aku rasa kau tidak mimpi buruk Minhwan. Yang kau lihat tadi itu nyata. Aku bersalah padanya. Ia mungkin menganggap kejadian tadi hanyalah sebuah mimpi. Air mataku menetes.
”Geuraeseo, neomu gwaenchanhayo?” tanyaku. Minhwan menggeleng.
”Aku tidak baik-baik saja karena kau menangis. Kenapa kau menangis?” Minhwan balik bertanya. Aku semakin terisak.
”Minan, mianhaeyo.” Aku menangis dan memeluknya. Choi Ryuri selalu menjadi yang paling berani. Choi Ryuri tak pernah menangis. Tetapi air mata ini tumpah begitu saja. Dan benar-benar memalukan jika seorang Choi Ryuri menangis di depan seorang Choi Minhwan. Aku memutuskan menyembunyikan wajahku dalam pelukannya.
”Hentikan itu. Sudahlah, jangan menangis. Kalau kau menangis terus, aku tak akan membiarkankanmu memelukku. Jangan menjadi orang lain. Jadilah Choi Ryuri yang seperti dulu. Choi Ryuri yang kuat.” Ucap Minhwan. Minan, gamsahamnida. Perasaanku kini lebih tenang.
###
                Aku menjatuhkan tubuhku di kasur sepulang sekolah. Rasanya lelah sekali. Badanku pegal-pegal. Eomma tidak ada di rumah. Eomma hanya meninggalkan pesan tanpa meninggalkan makanan. Perutku lapar sekali. Aku mencari bahan makanan di dapur. Mencari di rak, lemari es, semua kosong! Tidak ada yang bisa dimakan. Padahal perutku sudah mulai nge-band.*eeaa*
                Tiba-tiba ponselku berdering. Aku harap dari Eomma. Setelah kulihat layar ponselku ternyata bukan. Aku menghela nafas kecewa. Nama Lee-harabeoji terpampang di layar ponselku. Lee-harabeoji?  Untuk apa ia meneleponku?
                ”Yeoboseyo?” ucapku.
                ”Ehm, Choi.. Choi..”
                ”Ryuri.” Sambung. Entah mengapa Lee-haraboji selalu lupa akan namaku. Apa karena faktor umur ya?
                ”Ne, Choi Ryuri. Bisakah kau datang ke rumahku sekarang?” pinta Lee-harabeoji.
                ”Ye? Memangnya ada apa?” tanyaku padanya.
                ”Pokoknya kau cepat ke sini ya. Ada sesuatu yang sangat penting.” Lee-harabeoji menutup teleponnya. Eh? Ada apa sebenarnya? Kenapa terkesan darurat sekali? Kenapa juga aku yang di telepon? Memangnya aku pemberantas masalah?
                Aku lalu mengganti seragam sekolahku. Aku lalu mengunci rumah dan segera mengambil sepedaku. Aku mengayuh sepedaku dengan cepat ke rumah Sandeul. Aku lalu sampai ke rumah Sandeul. Aku menekan bel rumahnya dengan terengah-engah. Pintu rumah itu terbuka. Sandeul yang membuka pintu memandangku dengan heran.
                ”Ryuri? Kenapa kau tiba-tiba datang ke sini? Dan kenapa terlihat terburu-buru sekali?” Tanya Sandeul.
                ”Dimana Harabeoji? Katanya ada sesuatu yang sangat penting?” tanyaku. Sekarang aku merasa aneh. Sandeul tenang saja. Seperti tidak ada sesuatu yang buruk. Lantas apa masalahnya? Dan sekarang aku meliha Sandeul yang cengar-cengir sendiri. Apa ini sesuatu yang penting itu? Apa otaknya mulai miring sekarang?
                ”Yaa! Mengapa kau malah tersenyum, huh?” aku bertanya lagi.
                ”Ah, oh... Memang ada sesuatu yang sangat penting di sini.” Ucapnya.
                ”Mwoga?”
                ”Naneun.” Katanya dengan semangat. Heh?
                ”Kau? Apa maksudnya?” tanyaku sambil menyerngitkan dahi.
                ”Masuklah dulu.” Ajak Sandeul. Aku diam saja dan hanya menurutinya. Sepi sekali. Apa tidak ada orang? Lalu kemana Lee-harabeoji?
                ”Kakekku sedang pergi. Aku hanya sendiri di rumah. Aku sudah bilang kan aku itu sangat penting bagi kakekku?” kata Sandeul sambil duduk di kursi. Aku menatapnya. Aku masih belum mencerna kata-katanya. Sandeul sangat penting bagi kakeknya, aku tau. Jadi? Jadi maksudnya aku harus menjaga Sandeul saat kakeknya pergi, begitukah?
                ”Jadi…. Aigo.” Ucapku. Sambil mengusap wajahku. Aku lalu duduk di samping Sandeul.
                ”Aku baru pulang sekolah.” Ucapku. ”Lalu?” Tanya Sandeul.
                ”Aku belum makan. Aku lapar. Kau punya makanan, tidak?” tanyaku. Semoga saja ada makanan. Tapi dugaanku salah. Sandeul menggeleng. Aku menghela nafas lagi. Yah.
                ”Tapi sepertinya ada bahan makanan.” Kata Sandeul. Mataku berbinar.
                ”Jinjja? Eodiga?” tanyaku dengan senyum lebar. Sandeul lalu berdiri dan mengajakku ke dapurnya. Dia membuka pintu lemari es-nya. Ini sih seperti swalayan. Isinya hampir lengkap. Kalau aku punya lemari es seperti ini sih, bisa-bisa masak tiap hari.
                ”Aku masak ya?” aku meminta pada Sandeul sambil mengedipkan kedua mataku sudah seperti orang cilereng.*maap bahasanya*
                ”Memangnya kau bisa masak?” Tanya Sandeul meragukanku.
                ”Kalau aku ikut lomba Master Chef di RCTI (?) aku pasti yang akan menang.” Ucapku dengan bangga. Sebenarnya tidak begitu juga sih. Aku hanya hiperbola, haha. *authornya kali yg lebae*
                ”Yang mudah, kita bikin spaghetti!” seruku sambil mengeluarkan bahan-bahan dari lemari es. Sandeul hanya tertawa kecil. Aku mulai menyalakan kompor lalu merebus mie spaghetti. Sandeul memperhatikanku di sampingku.
                “Daripada kau diam saja lebih baik kau iris bawang.” Pintaku pada Sandeul.
                “Mwo?”
                “Lakukan saja!” ucapku seraya memberikan bawang bombay beserta pisau. Sandeul mengambil bawang dan mengirisnya dengan pisau.
                “Yaa! Kau bisa mengiris atau tidak? Kau mau mengiris bawang untuk kerbau? Potongannya terlalu besar.” Protesku. Sandeul membanting pelan pisaunya.
                “Siapa yang menyuruhku melakukan ini?” tanyanya sambil membelalakkan matanya. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Sandeul lalu menarik sebuah kursi lalu duduk di atasnya. Aku menghiraukannya lalu kembali pada spaghetti-ku yang masih setengah jadi.
Aku mengambil bawang dan memotongnya dengan rapi. Lalu aku mengiris bawang putih lalu menyiapkan daging cincang yang sudah tersedia di dalam lemari es. Setelah itu aku mulai menumis. Aku melirik kearah Sandeul.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanyaku pada Sandeul yang tampak seperti anak sekolah dasar yang sedang memperhatikan guru menerangkan pelajaran dengan seksama. Seperti itulah ia melihatku sekarang.
“Memangnya kenapa?” Sandeul balik bertanya padaku.
“Ya… tapi.. ya, sudahlah.” Ucapku lalu kembali sibuk menumis.
&&&&&
Akhirnya, this is it! Spaghetti bolognaise ala Chef Choi Ryu Ri. (?) Setelah selesai aku menghidangkan spaghetti-ku di atas meja makan. Aku lalu menata meja makan layaknya chef professional. Aku melihat ke arah Sandeul yang sedari tadi tak beranjak dari kursinya. Aku menghampirinya lalu menarik lengannya.
“Makanlah bersamaku. Ye?”
“Mwoga?” Tanya Sandeul heran. Aku nyengir lebar. Aku menarik tangannya dan membawanya ke meja makan. Aku lalu mempersilahkannya duduk. Setelah itu aku duduk di sampingnya.
“Sebagai Chef, aku harus mempersilahkan orang lain makan duluan.” Ucapku sambil tersenyum lebar. Aku menyodorkan sepiring spaghetti pada Sandeul.
“Kenapa aku harus makan duluan? Kalau tidak enak bagaimana?” Tanya Sandeul.
“Aish, kau meragukanku, huh?” tanyaku balik sambil menatap tajam Sandeul. Sandeul lalu mengambil garpu lalu memakan spaghetti-nya. Aku menunggunya menelan spaghetti itu. Setelah ia menelannya, ia menoleh padaku.
“Ini tidak buruk.” Ucapnya. Aku tersenyum dengan penuh rasa bangga. Aku menepuk bahunya dengan cukup keras.
“Tinggal bilang enak saja, apa itu sulit?” ucapku lalu segera mengambil garpu. “Manh-i deuseyo!” Akhirnya aku menyantap spaghetti buatanku sendiri. Rasanya enak. Haha.
“Ryuri-a.” panggil Sandeul.
“Mworago?” ucapku yang tak terdengar jelas karena sedang menyantap spaghetti.
“Saranghae.”
DEG! Detak jantungku berhenti. Yaa, apa aku tak salah dengar? Apa yang Sandeul katakana barusan? Itu sungguhan? Aku diam. Tubuhku menjadi kaku seketika. Ya Tuhan, aku tak percaya yang terjadi barusan. Sandeul menyukaiku? Bukan, lebih tepatnya ia menyatakan perasaannya padaku.
“Apa yang kau katakan tadi?” kataku ragu.
“Aku haus.” Kata Sandeul lalu menuangkan air dari pitcher ke gelasnya. Lalu meminumnya.
“Sandeul-ssi..”
“Makanlah. Nanti keburu dingin.” Ucap Sandeul lalu makan. Aku hanya menelan ludah. Aku lalu lanjut memakan spaghetti-ku.
&&&&&
Sandeul mengantarku pulang. Selama di jalan. Aku tak banyak bicara. Paling-paling hanya menjawab ketika Sandeul bertanya. Masih shock dengan apa yang dikatakannya tadi. Kami lalu sampai di rumahku. Aku turun dari mobil Sandeul.
“Gomawoyo.” Ucapku sambil membungkuk.
“Eum, jamkkanman!” seru Sandeul. Aku menoleh padanya. “Hm?”
“Ulat bulu di bahumu.”
“EOMMAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA~!” aku berteriak keras sekali sambil menutup mataku. Aku tak berani melihat ke arah bahuku. Mendengar Sandeul mengatakannya sudah membuat bulukudukku berdiri.
“Sudah tak ada.” Ucap Sandeul. Aku perlahan membuka mataku. Memang tidak ada di bahuku, tapi di depan mataku. Sandeul mengambilnya menggunakan ranting yang sudah patah.
“Buang! Ppalli!!!” jeritku.
“Iya iya.” Kata Sandeul lalu ia membuangnya ke tempat sampah. Aku menghela nafas. Tubuhku benar-benar lemas. Sekarang aku sudah berkeringat dingin hanya karena makhluk menjijikan itu. Aku hampir pingsan, tapi Sandeul memegang bahuku untuk menahanku yang hampir jatuh.
“Gwaenchanhayo?” Tanya Sandeul. Aku mengangguk. Sandeul menggenggam tanganku. Aku mengadah menatapnya.
                “Ryuri-ah..”
                “Ne?”
“Aku pulang dulu ya.” Kata Sandeul. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
“Ne, gomawoyo. Hati-hati.” Ucapku. Sandeul tersenyum lalu masuk ke mobilnya. Ia lalu melaju dan tak lama kemudian, mobilnya tak terlihat lagi. Aku lalu berjalan masuk ke rumah. Jamkkan. Ada yang memperhatikankku. Oh tidak, ku rasa memperhatikan kami dari kejauhan. Aku pat-cepat menghampiri namja yang sedang bersiap-siap pergi dengan motornya.
“Minan! Kau…”
“Mwo?” Tanya Minhwan memotong perkataanku. Aku diam membisu.
“Kau melihatnya tadi…”
“Melihat apa?” tanyanya lagi. Aku tertunduk. Apa yang harus ku katakan sekarang?
“Ne, aku melihatnya. Aku melihat kau pergi dengan namja itu, berpegangan tangan, dan kau menyukainya. Geureotjyo?” ucapnya panjang lebar.
“Aa.. aniyo. Sandeul dan aku hanya teman. Jeongmal.” Ucapku sambil membentuk huruf V pada jariku.
“Jinjja? Lalu kau dan dia darimana? Ngapain?” Tanya Minhwan seperti sedang menginterogasiku. Apa yang harus aku jawab. Aku harus menjawab aku dari rumah Sandeul dan makan bersama, begitu?
“Aku… aku… Minan, kau marah padaku?” aku balik bertanya padanya. Minhwan menap mataku dalam.
“Aniyo. Aku hanya tidak suka kalau hal ini adalah kenyataan.” Kata Minhwan. ia lalu menyalakan mesin motornya lalu melaju pergi. Aku memandanginya dari kejauhan. Aku tau aku telah mengecewakanmu tapi apa aku salah, Minan? Aku bukan yeojachingu-mu.
&&&&&
Aku mengusap-usap mataku. Aku baru bangun tidur. Setelah pulang sekolah aku langsung tidur. Mungkin karena aku kelelahan. Langit sudah gelap. Malam hampir tiba. Aku segera mandi. Tubuhku terasa lebih segar setelah mandi. Lalu aku berpakaian.
                Tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat nama yang tertera di ponselku. Lee-harabeoji? Untuk apa ia menelepenku sore-sore begini? Aku lalu menjawab panggilan itu. ”Ye, harabeoji. Mworago?”
                ”Ah, Choi…”
                ”Ryuri.” Lanjutku.
”Ne. Apa sekarang Sandeul bersamamu?” Tanya Lee-harabeoji.
                ”Sandeul? Dia tidak bersamaku. Apa dia belum pulang?” aku balik bertanya.
                ”Biasanya saat petang dia sudah tiba di rumah. Sandeul tidak memberiku kabar aku pikir dia bersamamu. Ya sudah kalau begitu. Gamsahamnida.” Kata Lee-harabeoji. Aku lalu menutup telepon. Kemana Sandeul? Dia bukan orang yang suka keluyuran. Dan apa dengannya?
                Tok Tok tok. Eomma mengetuk pintu kamarku lalu masuk ke kamarku. Ia menggenggam telepon. “Ryu, kau tau dimana Minhwan?” Tanya Eomma.
“Mwo? Minhwan? Memangnya kemana dia?” tanyaku heran.
“Eomma Minhwan menelepon, katanya dari pulang sekolah ia belum pulang juga. Geurae, Eomma pikir kau tau dimana dia.” Kata Eomma sambil menutup pintu kamarku. Minhwan kemana? Di saat yang sama, Sandeul juga belum pulang. Ada apa dengan mereka sebenarnya?
Aku bergegas ke garasi rumah dan mengambil sepedaku. Aku lalu mengayuhnya sambil berpikir. Sandeul dan Minhwan belum pulang di saat yang bersamaan. Pasti ada sesuatu yang terjadi yang melibatkan mereka berdua. Tapi apa? Dimana mereka sekarang? Di tempat di mana aku bisa menemui mereka berdua. Arah jalan menuju Sunyeodo Park. Benar. Aku lalu menuju ke sana.
Aku menyusuri sekitar Sunyeodo Park. Aku belum juga menemukan mereka. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku melewati gang sempit yang jarang aku lewati dengan terpaksa, karena jalan yang biasa ku lewati sedang dalam perbaikan.
BRAK! Suara gaduh mengejutkanku. Siapa yang menyebabkannya? Aku mencari sumber suara tersebut. Suara itu berasal dari sebuah gang yang cukup lebar. Aku mengintip dari sisi dinding tersebut. Aku membulatkan mataku melihat hal yang terjadi di hadapanku. Sandeul tergeletak lemas tak berdaya. Wajahnya penuh memar dan luka. Minhwan berdiri di hadapannya. Sandeul menoleh ke arahku. Minhwan yang menyadari keberadaanku nampak terkejut. Apa Minhwan yang membuat Sandeul seperti ini?

To be continued...