Laman

Jumat, 17 April 2015

FF: Sunshine Calling For You (gua ga yakin sih ini judulnya)

Title : Sunshine Calling For You
Genre : Romance, Fluff, Absurd (?)
Rate : PG-15
Cast :
Ciera Lee (OC) as Ciera Lee
EXO Baekhyun as Byun Baek Hyun
EXO Kai as Kim Jong In
Disclaimer : © haraya929
Note :
Sangat disarankan untuk tidak dibaca. Wasting time you know, wkwk

***
            Baekhyun berlarian di koridor, membuat orang-orang yang berada di sekitarnya menoleh sebentar, seakan terpana dengan makhluk berkecepatan turbo itu. Kedua kakinya yang kecil dan lincah mampu menghindar dari kejaran kaki jenjang milik Chanyeol. Baekhyun dan Chanyeol, meski sudah berada di sekolah tinggi menengah, sikap mereka yang kekanakan –atau tidak tau malu, tepatnya- tetap seperti itu. Yah, kau bisa lihat sendiri, bagaimana mereka berlari hampir mengelilingi seluruh sekolah, seperti Tom yang bodoh mengejar Jerry yang cerdik –kau tau yang mana Tom dan yang mana Jerry, kan?
Baekhyun masuk ke dalam perpustakaan. Paling tidak ia bisa bersembunyi dari Chanyeol di sini. Ia masuk lebih dalam lagi. Sudah lama sekali ia tidak pergi ke perpustakaan. Atau bahkan belum pernah. Entahlah, ia tak ingat. Atmosfir yang dirasakannya berbeda, sunyi dan sepi. Hanya ada suara gesekan kertas halaman yang dibalik, atau suara buku yang baru saja diambil dari rak. Baekhyun tak habis pikir, hal-hal sekecil itu dapat didengarnya. Dan siswa-siswa yang serius meratap buku, tanpa suara. Seperti manusia yang habis cuci otak sehingga tak tau bagaimana berbahasa. Tempat ini tidak biasa. Angker. Menyeramkan. Hiyy, Baekhyun bergidik.
Lelaki itu menelusuri rak buku, terpesona memandangi buku-buku yang berjajar rapi. Siapa yang berhasil menyusun buku-buku yang tertata seperti ini? Apa ia sudah tidak punya pekerjaan lain sehingga rela membuat buku-buku ini berbaris indah bak tentara?
Langkahnya terhenti ketika ia sampai pada sudut rak. Hampir saja ia menabrak wujud suatu makhluk di hadapannya.
Sesuatu dengan bola mata seindah itu. Intens, tepat menatap kedua mata baekhyun. Bola mata coklat yang terpantul hangat sinar matahari yang masuk dari celah jendela. Membuatnya terlihat seperti karamel yang baru masak. Terlihat menggoda untuk dicicipi, ia yakin betapa manisnya jika caramel itu bisa menyentuh ujung lidahnya. Oh Tuhan, Siapa yang memiliki bola mata seindah itu?
“Maaf, kau menghalangi jalanku.”
Makhuk itu hanyalah seorang gadis. Suaranya menyadarkan Baekhyun dari lezatnya karamel itu. Bangun Baekhyun, bangun! Apa yang baru saja kau pikirkan, uh? Kau mengigau?
“Oh, ya. Maafkan aku,” Baekhyun membungkukan badannya. Dengan cepat ia memberi jalan pada gadis itu. Gadis itu kemudian berjalan melewati Baekhyun dengan sebuah buku di tangannya, tanpa ekspresi, tanpa reaksi.
Baekhyun memandangi punggung gadis itu. Bergumam dalam hatinya, sejak kapan di sekolahnya memiliki siswi seperti dia? Apakah dia keturunan Venus atau apa? Demi Tuhan, Baekhyun ingin lebih mengenal siapa sebenarnya gadis bermata lezat itu.
Tiba-tiba jari-jari besar menghinggapi pinggangnya, lalu menjalar ke perutnya. Sesosok tubuh tinggi besar menciptakan bayangan mengerikan di hadapannya. Kemudian ia berbisik, “Baekhyun, kena kau.”
Astaga! Chanyeol!
“Chanyeor-a, andwae!” belum sempat Baekhyun mengelak, Chanyeol sudah lebih dulu menangkap Baekhyun dan menggelitik perutnya.
Baekhyun tertawa sambil menggeliat geli. Tawanya disertai jeritan yang membuat ruangan menjadi riuh seketika. Chanyeol ikut tertawa merasakan kemenangannya. Sampai akhirnya Chanyeol berhenti menggelitiki Baekhyun. Baekhyun masih tertawa lalu mengikuti arah pandang Chanyeol yang sudah seperti orang kehabisan akal.
Seorang lelaki paruh baya berkacamata tebal berdiri di hadapan mereka berdua. Tatapannya terlihat santai namun seakan menusuk. Penjaga perpustakaan, tak salah lagi. Chanyeol dan Baekhyun memandang sekeliling. Semua penghuni perpustakaan menatap mereka berdua dengan tatapan akan-ku-potong-mulutmu-jika-kau-ribut-lagi.
“Keluar, atau ku laporkan kalian,” ucap sang penjaga perpustakaan. Merka berdua hanya membungkuk dalam diam lalu segera berjalan pergi ke luar. Para penghuni perpustakaan masih mengawasi mereka sampai keluar ruang, kemudian kembali membaca. Kutu buku itu memang terlihat baik ketika membaca, namun ternyata mereka lebih menyeramkan dari yang kau pikirkan.
Tempat ini memang terkutuk.
*****
“Kau suka padanya.”
“Tidak.”
“Aku tidak bertanya.”
“Lantas apa?” Baekhyun menoleh pada Chanyeol yang baru saja meneguk sodanya.
“Kau tau siapa dia?” tanya Chanyeol. Baekhyun memandangi gadis itu kemudian menggeleng, “tidak.”
“Kau ingin tau?”
Kali ini Baekhyun menoleh pada Chanyeol antusias, “memangnya kau tau?”
Chanyeol menggerakan tangannya, tampak seperti menyuruh Baekhyun mendekat. Ia pun mendekat, dan Chanyeol berbisik di telinga Baekhyun. “Tanya sendiri.”
Sialan kau, Chanyeol. “Ku bunuh kau.”
“Jangan, nanti kau tidak punya teman,” balas Chanyeol. Baekhyun menghela nafas, baru kali ini ia dibodohi Chanyeol. Padahal Chanyeol sudah sangat bodoh.
“Hey, aku tidak bercanda. Kalau kau ingin tau siapa dia, ya kau tanyakan saja padanya. Kau laki-laki, kan?”
Baekhyun terdiam, mencerna kata-kata Chanyeol. Lelaki itu memang besar omongan, dia belum tau bagaimana rasanya berada di posisi Baekhyun  sekarang. Berani taruhan, Chanyeol tak akan berani melakukan apa yang baru saja dia katakan.
Tapi bagaimanapun Chanyeol tidak salah. Kata-katanya benar.
Baekhyun memandanginya terus. Gadis itu masih pada tempatnya –kursi taman, di bawah pohon. Ia membaca buku dengan santai, terlihat lebih enak dilihat dibanding dengan para penghuni perpustakaan tadi. Dia terlihat seperti tokoh di dalam komik, siluetnya seperti sudah diatur sekeren mungkin oleh sang komikus.
Bangkit, Baekhyun. Berdirilah, hampiri dia. Apa yang kau takutkan? Kau tidak phobia dengan gadis cantik kan? Tunggu, tadi aku bilang apa?
Baekhyun berdiri. Ya, ia sudah berdiri. Lalu apa?
Ia melangkahkan kaki kanannya. Kemudian kaki kirinya. Kemudian kaki kanannya lagi. Pelan-pelan, sangat pelan. Baekhyun seakan ingin memukul pantatnya sendiri, seperti memukul pantat kuda. Setidaknya agar ia bisa berjalan dengan cepat seperti kuda, bukan seperti siput begini. Baiklah, lupakan tentang 'kaki turbo' Baekhyun. Sekarang julukan itu tampak tak berguna.
Tiba-tiba Chanyeol mendorong punggung Baekhyun. Baekhyun tersentak dan tanpa sadar ia terdorong sampai ke hadapan gadis itu. Oh, Baekhyun sudah sampai!
Gadis itu mengalihkan pandangannya dari buku yang di bacanya. Menatap bingung wajah Baekhyun yang sekarang membatu. Bertanya dalam hati, siapa laki-laki absurd ini.
“Erh.. Hai?” ucap Baekhyun spontan. Aduh, Baekhyun, nadamu kaku sekali!
“Hai?” balas gadis itu.
Dia membalasnya. Bagus. Bicara lagi, Baek! Ayo, kau pasti bisa!
“Kau sedang apa?” tanya Baekhyun. Bukan itu yang ingin ditanyakan. Kau ingin bertanya.. apa.. kau ingin bertanya apa tadi, Baek? Tanya apa.. Tanya apa..
“Kau tau aku sedang apa,” kata gadis itu. Singkat. Padat. Jelas. Memukul. Mengetuk hati Baekhyun hingga hampir saja hancur. Prang.
“Oh, ya.. aku tau..” Baekhyun menunduk. Merasa dirinya sudah gagal meski di awal. Baek, sebaiknya kau mundur saja..
“Aku Ciera Lee,” ucap gadis itu kemudian.
Nah! Itu dia! Namanya Ciera Lee, Baek! Ciera! Namanya Ciera! Itu yang tadi ingin kau tanyakan kan? Ya ampun, kenapa bisa sampai lupa..
“Ah, ehm.. Aku Baekhyun..” kata Baekhyun. Gadis itu menjulurkan tangannya pada Baekhyun. Baekhyun diam, hampir saja ia tak berkutik sama sekali. Kemudian Baekhyun menyambut tangan hangat itu –atau tangan Baekhyun yang dingin? Entahlah. Menjabat tangan gadis itu, kemudian ia tersenyum.
Jantung Baekhyun seakan berdetak indah. Sesuai irama, seperti sebuah lagu yang memiliki birama 4/4. Tidak terlalu cepat, tidak juga lambat, namun berdetak pasti. Seperti itulah saat ia bisa melihat senyum seindah itu. Dan menjabat tangan Ciera.
Sekali lagi, ia dapat menatap mata caramel yang manis itu. Dan wajah seakan boneka asal Inggris yang terkenal itu. Ciera Lee.

***

"Neo taeme, neo taeme michyeo na wo oh oh.."
Musik video Expectation milik Girl's Day terputar di layar ponsel milik Junho. Teman-temannya mengerubung di sekelilingnya, sehingga dapat menonton bersama sama. Jam istirahat yang masih kosong dihabiskan mereka dengan acara 'menonton bersama'.
"JUNG-SEONSAENGNIM DATANG!"
Junho dan kawan-kawan tersentak,  mereka buru-buru duduk ke kursi masing-masing. Sementara Junho panik dan mematikan ponselnya segera, sebelum guru 'kesayangan'nya mengetahui perbuatan mereka.
Seketika kelas hening. Semua sudah duduk rapi. Hening untuk beberapa saat kemudian. Dan Jung-seonsaengnim tidak juga datang. Kemudian hanya suara tawa Jongin yang terdengar, memecah keheningan kelas.
"Sialan kau Jongin!" Seru Doojoon. Kelas yang semula tegang, kini menjadi cair kembali dan menyoraki Jongin. Seisi kelas menghela nafas, lemas mengetahui mereka semua dikelabui Jongin.
"Kena, kan?" Ucap Jongin santai selagi masih tertawa.
"Dasar Hitam!" Seru Dongwoo. Membuat semua kelas ikut menyoraki Jongin. Jongin hanya tertawa puas.
Seseorang berdiri di ambang pintu. Antara ragu untuk masuk atau tidak ke dalam kelas. Jongin menemukan sosoknya disana. Kemudian mereka saling berpandangan. Mengisyaratkan Jongin untuk menemuinya secara langsung.
Jongin berdiri dan menghampiri anak lelaki yang lebih mungil darinya, "ingin menemuiku?"
Anak lelaki itu, Baekhyun, ia mengangguk.
"Ada perlu apa?" Tanya Jongin. Baekhyun, tumben sekali menghampiri Jongin di saat begini. Yah, Jongin tidak terlalu mengenal Baekhyun. Seingatnya, tim Jongin pernah dikalahkan tim Baekhyun saat turnamen sepak bola sekolah. Meski itu pun sama sekali tidak mengurangi pesonanya. Haha.
"Bisa kita bicara berdua?" kata Baekhyun. Jongin mengernyitkan dahinya. Eh? Bocah ini tidak akan menyatakan cinta padanya kan?
"Berdua? Kau ingin menyatakan cinta padaku?" Tanya Jongin to the point. Daripada ia harus menerima resiko atas Baekhyun mengajaknya ke tempat yang sepi berdua dan tiba-tiba menciumnya begitu saja. Mimpi buruk.
"Tentu saja tidak!" Bantah Baekhyun. "Aku tidak seperti itu!"
Syukurlah. Jongin menghela nafas.
"Lalu apa?"
"Ada sesuatu yang penting," ucap Baekhyun.
Baekhyun belum pernah mendadak seperti ini. Meminta berdua untuk membicarakan sesuatu yang penting. Berarti sesuatu yang ‘benar-benar penting'.
*****
"Jadi, apa?" Tanya Jongin. Baekhyun celingukan, sibuk memperhatikan sekeliling. Setelah memastikan keadaan, Baekhyun menoleh pada Jongin.
"Aku jatuh cinta."
"MWO?!!" Jongin berseru. Apa-apaan ini? Jangan bilang dugaannya benar. Jangan bilang Baekhyun benar-benar ingin menyatakan cinta padanya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan selanjutnya. Bisa saja Jongin menolak Baekhyun, kemudian Baekhyun menjadi sasaeng fans-nya. Mengikuti Jongin kemanapun ia pergi. Atau Jongin menerima Baekhyun, lalu menjadi sepasang kekasih.. Hiyy.
"Psssttt.. Bukan dengan kau!!" Kata Baekhyun setengah berbisik.
"Lalu?" Jongin hampir geram dengan ketidakpastian Baekhyun. /tsahh/
"Dengan dia," Baekhyun menunjuk seseorang di tengah keramaian. Yang meskipun tubuhnya terhalang oleh beberapa siswa yang berlalu-lalang, dirinya tetap menjadi fokus Baekhyun.
Jongin diam sesaat. Merasakan semilir angin meniup rambutnya, menggelitik permukaan wajahnya. Ada sihir yang datang menghipnotisnya.
"Jongin," panggil Baekhyun.
"Ya."
"Aku butuh bantuanmu."
"Tapi aku jarang membantu."
"Aku jatuh cinta pada gadis ini," Baekhyun melanjutkan kalimatnya, mengabaikan jawaban Jongin barusan.
"Lalu apa urusanku?" Tanya Jongin sambil mengernyitkan dahinya.
"Aku belum pernah menyukai seseorang seperti ini."
"Norak sekali."
"Aku serius. Aku tidak dapat berpikir jernih ketika berada di dekatnya."
"Mungkin kau terlalu sering bergaul dengan Chanyeol," ucap Jongin sekenanya.
"Tidak.. bukan Chanyeol," Baekhyun merengut, Jongin tidak serius. Atau Baekhyun terlihat tidak sungguh-sungguh?
"Aku butuh bantuanmu," pinta Baekhyun.
Jongin mengernyit, "kenapa aku?"
"Kau Rajanya wanita, kau tau itu."
Mendengar kata-kata itu, Jongin tak bisa menahan tawanya. Entah apa yang ada di pikiran Baekhyun, tapi Raja-Wanita terdengar seperti julukan yang sudah lama Jongin raih, layaknya Jongin sudah setingkat dengan Einstein, semacam raja-matematika atau apalah namanya yang terkesan fantastis. Tapi ini raja-wanita. Bayangkan saja.
Ia memang mengakui dirinya mempesona, dan Baekhyun membuatnya merasa bangga.
"Lalu?"
"Kau tau bagaimana mendekati wanita. Buat aku mendekatinya."
"Dia?" Tunjuk jongin, "aku belum pernah melihatnya. Siswi pindahan?"
"Ya. Ciera, namanya Ciera."

===============================================================

Dah. Selesai. Anggap aja udah tamat wkwk.

Sabtu, 06 Desember 2014

[FICLET] When Autumn Comes (가을에)


This happen because I miss someone, and then listening to Roy Kim's When Autumn Comes bring me to this fairytale, haha. Nah, happy reading.

========================================================================

© Aisyia Zahra, Nov 2014

Backsound active : 로이킴 (Roy Kim) - 가을에 (When Autumn Comes)

My dream is very small, it’s just to sit with you. - Roy Kim

Ini seperti perjalanan pada masa lalu. Angin berembus, menunjukkan kehadirannya berdasarkan suara ranting pohon yang saling bercengkrama, menciptakan instrumen alam yang tak lagi asing. Udara semakin dingin mencapai penghujung November. Meski begitu, matahari masih bertoleransi untuk memancarkan kehangatannya. Rasanya sudah sejak lama sekali aku tak melakukan kegiatan seperti ini –berjalan santai di antara barisan pohon yang tengah meranggas.

Ada kalanya aku butuh saat seperti ini, dimana aku mendedikasikan waktu untukku sendiri. Dimana aku mengakui bahwa kebahagiaan terasa sangat sederhana; mendapati sekelilingku seakan tersenyum, dan semua yang akan terjadi baik-baik saja.
Aku menghentikan langkahku. Menyadari bahwa kini keajaiban sedang menguasaiku. Irasionalnya, seorang Peri Pelindung berada di sekitar sini, mengabulkan satu keinginan yang tersimpan dalam pikiran terdalamku, dalam hati kecilku. Mengundang nyata sebuah nama yang masih melekat erat dalam ingatanku.

Aku dalam mimpi. Oh bukan, Tuhan telah mewujudkannya.

Ia berdiri di sana, beberapa depa dariku. Aku mengenal betul pemilik postur tinggi tegap dengan wajah kemerahan itu. Penampilannya masih sama, hanya saja ia terlihat lebih segar dari sebelumnya. Mungkin dia hidup bahagia tahun belakangan ini.  Atau mungkin aku saja yang terlalu merindukannya?

Dia melangkah maju, seiring denganku. Kini aku memandang wajahnya dekat. Untuk pertama kalinya dalam empat tahun terakhir, aku menatap kedua mata itu lagi. Juga memandangi setiap inchi wajahnya, meneliti apakah ini benar-benar dia yang itu. Karena bahkan sampai saat ini aku masih tidak percaya. Detik ini, aku menatap kedua bola mata itu lagi. Warnanya masih sama; tenang, sendu. Pemuda itu mengedipkan matanya perlahan, kemudian tersenyum ramah. Menyadarkan lamunanku dan memintaku berhenti menerka lagi. Memberikan kesimpulan dengan jelas, 'ini aku'.

"Hara.." Dia memanggil. Suara berat khasnya terdengar seperti alunan musik jazz yang dimainkan secara live. Bereaksi langsung ke dalam aliran darahku menjadi lebih cepat, menginstruksikan jantungku untuk bekerja lebih sigap, berdesir hangat dalam dadaku, perutku, tubuhku.

"Eden." Begitu aku memanggilnya. Namanya Jaedyn, Jaedyn Carlos. Aku memanggilnya Eden karena dia lebih terlihat sebagai bagian dari surga duniaku. Sebagai anugerah yang Tuhan ciptakan untuk mengisi hidupku.
Senyumnya melebar ketika namanya ku panggil. Kemudian ia memperhatikanku sekilas. Dengan dahi mengernyit, ia berkata, "kau.. Kau terlihat lebih tinggi."

Aku tertawa. Eden terkekeh melihatku. Untuk perwujudan rasa bahagia yang meluap-luap dalam diriku. Aku terlalu bahagia sampai tak cukup jika hanya tersenyum, maka aku tertawa. Tinggi kami memang memiliki perbedaan cukup jauh. Eden memiliki tubuh dengan standar seorang model yang sangat baik, sedangkan aku memiliki tubuh berukuran benar-benar standar. Ya, standar dalam artian sebenarnya. Maka jika kami berjalan berdampinngan, kami lebih terlihat seperti seorang kakak yang menjemput adiknya. Namun Eden tak pernah mempermasalahkan itu, ia berjalan denganku tanpa merasa canggung, terlihat sebagaimana ia berjalan. Ia tak mengindahkan pandangan orang lain. Eden sungguh luar biasa.

Tawaku berhenti. Aku memandanginya, makhluk yang sangat aku rindukan. Ada sebuah permintaan yang mengganjal di hatiku. Aku sungguh ingin memeluknya. Mencicipi sedikit aroma tubuhnya. Ah! Sial. Apa yang ku pikirkan? Aku tak bisa melakukannya. Hanya tak bisa.

"I've missed you."

Pada akhirnya hanya sebaris kata yang terucap. Eden tersenyum, seakan memahami yang bahkan tak bisa ku pahami saat ini. Ia melebarkan tangannya, mempersembahkan sambutan 'selamat berjumpa kembali' tanpa ku minta.

Aku memeluknya. Eden membalas pelukanku tanpa ragu. Tanganku melingkari lehernya. Layaknya anak usia 5 tahun yang mendapatkan boneka beruang baru, aku tak mau melepaskannya. Aku tak mau kehilangannya untuk yang kedua kalinya.

Menetaplah, Eden. Aku sungguh merindukanmu.

The End?
========================================================================

Note :
Tadinya saya ingin menjadikan ini FF berchapter panjang. Tapi berhubung tugas-tugas dan ujian udah pada ngantri, ditambah saya bingung ngelanjutin alur ceritanya kaya gimana, saya men-delay niatan itu hehe.
Dan berdasarkan penulisan ini, saya menimpulkan bahwa "diksi itu susah" kawan. Diksi di cerita ini juga masih amburadul, sedih dah, wkwkw.
Yang jelas saya mau nulis aja sekadar iseng. Makasih yang beneran buka link ini terus baca sampe cuap-cuap dari saya, kamu udah merelakan waktu kamu yang berharga baca tulisan ginian. You're such an angel :') kkkkkkk

Oh ya, by the way, this is Jaedyn Carlos. He's mine, kkkk :p


Sabtu, 15 Maret 2014

FF: Do You Love Me? [Part 2]



Title : Do You Love Me?
Genre : Romance, Married Life
Length : x shoot
Rate : PG-17
Cast :
Kim Jang Li as Kim Jang Li
EXO Tao as Huang Zi Tao
EXO Chanyeol as Park Chan Yeol

Note : This Fan Fiction originally mine. RCL for my pleasure, please~ Thank you and Happy reading :)

===================================================================

“Aku sayang kamu. Jadi bagaimana bisa aku melihatmu terluka?”

Sebuah mobil sedan berwarna hitam parkir sembarangan di pinggir jalan. Pemiliknya, seorang pria muda, bersandar diri di pintu mobilnya. Tak sabar menunggu seseorang yang penting baginya.

"HA!!" Seru seorang wanita. Wanita itu baru saja mencoba mengejutkan Chanyeol dengan menepuk bahunya dan berteriak seperti tadi. Chanyeol sudah mengetahui sifat Jangli yang masih suka main-main, meski sudah menikah sekalipun. Chanyeol hanya terkekeh menghadapi wanita itu. Jangli cemberut.

"Kau tidak terkejut," ucapnya kecewa.

Chanyeol tertawa, "aku sudah tau."

"Harusnya kau pura-pura terkejut saja," protes Jangli. Chanyeol menepuk kepala Jangli pelan.

"Apa kau benar-benar sudah kepala dua?" Tanya Chanyeol.

Jangli tersenyum, "apa aku terlihat lebih muda?"

"Hmm, tidak juga," canda Chanyeol.

"Yaa!" seru Jangli. Kemudian mereka tertawa. "Jadi, kita mau kemana?"

"Kemana saja yang kita mau."

*****

Hening. Paling tidak, ada suara tv menyala, atau suara sumbang Jangli yang sedang bernyanyi sambil mengenakan earphone. Tao mencoba memastikan hal itu. Menelusuri setiap ruang. Hasilnya nihil. Tidak ada siapa pun dirumah.

Tao menemukan ponselnya tergeletak di meja. Sehabis menelepon, ia memang meninggalkannya di sana. Ia mengecek ponselnya, takut ada panggilan penting. Untungnya tidak ada, tidak ada masalah.

Lalu kemana Jangli?

Mungkin ia keluar sebentar, mungkin ke supermarket atau semacamnya, pikir Tao. Pemuda itu mencoba berpikir positif saja. Kemudian ia sesegera mungkin kembali ke kantornya.

Tao melintasi jalan raya dengan mobilnya. Perlahan namun pasti, sambil sesekali menoleh ke kaca jendela.

Tunggu.

Ia mengenali sosok itu. Seorang wanita di sudut jalan. Ia mengenali betul. Struktur pakaiannya. Postur tubuhnya. Wajahnya.

Tao menghentikan laju mobilnya. Memperhatikan wanita itu dengan seksama, memastikan bahwa itu hanyalah kebetulan belaka. Tidak, bukan kebetulan. Itu Jangli. Benar. Tapi... dengan siapa?

*****

Beberapa jam terakhir dihabiskan mereka berdua, jalan-jalan mengelilingi Myeongdong meski tak membeli banyak hal. Hanya dihabiskan untuk berfoto-foto ria, karena tak ada hal yang lebih murah meriah dari itu. Setidaknya mereka sempat makan siang bersama. Juga menemani Jangli berbelanja ke supermarket sebentar. Dan akhirnya mereka sampai pada saat ini, menikmati sunset di tepi sungai Han. Kedua pasangan muda itu duduk di atas bagasi mobil, saling bersandar. Keduanya menggenggam segelas coklat panas sambil sesekali disesap. Saat-saat yang sempurna untuk dilewati bersama dengan ‘kekasih’.

Jangli menyesap lagi coklat panasnya yang kian menghangat, kemudian ia menengadahkan kepalanya kepada seorang bertubuh tinggi besar disampingnya. Sinar matahari yang semakin samar menerpa wajah Chanyeol, menciptakan siluet yang indah.

Chanyeol menyadari sikap itu, lalu ia menoleh, membalas tatapan Jangli. Menatap kedua mata bulat kesepian itu, “kenapa? apa aku terlalu tampan?”

Raut wajah Jangli berubah mengerut, “aish, memangnya kau siapa?”

"Park~ Chanyeol!" ucap Chanyeol dengan nada yang dibuat terkesan imut, meski gagal.

Jangli tertawa, "apa-apaan kau ini.."

Jangli mengatur nafas, menstabilkannya ke semula. "Chanyeol-ssi."

"Ya?"

"Apa kau menyukaiku?" tanya Jangli.

"Yap. Neomu joha (sangat suka)."

"Kenapa?"

Chanyeol diam, tampak berpikir sejenak. "Karena kau wanita yang banyak makan. Lalu kau makan seperti bayi. Kadang terburu-buru, kadang lama sekali, lalu berantakan."

Jangli mengernyitkan dahi, "huh? Jawaban macam apa itu."

"Heheh, memang benar kan?" goda Chanyeol lagi. Tatapan Jangli lurus ke depan. Agak kesal, tapi Chanyeol memang benar.

"Tidak, tidak. Aku suka kau karena kau manis sekali," ucap Chanyeol. Laki-laki itu mulai lagi.

Jangli hampir terbiasa dengan rayuan itu. Chanyeol memujinya seakan Jangli seberharga itu. Membuat dirinya seakan berarti di mata orang lain. Meskipun hatinya selalu memberi peringatan, tapi siapa wanita yang bisa menolak pujian seperti itu?

"Yeol-ssi.." panggil Jangli lembut.

"Hmm?" Chanyeol menyesap kopi hangatnya.

"Terima kasih."

"Ya, sama-sama," ucapnya sambil tersenyum lebar. Kemudian senyumnya redup dan menoleh, "untuk apa?"

"Menemaniku selama ini," ucap Jangli.

Chanyeol diam. Memandangi wajah Jangli yang sedang tersenyum. Entah apa maksud senyum itu. Chanyeol tau wanita itu. Ia bukannya ingin bersenang-senang tanpa sebab dengan Chanyeol. Tapi sekedar untuk mengobati luka di hati Jangli. Meskipun terlihat tegar, ia tidak seperti itu. Ia butuh lelaki di sampingnya.

Jangli hanya kesepian. Chanyeol tau. Betapa Jangi ingin direngkuh. Betapa Jangli merindukan seseorang yang kapanpun bisa memeluknya. Betapa Chanyeol ingin menjadi satu satunya orang itu.

Chanyeol lalu memeluk Jangli erat seperti takut kehilangan wanita itu. Dan ia benar-benar takut.

"Jangli-ya.." panggil Chanyeol. "Aku akan selalu ada untukmu."

Jangli terkejut, "Yeol.."

"Kapanpun kau membutuhkanku. Aku bersedia untukmu. Kau paham?"

Jangli tak mengerti, sikap Chanyeol mendadak serius seperti ini. Jantung Jangli berdetak tak karuan menghadapi situasi begini. Ia menarik nafas, menghirup aroma tubuh Chanyeol yang hangat. Rasanya tenang berada di samping pria ini. Ia lalu membalas pelukan itu.

"Seumur hidupku aku akan berterima kasih untuk itu," ucap Jangli.

Chanyeol menyentuh dagu Jangli, menengadahkan wajahnya. Membuat kedua mata mereka bertemu.

"Aku mencintaimu.." ungkap Chanyeol.

"Aku.."

Cinta? Jangli, hentikan permainan bodoh ini!

"Aku harus pulang. Maafkan aku.."

*****

Jangli melangkah masuk dengan santainya, mengetahui keadaan ruangnya masih sepi seperti biasanya. Jangli meletakkan sepatunya di rak. Sepatu putih mungilnya bersanding dengan sepatu hitan mengkilap. Ia baru tersadar akan hal ini. Oh gawat, Tao sudah pulang.

Oke, tenang, tarik nafas, lalu keluarkan. Tak akan ada hal buruk yang terjadi. Semuanya akan baik-baik saja.

Sekantung plastik yang tidak cukup besar dipeganginya erat-erat. Berisi bahan makanan yang tadi dibelinya di supermarket. Beruntung Chanyeol mengajaknya kesana, sehingga Jangli bisa memutar otak, mencari-cari alas an penyebabnya keluar apartemen.

Jangli memasuki ruang apartemennya, mencari sosok Tao berada. Kemudian terdengar suara samar dari arah dapur. Jangli menghampiri asal suara itu. Tao, dan teleponnya.

"Tenang saja, aku akan menyelesaikannya besok. Hari ini aku benar-benar tidak bisa. Ya, ya, kau tak perlu khawatir.."

Kemudian mata mereka bertemu. "Ya, sampai nanti." Tao menutup teleponnya.

Jangli baru saja akan mengembangkan senyumnya, menyambut suaminya itu. Namun Tao berbalik lebih dulu sebelum senyuman itu terwujud.

Tao menuju lemari es nya dan mengambil sebotol air, lalu meminumnya.

"Sudah pulang kau rupanya," Jangli tetap berusaha bersikap seperti biasa.

Tao acuh. Ia menutup pintu kulkas dan kemudian berjalan begitu saja di samping Jangli. Tanpa senyuman, lebih lebih sapaan. Jangli mengikuti arah pandangnya pada Tao. Ada apa dengan lelaki itu?

"Yeobo, kau sudah makan?" tanya Jangli. Mungkin Tao terlalu lelah untuk menghiraukan dirinya.

Tao diam beberapa saat. Kemudian ia bergumam tanpa tatap muka, "hmm."

"Mau kubuatkan teh hangat?" tawar Jangli. Tidak ada balasan.

Jangli mengernyitkan dahinya. Menyadari sikap Tao yang tak seperti biasanya. Berubah menjengkelkan tanpa sebab.

Jangli menghampiri Tao yang sibuk dengan ponselnya. Mungkin lebih terlihat seperti 'pura-pura sibuk'. Lalu ia bertanya, "kau kenapa?"

Tao diam saja. Ia meletakkan ponselnya di buffet, lalu pergi meninggalkan Jangli seakan Jangli seperti angin lalu. Apa-apaan sikapnya itu, Jangli cukup geram dibuatnya.

"Yeobo, jawab aku kau kenapa?" Jangli mencoba memegang bahu Tao, menghadapkan ke arahnya. Namun Tao menghindari sentuhan apapun Jangli. Dengan kasar.

"Aku kenapa? Kau yang kenapa," ucap Tao.

Wanita itu semakin tak mengerti. "Apa maksudmu? Apa kau lelah? Kau sakit?"

"Aku sehat."

"Ayolah, ceritakan padaku, apa yang terjadi? Ada masalah apa denganmu?"

"Bukan aku." Tao menatap Jangli intens. "Bukan aku masalahnya. Tapi kau."

"Aku? Yeobo.." sebelum kalimatnya selesai, Tao sudah menghindar. Jangli mengikuti langkah itu, mendahului Tao di hadapannya. "Jelaskan padaku. Apa yang salah denganku?"

"Kau.. Kau dari mana saja?"

Deg. Detak jantung Jangli seakan berhenti sesaat. Tenang, Jangli... Tenang…

"Dari supermarket, kenapa kau tanyakan itu?"

"Sejak kapan?"

"Sejak pukul 12pm. Kenapa.."

"Dengan siapa?"

Matilah. Habis sudah. Jangli menelan ludah pahit.

"Dengan siapa? Kau tidak mau jawab aku?"

"Aku pergi sendiri."

Bohong. Jangli gemetar. Tangannya mengepal keras.

Tao terus menatap Jangli. Tak ada yang bicara. Jangli tak berani angkat bicara, sampai Tao yang bicara.

"Ke supermarket. Dari jam 12 siang. Sendirian. Dan kau baru pulang dini hari. Apa saja yang kau lakukan?"

Tao memerasnya. Apa Tao sudah tau semuanya? Jangli panik, dirinya benar-benar kacau.

"Yeobo.."

"Jangan panggil aku seperti itu."

"Kau.."

"Jawab aku!"

Buntu. Jangli tak bisa jawab apa-apa.

Tiba-tiba Tao meraih tangan Jangli yang sedari tadi berusaha disembunyikan. Tangannya gemetar hebat.

Tatapan tajam Tao mulai surut. Sikapnya malah melemah. Sekarang kedua bola mata itu mulai berkaca-kaca.

"Aku tidak pernah menyangka, Jangli. Wanita sepertimu mencoba membohongiku."

Oh Tuhan, ini benar-benar kacau. Bohong katanya. Tao merasa dibohongi. Apa Tao sudah tau semua? Darimana ia tau? Lalu bagaimana menanyakan ini semua? Rasa ingintahu berkecamuk dalam pikiran Jangli.

"Bagaimana bisa kau bilang aku membohongimu?"

"Cukup! Jangan berlagak bodoh!" suara Tao meninggi, mengisi penuh keheningan ruang. "Aku sudah tau.."

Air mata itu. Sudah mulai menggenang di pelupuk mata Tao. Sebisa mungkin lelaki itu menahannya agar tidak jatuh. Tao berbalik, membelakangi Jangli. Entahlah, mungkin air mata itu sudah menetes, atau bahkan mengalir. Jangli tak tau. Yang jelas ia tau betul betapa Tao berusaha menutupi tangisannya itu. Ia tau betul betapa lelaki itu memiliki perasaan yang lembut dibalik wajah kasar dan dinginnya. Ia tau, seharusnya ia selalu mengingat itu. Sehingga ia tak perlu menyakitinya seperti ini.

Jangli menangis begitu saja. Ia tak pernah tau jadinya akan seperti ini. Bodoh, semua sudah terlambat. Semua dramanya sudah berakhir. Bahkan terlalu berat meski hanya untuk mengucap kata maaf.

Jangan marah padaku, Tao. Kumohon..



To be continued...

========================================================================

Argh! Aku ga punya ide gimana meng-cut cerita ini, jadi sampai di sini aja hehehe xD. Jadi, apa siapa yang akan Jangli pilih? Chanyeol atau Tao? Lalu bagaimana perasaan Chanyeol? Bagaimana perasaan Jangli? Bagaimana perasaan Tao? Bagaimana perasaan author? Bagaimana perasaan Jokowi? *lohsalah*

Author juga manusia yah, jadi mohon maap lahir batin (?) :'D

Senin, 17 Februari 2014

FF: Do You Love Me? [Part 1]



Title : Do You Love Me?
Genre : Romance, Married Life
Length : x shoot
Rate : PG-17
Cast :
Kim Jang Li as Kim Jang Li
EXO Tao as Huang Zi Tao
EXO Chanyeol as Park Chan Yeol

Note : This Fan Fiction pure mine. Ah, long time no write, very missed to do it again :)
RCL for my pleasure, please :)

===================================================================

"Apa kau mencintaiku? Apa kau mencintaiku seperti aku mencintaimu, sayang?"

- Do You Love Me, 2NE1

Jam 07.05, Jangli baru terbangun dari tidurnya. Biasanya ia selalu bangun lebih pagi dari ini, sekedar untuk membuat teh hangat atau sekaligus menyiapkan sarapan. Tapi tidak pagi ini. Entah mungkin karena dia terlalu pulas atau apa, yang jelas kepalanya menjadi terasa berat dari biasanya.

Jangli menolehkan kepalanya, memandang seseorang yang kini berada di sampingnya. Matanya masih terpejam, dan tangan kirinya masih melingkari Jangli, seakan-akan wanita itu adalah guling pribadinya. Jangli masih belum berubah dari posisinya. Takut nanti akan membangunkan lelaki disampingnya. Jadi ia memutuskan untuk belum beranjak, dan menatap langit-langit kamar. Mengingat tentang apa yang sudah dilakukannya. Tentang perbuatan konyolnya.

Semalam, ia tidur dengan Park Chanyeol. Orang di sampingnya ini.

Tak lama kemudian Chanyeol menggeliat, menunjukkan bahwa dirinya sebentar lagi akan bangun. Kemudian ia membuka matanya. Ia lalu tersenyum, menyadari bahwa wanita itu masih ada di sisinya sampai saat ini.

"Joheun achim," sapanya dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Ne, joheun achim," balas Jangli sambil tersenyum, meskipun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"Bagaimana tidurmu?" Tanya Chanyeol.

"Terlampau nyenyak," jawab Jangli asal tanggap. Membuat Chanyeol tertawa kecil.

"Bagus kan?" Chanyeol meyakinkan.

"Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik," ucap Jangli, mewakili rasa menyesal di hatinya.

"Kau kenapa?" Chanyeol mulai merasakan ketidaknyamanan wanita itu.

"Hanya menyesal," jawab Jangli jujur. Chanyeol tau apa yang dimaksudkannya. Kemudian ia memeluk lagi wanita itu mencium rambutnya.

"Semua sudah terjadi, tak usah disesali. Sampai sekarang, tak terjadi apa-apa, kan?" Ucap Chanyeol, berusaha menenangkan Jangli. "Semua akan baik-baik saja."

Jangli menyentuh bahu Chanyeol, membuat lelaki itu mempererat pelukannya. Jangli sungguh merasa aman ketika berada di dalamnya. Berada di dekapan Chanyeol.

"Aku mencintaimu," ucap Chanyeol. Jangli menarik nafas dalam-dalam, lalu menghelanya perlahan.

Apa yang harus kukatakan padamu, Chanyeol-ssi?

"Oh, Chanyeol. Aku harus pulang."

Chanyeol mengendus nafas. Bagaimanapun cara menghiburnya, Jangli tak bisa lebih baik. Ia tak mampu menghapuskan rasa bersalah Jangli.

"Baiklah, aku antar."

"Tidak perlu."

"Tidak apa-apa. Tidak akan sampai depan apartemenmu," tawar Chanyeol. Kemudian Jangli mengiyakannya.
*****

Jangli membuka pintu kamar apartemennya. Melongok masuk ke dalam. Sepi. Dan berantakan. Ia baru saja sampai di rumahnya setelah di antar Chanyeol. Dua hari kemarin, ia mengikuti seminar yang diadakan kantornya dan baru pulang hari ini. Sebenarnya tidak benar-benar hari ini, ia menginap dulu di rumah Chanyeol semalam.

Jangli melihat sepatu hitam dengan ukuran besar di rak sepatu. Tao sudah pulang, gumamnya.

Kemudian ia melongokkan kepalanya ke dalam kamar tidur. Sesosok pria dengan tubuh jenjangnya masih terbaring di atas ranjang. Jangli mendekatkan dirinya menatap pria itu lebih dekat. Ia masih mengenakan baju kantornya. Nampaknya, ia langsung tertidur sepulang kerja, tanpa mengganti baju atau membersihkan dirinya. Ingin rasanya Jangli menceburkannya ke dalam bak mandi sesegera mungkin.

Tapi biarkan saja ia beristirahat seperti ini dulu, tidur lebih lama lagi. Jangli bisa mengerti bagaimana lelaki ini harus meneruskan perjuangan ayahnya mengelola perusahaan. Tao adalah laki-laki satu-satunya dalam keluarganya. Mau tak mau, hanya dialah harapan agar perusahaan ayahnya tetap hidup.

Jangli menarik selimut, menyelimuti tubuh Tao, berusaha membuatnya sedikit lebih hangat. Karena bukan tak mungkin pagi di Korea lebih dingin dibandingkan kota asal kelahirannya, Qingdao, China.

Ia lalu menuju dapur. Menyalakan kompor, memasak air lalu menyeduh teh. Jangli membawa nampan berisi teko teh hangat ke ruang tengah. Belum sampai Jangli ke ruang tengah, Tao sudah ada di sana. Kemudian menyalakan televisi. Acara yang ditontonnya, acara kartun di Minggu Pagi, Spongebob Squarepants.

"Kau sudah bangun?" tanya Jangli sambil meletakkan nampan tersebut di atas meja.

“Hmm,” jawab Tao. Sesingkat itu. “Kau baru pulang?”

Jangli duduk di samping Tao. “Yah.”

“Bukankah seharusnya kau sudah sampai sejak kemarin?” tanya Tao lagi.

“Ya, ada sedikit penundaan jadi aku baru sampai tadi pagi.”

“Penundaan?”

“Ya, mobil yang kami tumpangi mogok.”

“Oh, ara,” kata Tao singkat. Tanpa tanya macam-macam, tanpa ada kecurigaan.

Jangli mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Bohong. Jangli bohong lagi. Sudah berapa kali ia melakukan ini.

"Yeobo.." belum sempat Jangli meneruskan kalimatnya, ponsel Tao berdering. Ada panggilan masuk. Kemudian Tao menjawab panggilan tersebut. Jangli jadi menghentikan niatnya berbicara.

"Yeoboseyo? Ya.." Tao kemudian beranjak dari duduknya, menuju ke jendela. Entah apa, yang jelas ia menjauhi Jangli. Mungkin takut pembicaraan pribadinya akan terdengar. Jangli menghembuskan nafas berat. Bukankah tidak apa-apa jika seorang istri mengetahui apa yang dikerjakan suaminya?

Ya, begitulah Tao. Dulu dia tak seperti ini. Semenjak perusahaan ayahnya jatuh ke tangannya, sikapnya jadi seperti itu. Sibuk. Tak punya banyak waktu luang. Bahkan mungkin tak peduli dengan apa yang dilakukan Jangli selama dia tak ada. Begitulah apa yang dikatakan Chanyeol.

Park Chanyeol. Orang yang berhasil membuat Jangli nyaman didekatnya. Orang yang selama ini ada ketika Jangli sendiri. Orang yang bersedia menjadi bahu ketika Jangli menangis. Orang yang berusaha masuk perlahan, mengisi kekosongan dalam hati Jangli.

Jangli menatap punggung Tao. Lelaki itu tampak serius berbicara sambil menghadap ke jendela. Samar-samar pembicarannya dapat terdengar Jangli. Kalimat standar pengusaha, “ya”, “baik”, “baiklah”. Terbukti bahwa Tao tidak melakukan hal macam-macam. Lelaki yang baik.

Sayangnya, laki-laki itu tak sepantasnya mendapatkan wanita buruk seperti dirinya. Menyia-nyiakan kebaikan dari orang semacam Tao. Tak tau terima kasih. Wanita nakal. Wanita jahat.

Kemudian ponsel Jangli bergetar. Ada pesan masuk. Jangli membaca nama yang tertera di ponselnya. Jangli sudah bisa menebak. Chanyeol-ssi.

Jangli membuka pesan tersebut.

"Kau sudah sampai rumah?"

Kemudian ia membalas, "sudah."

Chanyeol membalas lagi,

"Baguslah. Tao juga di sana?"

"Ya, dia sudah pulang."

Jangli baru akan menekan tombol kirim, tapi kemudian ia melanjutkan kalimatnya. “Kemungkinan akan pergi lagi.”

"Benarkah? Kabari aku jika itu benar, ok?"

Jangli mendesah membaca pesan itu. Ia tak tau harus membalas apa, jadi ia memutuskan mendiamkannya saja. Tao sudah selesai dengan teleponnya lalu ia segera menghampiri Jangli. Menyeruput teh hangat di hadapannya.

"Aku harus pergi," kata Tao. Nah, benar saja kan.

"Kemana?"

"Ada pertemuan mendadak."

"Benar-benar harus pergi?"

Tao terdiam. Kemudian ia menatap kedua mata Jangli. Dulu sorot mata itu terlihat berbinar, selalu saja membuat hatinya tenang. Tapi sekarang bukanlah dulu. Ia tau betapa wanita itu menginginkan sesuatu darinya. Menginginkan dirinya.

"Aku tidak akan lama," ucap Tao. Ia kemudian merangkul tubuh Jangli, mengecup keningnya.

"Tidak apa-apa kan?" tanyanya, Jangli lalu mengangguk. Tao tersenyum kemudian mengusap rambut istrinya.

"Aku tau kau akan baik-baik saja."

Tao kemudian beranjak. Menyegerakan dirinya mandi, bersiap-siap untuk pergi. Ia menatap ponselnya. Berulang membaca pesan terakhir yang dikirim Chanyeol. Dengan bodohnya, ia mengetik sesuatu.

“Aku benar. Dia pergi.”

Kemudian terkirim.

Tak lama untuk menunggu balasan. Malah terlalu cepat. Entah mungkin karena terlalu bersemangat.

"Mari bersenang-senang lagi!^_^"

Jangli menghela nafas. Ia menutup pesan tersebut dan memandangi layar ponselnya. Dua orang pasangan bahagia menghiasi wallpaper ponselnya. Foto itu sempat diprotes Chanyeol, dan ia meminta Jangli untuk mengubahnya. Tapi Jangli menolak, dan sampai sekarang foto itu yang masih terpasang.

Jangli menggumam, sampai kapan ia akan memasang foto itu? Maksudnya, apakah Tao tidak punya waktu untuk berfoto bersama lagi?

Atau mungkin memang tidak bisa bersama?

Entahlah. Keadaan jiwanya seketika menjadi buruk mengingat hal-hal tersebut. Jangli kembali mengecek pesan Chanyeol dan membalasnya.

“Baiklah~! Jadi, apa rencana kita? >.<”

Jangli tertawa dalam hati. Emoticon palsu.

"Tentu saja aku akan baik-baik saja, Huang Zi Tao.. Kau tidak tau.."

*****
Sehabis pertemuan, Tao disibukkan dengan berkas-berkas yang masih harus ditandatangani. Kantung matanya sudah tebal, menandakan matanya sudah cukup lelah. Namun, apa boleh buat, memperhatikan kantung mata hanyalah alasan konyol untuk menghindari pekerjaannya.

Suntuk, Tao merogoh saku blazer-nya. Kosong. Ia tak menemukan benda yang dicarinya. Ia menghela nafas kesal, ponselnya tertinggal di apartemen. Ia mengangkat gagang telepon kantornya, mencoba memanggil ponselnya. Siapa tau Jangli mengangkatnya.


Ah, tidak perlu. Tao menutup teleponnya. Lebih baik ia pulang ke apartemen, mengambil sendiri ponselnya.

To be continued...

*****

Gimana? kkkkkkk xD