Cast :
Kim Jang Li as Shim Jang Li
JYJ Jae Joong as Kim Jae Joong
Length : 1 shoot
Do you know what is love?
No, The truth is I don’t know
about it too
Just don’t know, yeah..
My heart is burning as I keep
running and tearing up..
What should I do for you?
Should I beg on bended knees?
I don’t know it too, yeah..
I keep running to find you but
I’ll end up back to the original spot..
JangLi’s POV…
Angin akhir musim semi berhembus
begitu hangat, bersiap menyambut musim panas di bulan Juni. Aku merapatkan
jaketku selagi menyusuri jalan kota Seoul yang cukup ramai di Minggu sore
seperti sekarang ini. Aku terus berjalan hingga akhirnya aku sampai pada sebuah
taman yang cukup luas. Aku masuk ke dalamnya. Tak banyak yang tau tentang
tempat ini, atau mungkin, zaman sekarang tak banyak anak-anak yang suka main di
taman, sehingga taman ini hanya dikunjungi oleh beberapa anak dan orangtua
mereka.
Aku menuju sebuah pohon pinus yang
terletak di pinggir taman. Aku memandangi pohon itu. Semakin lama pohon ini
semakin tumbuh, semakin besar. Sama sepertiku, semakin beranjak dewasa. Aku
duduk di bawah pohon ini. Pohon yang begitu hangat di sore hari, dengan sinar
matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan. Aku mendongak menatap
ranting-ranting pohon. Daunnya bergerak mengikuti irama angin.
Pohon ini memiliki sebuah kenangan
kecil bagiku. Tak begitu penting sebenarnya. Tapi kenangan itu membuatku selalu
datang ke tempat ini, setiap Minggu sore. Aku memejamkan mataku. Menghirup
oksigen segar dari pohon ini. Lalu ingatanku melayang. Kembali ke masa itu. Sembilan
tahun lalu.
*Nine*
Seorang gadis berusia lima tahun duduk di bawah pohon pinus
dengan murung. Ia memainkan sebuah ranting pohon dan menggoreskan ranting itu
dengan asal di atas tanah dengan kesal. Tangan kirinya memeluk kakinya yang
dingin. Matanya sembab sehabis menangis, bahkan sesekali air mata masih
mengalir di pipinya. Nafasnya sesenggukan. Ia sendirian.
“Kenapa kau menangis?” seorang bocah lelaki menghampiri gadis
kecil itu, lalu berjongkok, menyetarakan dirinya dengan gadis itu. Gadis itu
hanya menatap bocah lelaki itu dengan bingung, mengapa ia bertanya padanya
seperti itu. Gadis itu sama sekali tak mengenalnya.
Bocah itu duduk di sampingnya lalu menyodorkan beberapa
bungkus permen padanya, “mau?”
Gadis itu tetap bingung. Akhirnya ia bicara, “Eomma bilang, tidak boleh menerima
pemberian dari orang asing.”
“Kalau begitu, ayo kita berkenalan. Kim Jaejoong imnida.”
Kim Jaejoong, bocah lelaki itu, ia mengulurkan tangannya pada
gadis di sampingnya. Gadis itu menatap kedua mata Jaejoong, melihat tak ada
maksud jahat dari lelaki itu. Lalu gadis itu menyambut uluran tangan Jaejoong.
“Shim Jangli imnida.”
ucapnya kemudian. Jaejoong lalu tersenyum padanya, “sekarang kita bukan orang
asing lagi. Kau mau?” Jaejoong menyodorkan lagi permen itu. dengan ragu-ragu,
Jangli mengambil sebungkus permen, lalu memakannya. Rasanya manis. Ia tak tau
kalau laki-laki suka juga rasa manis.
“Sudah. Jangan menangis lagi.” Jaejoong menyeka pipi Jangli,
lalu menghapus air matanya. Jangli terdiam untuk beberapa saat. Ia tak mengira
akan ada orang yang datang dan menghapus air matanya. Ia melihat cahaya mata
Jaejoong. Ia tak pernah dekat dengan laki-laki. Ia baru tau, tatapan mata
seorang lelaki begitu indah.
“Memangnya mengapa kau menangis sendirian?” Jaejoong bertanya
lagi.
“Aku punya tubuh yang kecil. Dan rambut yang keriting. Mereka
bilang aku jelek.” jelas Jangli.
“Mereka? Siapa?” tanya Jaejoong.
“Anak laki-laki di sekolahku.” jawab Jangli.
“Kau tidak jelek. Mereka bohong. Kau cantik.” kata Jaejoong.
Jangli membelalakan matanya, “jinjja?”
“Ne, kau itu
cantik. Mereka berbohong karena mereka malu.” Ucap Jaejoong. Jangli
terperangah. Selama ini belum ada yang berkata padanya ‘kau cantik’.
Jaejoong bersandar pada pohon pinus itu, “pohon ini indah
bukan?”
Jangli yang sudah merasa nyaman ikut bersandar, “ne.”
“Kau tau? Pohon besar ini dulunya adalah sebuah benih kecil.”
kata Jaejoong. Jangli menanggapi Jaejoong dengan antusias, “jinjja?”
Jaejoong mengangguk, “benih itu ditanam di tanah. Ia berjuang
melawan musim dingin, panas, hujan. Lalu pohon ini tumbuh besar dan besar dan semakin
kuat.”
“Waw, keren sekali.” ucap Jangli takjub. Ia masih sangat
kecil, belum tau apa-apa. Ia sangat senang ketika diberi tau hal yang ia belum
ketahui.
“Kau pasti akan tumbuh besar, dan akan menjadi kuat. Tak
perlu takut jika tubuhmu kecil. Jadi, jangan menangis lagi. Arayo?”
“Ne, araseo.” Ucap
Jangli sambil mengangguk. Kini senyuman mengembang di bibirnya.
“Oh ya, kenapa kau sendirian di sini?” tanya Jaejoong.
“Eomma-ku belum
menjemputku pulang. Aku pulang sendiri karena tak mau bertemu teman-temanku.
Lalu aku tersesat di sini.” ungkap Jangli.
“Kalau begitu, sekarang pejamkan matamu.” pinta Jaejoong.
“Untuk apa?” tanya Jangli.
“Pejamkan saja.” Jangli lalu menuruti kata-kata Jaejoong.
“Kau harus mengucapkannya berulang kali dengan yakin ‘Eomma pasti datang’.”
Jangli mengepalkan tangannya, “Eomma pasti datang.. Eomma
pasti datang.. Eomma pasti datang.. Eomma pasti datang.. Eomma pasti datang.. Eomma
pasti datang.. Eomma pasti datang..”
“Jangli-ya!!”
Jangli membuka matanya. Eomma-nya memanggil namanya seraya
melambaikan tangan. Eomma benar-benar datang. Jangli hampir tak percaya.
Mungkin ini hanyalah kebetulan. Tapi nampak seperti keajaiban baginya.
“Eomma!!” seru Jangli. Ia bangkit, memandang riang ke arah
Eommanya.
“Jangli-ya.” panggil Jaejoong. Jaejoong berdiri di samping
Jangli sambil meraih tangan Jangli. Ia meletakan beberapa permen manis di
telapak tangan Jangli.
“Pulanglah. Sampai ketemu!” kata Jaejoong sambil melambai
pada Jangli. Jangli tersenyum, “sampai ketemu.”
Jangli berlari menghampiri Eommanya, lalu segera berjalan
pulang. Ia menoleh ke belakang. Jaejoong sudah pergi. Dia bilang ‘sampai
ketemu’.
Sampai ketemu..
*Nine*
Maybe times i’ve tried calling
I’ve been thinking about what to
say…
I don’t know it too, yeah..
Even as I fall asleep and wake
up, I can’t stop myself from wanting to find you..
Aku membuka mataku, lalu menghela nafasku. Sebenarnya aku tak
mau mengingat semua ini. Aku benar-benar ingin melupakan semua hal itu. Tapi
itulah yang membuatku selalu datang ke tempat ini. Aku berharap bisa bertemu
dengannya lagi di tempat ini setiap Minggu. Aku melakukannya, pergi ke tempat
ini sejak kecil. Tapi nyatanya aku tak pernah bertemu dengan orang yang bernama
Jaejoong itu. Pernah terpikir olehku untuk berhenti berharap dan tidak datang
ke tempat ini lagi. Tapi aku malah khawatir Jaejoong datang dan aku tak bertemu
dengannya. Akhirnya aku tetap ke tempat ini. Selalu datang.
Aku bersandar pada pohon pinus ini. Meskipun aku tak akan
bertemu lagi dengan Jaejoong, aku akan rutin datang ke sini. Aku sudah sering
ke sini, dan membuatku menyukai tempat ini. Tempat ini telah memberi keajaiban.
Sepertinya sudah cukup lama aku berada di sini. Jadi ku
putuskan untuk meninggalkan tempat ini. Lagipula, untuk apa aku membuang
waktuku di sini.
Aku berjalan santai melewati rerumputan seraya melihat-lihat
keadaan sekitar. Pandangan mataku tertarik pada sesuatu yang tak biasa. Aku
memperhatikannya. Seorang pemuda –dengan jas hitam layaknya pengusaha– berjalan
di sekitar taman bersama beberapa karyawannya. Aku tak mengerti, kenapa seorang
pengusaha seperti orang itu datang ke taman seperti ini. Di tambah lagi
karyawannya, membuatnya semakin terlihat mencurigakan.
Aku mencoba tak peduli akan hal itu, jadi aku terus berjalan.
Pengusaha muda itu berjalan melewatiku. Nampaknya ia juga tak peduli padaku. Ia
sibuk berbicara dengan para karyawannya. Jadi untuk apa mempedulikannya.
Mungkin dia ke taman ini untuk melakukan survey
atau semacamnya. Tapi sesuatu menganjal di hatiku. Aneh.
“Bagaimana dengan pohon di sebelah sana?”
Aku tanpa sengaja mendengar kata-kata itu. Aku menoleh, kemudian
berbalik menghadap kepada orang itu. Seorang karyawan menunjuk ke arah pohon
pinus itu. Mereka semua berjalan mengarah ke sana. Aku diam, memperhatikan
mereka dengan penasaran.
“Sebaiknya pohon itu ditebang saja.” kata pengusaha muda itu.
Oh, Tuhan. Tidak bisa. Tidak bisa seperti itu. Sudah sembilan tahun lebih aku
datang ke tempat ini. Datang ke pohon itu untuk menenangkan diriku yang kacau.
Bagaimana jika pohon itu tak ada? Aku tak mau pohon itu ditebang begitu saja.
Aku menghampiri mereka. Mecoba memperjelas semua. Semoga yang
ku dengar dan ku pikirkan tidaklah benar.
“Chamkanman!”
seruku pada mereka. Mereka semua menatapku dengan tatapan heran. Aku tau apa
yang ada di pikiran mereka –mengapa seorang gadis tiba-tiba datang mengganggu
dan tak penting–. Aku tak suka banyak orang melihatku. Dan aku tak suka dilihat
dengan cara seperti itu.
“Apa yang akan kalian lakukan dengan pohon itu?” tanyaku
langsung. Pengusaha muda itu mendekatiku, merasa sebagai pemimpin, ia mengambil
alih bicara, “maaf. Aku Direktur Utama dari Perusahaan DamWon. Kami akan
mengadakan proyek kami di sini. Kami akan membangun kantor cabang kami di sini.
Rencananya kami akan menebang pohon itu dan..”
“Mwo?!” aku berseru
dengan cukup keras tanpa sadar memotong ucapannya. Aku tau aku tak sopan. Tapi
aku tak bisa membiarkannya begitu saja.
“Aniya! Jangan
tebang pohon itu, ku mohon! Kau tau seberapa panas bumi saat ini? Kau tau bumi
sudah semakin panas tanpa pohon tapi..”
“Mohon dengarkan aku dulu, Agassi!” pemuda itu mengeraskan volume suaranya. Menghentikan
ucapanku yang sepertinya sulit berhenti. Aku diam. Memberinya kesempatan untuk
bicara.
“Rencananya kami akan menebang pohon itu dan kami akan
mengadakan penanaman pohon kembali. Ini semacam pemindahan taman kota. Jadi kau
tak perlu khawatir.” jelasnya.
Ia tak tau seperti apa pentingnya pohon itu bagiku. Dan ia
tak perlu tau, karena sungguh tak penting.
“Tak bisakah jika hanya pohon itu yang tidak ditebang?”
tanyaku, memberi usul.
“Maaf. Itu tak sesuai dengan rencana pembangunan kami.” ucapnya.
Aku menatap matanya yang begitu berani, sehingga aku tak mampu lagi untuk
melawan. Apa lebih baik aku menyerah? Sebenarnya aku sungguh tidak mau.
Aku menurunkan pandangan mataku. Aku sudah bersikap sangat
tak sopan padanya. Sebaiknya aku menyerah. Tunggu dulu. Sorot mataku berfokus
pada suatu hal. Sesuatu yang terkait di saku jas hitamnya. Sebuah papan nama.
Aku membaca papan nama itu dengan teliti. Aku bisa membaca, dan aku tak salah
baca. Namanya Kim Jaejoong.
Untuk beberapa saat, aku terkesiap. Berbagai pertanyaan
merasuki otakku. Membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku tak tau siapa orang di
hadapanku saat ini. Apakah dia benar Kim Jaejoong? Maksudku, Kim Jaejoong yang
itu?
“Kau.. Kim Jaejoong?” tanyaku ragu. Lidahku terasa kelu
menyebut namanya. Aku tak pernah mengucapkan nama itu secara langsung. Aku
selalu menyebutnya dalam pikiranku. Dan sekarang pemilik nama itu berada di
depanku.
Pemuda itu memandangku heran, lalu ia langsung berpikir cepat
bahwa aku mengetahui namanya melalui papan namanya. Ia tersenyum bijaksana
padaku, “ne, geurae.”
Ia memandangku yang masih terlihat seperti orang bingung.
Mungkin ia mengira, ada sesuatu dengan nama Kim Jaejoong. “Maaf. Apa aku pernah
mengenalmu?”
“Apa kau mengingatku? Kau pernah bertemu denganku tepat di
pohon itu. Di sana tempat kita pertama bertemu. Kau tak ingat?” tanyaku.
Berharap bukan salah orang. Berharap kalau dia mengingatnya.
Jaejoong tampak berpikir keras, mengingat-ingat kejadian yang
pernah terjadi di hidupnya, lalu ia kembali menoleh padaku, “lalu, apa yang ku
lakukan padamu selanjutnya?”
“Kau menghiburku, waktu itu aku sedang sedih. Lalu.. kau
mengajakku bicara, sehingga aku bisa melupakan masalahku. Kau.. kau
memberikanku permen manis. Kau bisa mengingatnya?” aku terus memberi petunjuk
padanya. Semoga ia bisa mengingatnya.
Jaejoong diam, ia terus berpikir. Kemudian ia berkata padaku,
“maafkan aku. Aku tak bisa mengingatnya.”
Apa itu? Apa maksudnya itu? Apa aku salah orang? Apa aku
hanya sebagian kecil dari hidupnya, dan saking kecilnya ia tak bisa
mengingatnya? Aku seharusnya tau, orang yang bernama Kim Jaejoong di dunia ini
tak hanya satu. Aku tak bisa memastikan orang ini adalah orang yang tepat.
“Tak ingat? Err. Mungkin aku salah orang. Aku benar-benar
minta maaf.” ucapku menyesal. Aku membungkuk 90 derajat sebagai tanda
permintaan maafku. Aku sudah lancang dan banyak bicara.
“Aku permisi dulu.” setelah itu aku meninggalkan orang yang
bernama Kim Jaejoong itu beserta para karyawannya. Aku sudah mendapat malu akan
hal ini.
“Dulu aku suka permen manis. Mungkin kau tak salah orang.”
kata-kata Jaejoong menghentikan langkahku. Aku menoleh padanya. Kemudian aku
memandangi wajahnya. Wajahnya sudah berubah. Sekarang ia sudah dewasa. Sudah
sembilan tahun, jadi aku tak menghafal wajahnya persis. Tapi mendengarnya
mengatakan ‘kau tak salah orang’, aku merasa hatiku menang. Senang sekali.
Jaejoong menoleh ke arah karyawannya yang berbisik pelan.
Mungkin sedikit ada masalah ketika Direktur Utama mereka menyukai ‘permen
manis’. Jaejoong menatap mereka dengan tajam, “itu dulu. Sekarang tidak.”
“Kim Jaejoong...” ucapku. Suaraku bergetar. Mengetahui bahwa
orang yang sembilan tahun belakangan ini ingin ku temui, kini aku telah bertemu
lagi dengannya.
“Ya?”
“Maukah kau memenuhi permintaanku?” aku bertanya padanya.
“Permintaan apa yang harus ku penuhi?” Jaejoong balik
bertanya.
“Tolong jangan tebang pohon itu..” aku memohon. Jaejoong
menatapku serius. Pandangan matanya sama seperti waktu itu. Lembut.
Ia menghela nafas, “akan ku bicarakan dengan sang
arsitektur.” Jaejoong membalikan badannya, menghampiri salah seorang lelaki
berkaca mata tebal. Aku pikir dialah arsitekturnya. Mungkin karena terlalu
sering menggambar sketsa dan banyak pengukuran di sana sini, membuat matanya
minus tebal. Jaejoong berbicara cukup lama dengannya, sangat serius.
Setelah berbicara cukup panjang, Jaejoong kembali ke
hadapanku. Wajahnya tampak merasa bersalah. Aku tau, pasti tak berakhir baik. “Maafkan
aku. Kami sudah membuat perjanjian. Rencana pembangunan sudah tak bisa diubah
lagi.”
Aku terdiam untuk beberapa saat. Membayangkan bagaimana jika
tempat ini tak ada. Harus ke mana lagi aku akan datang? Hanya tempat inilah
satu yang istimewa bagiku.
“Benar-benar tidak bisa?” tanyaku tak yakin.
Jaejoong mengangguk, “ya. Aku sangat menyesal.” Ia lalu
menundukkan kepalanya. Ia tak harus memberi hormat padaku. Seharusnya tak perlu
seperti itu. Seharusnya aku tak usah memulai semua ini. Jaejoong belum tentu
ingat dengan hal sembilan tahun lalu. Hanya aku yang terlalu memaksa.
Seharusnya aku memang tidak mengingatnya. Aku tau aku terlalu berlebihan. Aku
salah.
“Tidak apa-apa. Seharusnya aku tak memaksa seperti ini.
Maafkan aku. Ehm.. lebih baik aku pergi. Permisi.” aku berjalan pergi.
“Er, chamkanman, Agassi..”
samar-samar aku mendengar suara Jaejoong memanggilku. Namun aku terus berjalan
pergi meninggalkan mereka. Aku tak berharap Jaejoong menghentikanku. Aku ingin
sendiri.
Aku hanya sebagian yang sangat kecil dari hidupnya. Akulah
yang merasa dialah yang berarti sangat besar dalam hidupku. Aku telah berharap
terlalu banyak. Dan saat harapan itu hancur dengan jelas, aku merasa sangat
lemah..
Kenangan. Hanyalah kenangan.
Do not you love me? Do you not
want to forget?
Even if I want a new beginning
It’s not so easy for our love
Our memories. sweet memories..
This is what I’ve become and I
can no longer hide it..
*Nine*
Aku memandang ke sekeliling lapangan yang luas. Tak ada
sesiapapun. Sangat kosong. Sudah dua minggu aku tak datang ke tempat ini. Dan
hari ini aku ke tempat ini. Taman yang dulu menjadi tempat untuk menenangkan
hatiku, kini hanyalah lapangan yang kosong. Yang sebentar lagi akan dibuat
gedung bertingkat. Termasuk pohon itu, pohon itu sudah ditebang. Sudah tak ada.
Aku menarik nafas panjang lalu menghelanya. Aku harus
menyadari, aku tak akan melihat pohon itu lagi. Mungkin aku akan melihat pohon
pinus yang lain. Pohon pinus yang berbeda. Bagiku pohon pinus yang itu hanya
satu. Dan aku tau, setiap makhluk hidup pasti akan mati.
Hari sudah senja, aku tak boleh berdiam di sini terlalu lama.
Cuaca juga semakin dingin. Jadi sebaiknya aku pulang. Aku berbalik, lalu
melangkahkan kakiku perlahan. Tapi langkahku terhenti ketika aku melihat
seseorang tak jauh dari tempatku berpijak. Sial. Aku bertemu dengannya lagi.
Padahal aku tak mau mengingat-ingat lagi kejadian di masa lalu.
Kim Jaejoong, pemuda itu menatapku. Ia menghampiriku, aku
hanya diam menunduk. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan sekarang. Sebaiknya
aku segera pergi dari sini. Tapi Jaejoong berdiri di hadapanku dan menghalangi
jalanku.
“Aku ingin bicara padamu.” kata Jaejoong tiba-tiba. Aku tetap
tertunduk tanpa melihat wajahnya, “bicara saja.”
“Tak mungkin kita bicara di sini.” ucapnya, “kau mau kopi?”
Aku lalu mengadah menatapnya yang jauh lebih tinggi dariku.
Nafasnya yang dingin dapat ku rasakan. Kami begitu dekat. Aku merindukannya
yang sedekat ini. Dan sangat menginginkannya. Aku tak bisa meninggalkannya
begitu saja.
Aku menerima ajakannya. Ia membelikanku segelas kopi hangat
dan juga untuknya sendiri. Kami duduk di kursi, di pinggir jalan kota Seoul.
Melihat berbagai transportasi yang berlalu lalang. Kami diam untuk beberapa
saat, sampai Jaejoong membuka pembicaraan.
“Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik.” jawabku singkat.
“Aku minta maaf.” katanya.
“Untuk apa?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
“Maaf, aku tak bisa menghentikan penebangan pohon itu.”
jelasnya. Aku tersenyum.
“Tidak apa-apa. Aku seenaknya datang dan mengatur sesuka
hatiku. Itu salahku.” ucapku. Jaejoong menatap mataku dengan serius,
memperhatikanku dengan seksama. Aku tak bisa ditatap seperti itu oleh orang
lain. Jadi aku mengalihkan pandanganku.
“Kau bisa ceritakan padaku?” tanya Jaejoong.
“Ceritakan apa?”
“Bagaimana kita bertemu dulu.”
“Apa kau ingin tau?” tanyaku.
“Ya, aku ingin tau.” jawab Jaejoong.
“Sangat ingin tau?” tanyaku lagi.
“Ya, sangat ingin tau. Apa kau keberatan?” ia bertanya
padaku. Aku menghela nafasku. Ya, aku keberatan. Aku tak mau mengingat-ingat
masa laluku lagi.
“Tidak. Kenapa kau ingin tau?” aku terus bertanya.
“Hanya ingin tau. Aku ingin tau kenapa kau bisa begitu
melarangku untuk menebang pohon itu. Aku ingin tau apa yang ku lakukan padamu
sehingga kau bisa mengingatku selama itu. Aku mencoba mengingatnya, tapi aku
tak bisa mengingatnya secara jelas.” terang Jaejoong.
Aku diam sejenak. Lalu menarik nafasku dalam-dalam lalu
menghembuskannya perlahan, “baiklah. Aku akan menceritakannya.”
“Saat itu aku sedang menangis. Karena teman-temanku. Tapi kau
tiba-tiba datang menghampiriku.”
Jaejoong mendengarkan dengan seksama.
“Kau menawarkanku permen manis padaku. Aku baru tau kalau
laki-laki suka manis. Kau bertanya mengapa aku menangis. Kau bilang bahwa aku
seperti pohon. Semakin lama kau tumbuh,
kau akan semakin kuat.”
Jaejoong menegakkan posisi tubuhnya. Memandang wajahku lebih
jelas. Tapi pandangan mataku tetap lurus. Aku tak ingin melihat wajahnya begitu
lama. Entahlah, hanya tak ingin.
“Saat itu Eomma-ku
belum menjemputku. Kau memintaku untuk yakin. Tak lama kemudian, Eomma-ku datang.”
Aku menoleh padanya, “meskipun hanya sekali bertemu denganmu,
aku merasa aku tau banyak hal. Makanya aku ingin bertemu lagi denganmu. Kau
satu-satunya orang yang berbeda, yang pernah ku temui selama ini. Aku merasa
ada sesuatu yang berbeda dalam diriku.”
“Kenapa?” Jaejoong menengahiku, berbisik pelan padaku.
“Aku tidak tau.” jawabku.
“Kau… menyukaiku?”
Pertanyaan singkat itu membuat jantungku berhenti berdetak
sejenak. Aku tak pernah memikirkan ini. Tidak serumit ini. Sekarang, di
sampingku, Jaejoong bertanya padaku ‘kau menyukaiku?’. Pikiranku kacau, aku tak
bisa membacanya dengan jelas. Aku tak mengerti. Aku tak mengerti apa yang ku
rasakan sebenarnya. Bibirku bergetar tanpa mengucap sepatah kata yang jelas. Apa
yang harus aku katakan padanya?
“Kau menyukaiku. Itu benar kan?” Jaejoong bertanya lagi. Aku
menunduk tak berani menatap wajahnya.
Selalu mengingatnya. Ingin bertemu dengannya. Aku terlalu
berharap banyak padanya. Ya, aku menyukaimu Kim Jaejoong.
“Tidak. Aku tidak begitu. Permisi.” aku bangkit dari dudukku.
Berbalik, lalu berjalan cepat meninggalkan Jaejoong. Bodoh. Aku berbohong. Aku
ingin menangis. Sebisa mungkin aku menahannya. Aku tak ingin ada yang
melihatnya, termasuk orang itu.
Aku bisa mendengar derap langkah kaki di belakangku. Semakin
cepat dan bisa mengejarku. Sebuah tangan kemudian memegang bahuku. Aku tau itu
Jaejoong. Ia menarik bahuku. Memposisikan diriku ke hadapannya.
“Namamu Shim Jangli. Benar?” tanya Jaejoong. Aku memandang
kedua bola matanya yang menatap lurus padaku. Namaku. Shim Jangli. Baru kali
ini ia menyebut namaku. Dan aku belum memberi tahu namaku sebelumnya. Berarti
sangat. Aku menitikkan air mataku.
“Aku mengingatmu.” kata Jaejoong dengan tegas. Air mataku
menetes lagi. Kali ini mengalir perlahan di pipiku.
“Aku minta maaf.” kata Jaejoong.
“Maaf?”
“Aku akan segera menikah.”
Kini air mataku tumpah. Mengalir dengan deras di pipiku. Aku
benar-benar terlihat sangat buruk. Aku menunduk. Kemudian Jaejoong menarik
bahuku, aku jatuh dalam dadanya, dalam pelukannya. Aku menyembunyikan wajahku,
menangis sejadi-jadinya. Orang yang selama ini ingin ku temui, kini
dihadapanku, memelukku. Aku mau terus seperti ini. Aku tak mau kehilangan lagi.
Jaejoong mengusap rambutku lembut, “jangan pikirkan tentang
aku. Aku bukan yang terbaik untukmu.”
Aku tau. Tapi aku mau kamu.
“Maaf sudah membuatmu seperti ini.” ucap Jaejoong. Aku akan
baik-baik saja, tapi bagaimana hidupku selanjutnya jika aku harus merelakanmu?
“Saranghae..”
bisikku.
Jaejoong mengangkat daguku, mengalihkan wajahku yang kacau
padanya, “bisa kau ulangi?”
“Saranghae..”
ucapku lalu kembali terisak. Jaejoong menyentuh pipiku yang basah akan air
mata, lalu menyekanya.
“Gomawo..” kata
Jaejoong. Aku tak berharap kau mengucapkan itu. Aku ingin kau mengucapkan hal
yang sama denganku.
“Uljimayo..” pinta
Jaejoong. “Kau ingat? Pohon yang semakin tumbuh besar akan semakin kuat. Kau
sudah tumbuh besar. Aku tau kau kuat,” Jaejoong mengacak rambutku. Jaejoong
berusaha menghiburku meskipun tak mengubah apapun. Aku menghentikan tangisku.
“Kita masih bisa bertemu lagi kalau kau mau.” kata Jaejoong.
Ya. Tapi rasanya beda jika aku bertemu dengan orang yang akan menikah.
“Ne, algesseumnida.
Gamsahamnida.” ucapku sambil menundukkan kepalaku. Jaejoong tersenyum,
“kau..”
Belum sempat ia bicara, telepon genggamnya berdering. Ia
mengangkat teleponnya lalu pergi sedikit menjauh. Orang bisnis. Orang penting.
Tak lama kemudian ia menghampiriku.
“Ada sesuatu yang harus ku selesaikan. Aku harus pergi. Kau
mau kemana? Mau ku antar dulu?” tawar Jaejoong. Aku menggeleng.
“Aku tak apa. Kau pergi saja.” ucapku sambil tersenyum. Senyum
paksa.
“Jinjja?” tanya
Jaejoong tak yakin.
Aku mengangguk. “tentu saja.”
“Baiklah. Aku pergi dulu. Kau hati-hati ya.” Ucap Jaejoong
seraya menepuk bahuku. Ia berjalan menjauh, “sampai ketemu.”
“Sampai ketemu..” ucapku. Jaejoong memanggil taksi lalu membuka
pintu taksi. Aku memperhatikannya dari jauh.
Sebelum masuk taksi, ia memandang padaku, dan tersenyum, “Neon jeil!”
Aku mengerutkan dahiku. Entahlah, mungkin aku tak mendengar
dengan jelas kata-katanya. Aku tak mengerti maksud kata-katanya. Mengapa dia
berkata seperti itu?
Aku berjalan pulang sambil memikirkan kata-kata itu.
Sudahlah, tak usah dipikirkan. Nanti aku juga akan tau pada saatnya.
Jaejoong. Orang yang selalu ingin aku temui selama ini.
Hanyalah kenangan sia-sia. Pohon itu, adalah tempat bertemu. Juga tempat
berpisah. Aku harus mengucapkan selamat tinggal padanya meskipun kita tak
benar-benar berpisah.
Selamat tinggal.
Tapi aku tak akan menyesal bertemu denganmu, Jaejoong. Aku
tak akan menyesal telah mengenalmu. Karenamu, aku tau banyak hal. Aku tau
sesuatu yang berharga.
Kau yang terbaik.
Forget the past..
The two of us is sufficient to
protect each other
Now, we know it
Together, we understand even
without words
Tomorrow, we will shout out of
the yesterday that isn’t too far..
I’m sorry that I can’t say it
I love you my dear..
-THE END-