Laman

Jumat, 14 Desember 2012

FF: Nine [Oneshoot]



Title : Nine
Cast :
Kim Jang Li as Shim Jang Li
JYJ Jae Joong as Kim Jae Joong
Length : 1 shoot

Do you know what is love?
No, The truth is I don’t know about it too
Just don’t know, yeah..
My heart is burning as I keep running and tearing up..

What should I do for you?
Should I beg on bended knees?
I don’t know it too, yeah..
I keep running to find you but I’ll end up back to the original spot..

JangLi’s POV…
            Angin akhir musim semi berhembus begitu hangat, bersiap menyambut musim panas di bulan Juni. Aku merapatkan jaketku selagi menyusuri jalan kota Seoul yang cukup ramai di Minggu sore seperti sekarang ini. Aku terus berjalan hingga akhirnya aku sampai pada sebuah taman yang cukup luas. Aku masuk ke dalamnya. Tak banyak yang tau tentang tempat ini, atau mungkin, zaman sekarang tak banyak anak-anak yang suka main di taman, sehingga taman ini hanya dikunjungi oleh beberapa anak dan orangtua mereka.
            Aku menuju sebuah pohon pinus yang terletak di pinggir taman. Aku memandangi pohon itu. Semakin lama pohon ini semakin tumbuh, semakin besar. Sama sepertiku, semakin beranjak dewasa. Aku duduk di bawah pohon ini. Pohon yang begitu hangat di sore hari, dengan sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan. Aku mendongak menatap ranting-ranting pohon. Daunnya bergerak mengikuti irama angin.
            Pohon ini memiliki sebuah kenangan kecil bagiku. Tak begitu penting sebenarnya. Tapi kenangan itu membuatku selalu datang ke tempat ini, setiap Minggu sore. Aku memejamkan mataku. Menghirup oksigen segar dari pohon ini. Lalu ingatanku melayang. Kembali ke masa itu. Sembilan tahun lalu.
*Nine*
Seorang gadis berusia lima tahun duduk di bawah pohon pinus dengan murung. Ia memainkan sebuah ranting pohon dan menggoreskan ranting itu dengan asal di atas tanah dengan kesal. Tangan kirinya memeluk kakinya yang dingin. Matanya sembab sehabis menangis, bahkan sesekali air mata masih mengalir di pipinya. Nafasnya sesenggukan. Ia sendirian.
“Kenapa kau menangis?” seorang bocah lelaki menghampiri gadis kecil itu, lalu berjongkok, menyetarakan dirinya dengan gadis itu. Gadis itu hanya menatap bocah lelaki itu dengan bingung, mengapa ia bertanya padanya seperti itu. Gadis itu sama sekali tak mengenalnya.
Bocah itu duduk di sampingnya lalu menyodorkan beberapa bungkus permen padanya, “mau?”
Gadis itu tetap bingung. Akhirnya ia bicara, “Eomma bilang, tidak boleh menerima pemberian dari orang asing.”
“Kalau begitu, ayo kita berkenalan. Kim Jaejoong imnida.”
Kim Jaejoong, bocah lelaki itu, ia mengulurkan tangannya pada gadis di sampingnya. Gadis itu menatap kedua mata Jaejoong, melihat tak ada maksud jahat dari lelaki itu. Lalu gadis itu menyambut uluran tangan Jaejoong.
“Shim Jangli imnida.” ucapnya kemudian. Jaejoong lalu tersenyum padanya, “sekarang kita bukan orang asing lagi. Kau mau?” Jaejoong menyodorkan lagi permen itu. dengan ragu-ragu, Jangli mengambil sebungkus permen, lalu memakannya. Rasanya manis. Ia tak tau kalau laki-laki suka juga rasa manis.
“Sudah. Jangan menangis lagi.” Jaejoong menyeka pipi Jangli, lalu menghapus air matanya. Jangli terdiam untuk beberapa saat. Ia tak mengira akan ada orang yang datang dan menghapus air matanya. Ia melihat cahaya mata Jaejoong. Ia tak pernah dekat dengan laki-laki. Ia baru tau, tatapan mata seorang lelaki begitu indah.
“Memangnya mengapa kau menangis sendirian?” Jaejoong bertanya lagi.
“Aku punya tubuh yang kecil. Dan rambut yang keriting. Mereka bilang aku jelek.” jelas Jangli.
“Mereka? Siapa?” tanya Jaejoong.
“Anak laki-laki di sekolahku.” jawab Jangli.
“Kau tidak jelek. Mereka bohong. Kau cantik.” kata Jaejoong. Jangli membelalakan matanya, “jinjja?”
Ne, kau itu cantik. Mereka berbohong karena mereka malu.” Ucap Jaejoong. Jangli terperangah. Selama ini belum ada yang berkata padanya ‘kau cantik’.
Jaejoong bersandar pada pohon pinus itu, “pohon ini indah bukan?”
Jangli yang sudah merasa nyaman ikut bersandar, “ne.”
“Kau tau? Pohon besar ini dulunya adalah sebuah benih kecil.” kata Jaejoong. Jangli menanggapi Jaejoong dengan antusias, “jinjja?”
Jaejoong mengangguk, “benih itu ditanam di tanah. Ia berjuang melawan musim dingin, panas, hujan. Lalu pohon ini tumbuh besar dan besar dan semakin kuat.”
“Waw, keren sekali.” ucap Jangli takjub. Ia masih sangat kecil, belum tau apa-apa. Ia sangat senang ketika diberi tau hal yang ia belum ketahui.
“Kau pasti akan tumbuh besar, dan akan menjadi kuat. Tak perlu takut jika tubuhmu kecil. Jadi, jangan menangis lagi. Arayo?”
Ne, araseo.” Ucap Jangli sambil mengangguk. Kini senyuman mengembang di bibirnya.
“Oh ya, kenapa kau sendirian di sini?” tanya Jaejoong.
Eomma-ku belum menjemputku pulang. Aku pulang sendiri karena tak mau bertemu teman-temanku. Lalu aku tersesat di sini.” ungkap Jangli.
“Kalau begitu, sekarang pejamkan matamu.” pinta Jaejoong.
“Untuk apa?” tanya Jangli.
“Pejamkan saja.” Jangli lalu menuruti kata-kata Jaejoong.
“Kau harus mengucapkannya berulang kali dengan yakin ‘Eomma pasti datang’.”
Jangli mengepalkan tangannya, “Eomma pasti datang.. Eomma pasti datang.. Eomma pasti datang.. Eomma pasti datang.. Eomma pasti datang.. Eomma pasti datang.. Eomma pasti datang..”
“Jangli-ya!!”
Jangli membuka matanya. Eomma-nya memanggil namanya seraya melambaikan tangan. Eomma benar-benar datang. Jangli hampir tak percaya. Mungkin ini hanyalah kebetulan. Tapi nampak seperti keajaiban baginya.
“Eomma!!” seru Jangli. Ia bangkit, memandang riang ke arah Eommanya.
“Jangli-ya.” panggil Jaejoong. Jaejoong berdiri di samping Jangli sambil meraih tangan Jangli. Ia meletakan beberapa permen manis di telapak tangan Jangli.
“Pulanglah. Sampai ketemu!” kata Jaejoong sambil melambai pada Jangli. Jangli tersenyum, “sampai ketemu.”
Jangli berlari menghampiri Eommanya, lalu segera berjalan pulang. Ia menoleh ke belakang. Jaejoong sudah pergi. Dia bilang ‘sampai ketemu’.
Sampai ketemu..
*Nine*
Maybe times i’ve tried calling
I’ve been thinking about what to say…
I don’t know it too, yeah..
Even as I fall asleep and wake up, I can’t stop myself from wanting to find you..

Aku membuka mataku, lalu menghela nafasku. Sebenarnya aku tak mau mengingat semua ini. Aku benar-benar ingin melupakan semua hal itu. Tapi itulah yang membuatku selalu datang ke tempat ini. Aku berharap bisa bertemu dengannya lagi di tempat ini setiap Minggu. Aku melakukannya, pergi ke tempat ini sejak kecil. Tapi nyatanya aku tak pernah bertemu dengan orang yang bernama Jaejoong itu. Pernah terpikir olehku untuk berhenti berharap dan tidak datang ke tempat ini lagi. Tapi aku malah khawatir Jaejoong datang dan aku tak bertemu dengannya. Akhirnya aku tetap ke tempat ini. Selalu datang.
Aku bersandar pada pohon pinus ini. Meskipun aku tak akan bertemu lagi dengan Jaejoong, aku akan rutin datang ke sini. Aku sudah sering ke sini, dan membuatku menyukai tempat ini. Tempat ini telah memberi keajaiban.
Sepertinya sudah cukup lama aku berada di sini. Jadi ku putuskan untuk meninggalkan tempat ini. Lagipula, untuk apa aku membuang waktuku di sini.
Aku berjalan santai melewati rerumputan seraya melihat-lihat keadaan sekitar. Pandangan mataku tertarik pada sesuatu yang tak biasa. Aku memperhatikannya. Seorang pemuda –dengan jas hitam layaknya pengusaha– berjalan di sekitar taman bersama beberapa karyawannya. Aku tak mengerti, kenapa seorang pengusaha seperti orang itu datang ke taman seperti ini. Di tambah lagi karyawannya, membuatnya semakin terlihat mencurigakan.
Aku mencoba tak peduli akan hal itu, jadi aku terus berjalan. Pengusaha muda itu berjalan melewatiku. Nampaknya ia juga tak peduli padaku. Ia sibuk berbicara dengan para karyawannya. Jadi untuk apa mempedulikannya. Mungkin dia ke taman ini untuk melakukan survey atau semacamnya. Tapi sesuatu menganjal di hatiku. Aneh.
“Bagaimana dengan pohon di sebelah sana?”
Aku tanpa sengaja mendengar kata-kata itu. Aku menoleh, kemudian berbalik menghadap kepada orang itu. Seorang karyawan menunjuk ke arah pohon pinus itu. Mereka semua berjalan mengarah ke sana. Aku diam, memperhatikan mereka dengan penasaran.
“Sebaiknya pohon itu ditebang saja.” kata pengusaha muda itu. Oh, Tuhan. Tidak bisa. Tidak bisa seperti itu. Sudah sembilan tahun lebih aku datang ke tempat ini. Datang ke pohon itu untuk menenangkan diriku yang kacau. Bagaimana jika pohon itu tak ada? Aku tak mau pohon itu ditebang begitu saja.
Aku menghampiri mereka. Mecoba memperjelas semua. Semoga yang ku dengar dan ku pikirkan tidaklah benar.
Chamkanman!” seruku pada mereka. Mereka semua menatapku dengan tatapan heran. Aku tau apa yang ada di pikiran mereka –mengapa seorang gadis tiba-tiba datang mengganggu dan tak penting–. Aku tak suka banyak orang melihatku. Dan aku tak suka dilihat dengan cara seperti itu.
“Apa yang akan kalian lakukan dengan pohon itu?” tanyaku langsung. Pengusaha muda itu mendekatiku, merasa sebagai pemimpin, ia mengambil alih bicara, “maaf. Aku Direktur Utama dari Perusahaan DamWon. Kami akan mengadakan proyek kami di sini. Kami akan membangun kantor cabang kami di sini. Rencananya kami akan menebang pohon itu dan..”
Mwo?!” aku berseru dengan cukup keras tanpa sadar memotong ucapannya. Aku tau aku tak sopan. Tapi aku tak bisa membiarkannya begitu saja.
Aniya! Jangan tebang pohon itu, ku mohon! Kau tau seberapa panas bumi saat ini? Kau tau bumi sudah semakin panas tanpa pohon tapi..”
“Mohon dengarkan aku dulu, Agassi!” pemuda itu mengeraskan volume suaranya. Menghentikan ucapanku yang sepertinya sulit berhenti. Aku diam. Memberinya kesempatan untuk bicara.
“Rencananya kami akan menebang pohon itu dan kami akan mengadakan penanaman pohon kembali. Ini semacam pemindahan taman kota. Jadi kau tak perlu khawatir.” jelasnya.
Ia tak tau seperti apa pentingnya pohon itu bagiku. Dan ia tak perlu tau, karena sungguh tak penting.
“Tak bisakah jika hanya pohon itu yang tidak ditebang?” tanyaku, memberi usul.
“Maaf. Itu tak sesuai dengan rencana pembangunan kami.” ucapnya. Aku menatap matanya yang begitu berani, sehingga aku tak mampu lagi untuk melawan. Apa lebih baik aku menyerah? Sebenarnya aku sungguh tidak mau.
Aku menurunkan pandangan mataku. Aku sudah bersikap sangat tak sopan padanya. Sebaiknya aku menyerah. Tunggu dulu. Sorot mataku berfokus pada suatu hal. Sesuatu yang terkait di saku jas hitamnya. Sebuah papan nama. Aku membaca papan nama itu dengan teliti. Aku bisa membaca, dan aku tak salah baca. Namanya Kim Jaejoong.
Untuk beberapa saat, aku terkesiap. Berbagai pertanyaan merasuki otakku. Membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku tak tau siapa orang di hadapanku saat ini. Apakah dia benar Kim Jaejoong? Maksudku, Kim Jaejoong yang itu?
“Kau.. Kim Jaejoong?” tanyaku ragu. Lidahku terasa kelu menyebut namanya. Aku tak pernah mengucapkan nama itu secara langsung. Aku selalu menyebutnya dalam pikiranku. Dan sekarang pemilik nama itu berada di depanku.
Pemuda itu memandangku heran, lalu ia langsung berpikir cepat bahwa aku mengetahui namanya melalui papan namanya. Ia tersenyum bijaksana padaku, “ne, geurae.”
Ia memandangku yang masih terlihat seperti orang bingung. Mungkin ia mengira, ada sesuatu dengan nama Kim Jaejoong. “Maaf. Apa aku pernah mengenalmu?”
“Apa kau mengingatku? Kau pernah bertemu denganku tepat di pohon itu. Di sana tempat kita pertama bertemu. Kau tak ingat?” tanyaku. Berharap bukan salah orang. Berharap kalau dia mengingatnya.
Jaejoong tampak berpikir keras, mengingat-ingat kejadian yang pernah terjadi di hidupnya, lalu ia kembali menoleh padaku, “lalu, apa yang ku lakukan padamu selanjutnya?”
“Kau menghiburku, waktu itu aku sedang sedih. Lalu.. kau mengajakku bicara, sehingga aku bisa melupakan masalahku. Kau.. kau memberikanku permen manis. Kau bisa mengingatnya?” aku terus memberi petunjuk padanya. Semoga ia bisa mengingatnya.
Jaejoong diam, ia terus berpikir. Kemudian ia berkata padaku, “maafkan aku. Aku tak bisa mengingatnya.”
Apa itu? Apa maksudnya itu? Apa aku salah orang? Apa aku hanya sebagian kecil dari hidupnya, dan saking kecilnya ia tak bisa mengingatnya? Aku seharusnya tau, orang yang bernama Kim Jaejoong di dunia ini tak hanya satu. Aku tak bisa memastikan orang ini adalah orang yang tepat.
“Tak ingat? Err. Mungkin aku salah orang. Aku benar-benar minta maaf.” ucapku menyesal. Aku membungkuk 90 derajat sebagai tanda permintaan maafku. Aku sudah lancang dan banyak bicara.
“Aku permisi dulu.” setelah itu aku meninggalkan orang yang bernama Kim Jaejoong itu beserta para karyawannya. Aku sudah mendapat malu akan hal ini.
“Dulu aku suka permen manis. Mungkin kau tak salah orang.” kata-kata Jaejoong menghentikan langkahku. Aku menoleh padanya. Kemudian aku memandangi wajahnya. Wajahnya sudah berubah. Sekarang ia sudah dewasa. Sudah sembilan tahun, jadi aku tak menghafal wajahnya persis. Tapi mendengarnya mengatakan ‘kau tak salah orang’, aku merasa hatiku menang. Senang sekali.
Jaejoong menoleh ke arah karyawannya yang berbisik pelan. Mungkin sedikit ada masalah ketika Direktur Utama mereka menyukai ‘permen manis’. Jaejoong menatap mereka dengan tajam, “itu dulu. Sekarang tidak.”
“Kim Jaejoong...” ucapku. Suaraku bergetar. Mengetahui bahwa orang yang sembilan tahun belakangan ini ingin ku temui, kini aku telah bertemu lagi dengannya.
“Ya?”
“Maukah kau memenuhi permintaanku?” aku bertanya padanya.
“Permintaan apa yang harus ku penuhi?” Jaejoong balik bertanya.
“Tolong jangan tebang pohon itu..” aku memohon. Jaejoong menatapku serius. Pandangan matanya sama seperti waktu itu. Lembut.
Ia menghela nafas, “akan ku bicarakan dengan sang arsitektur.” Jaejoong membalikan badannya, menghampiri salah seorang lelaki berkaca mata tebal. Aku pikir dialah arsitekturnya. Mungkin karena terlalu sering menggambar sketsa dan banyak pengukuran di sana sini, membuat matanya minus tebal. Jaejoong berbicara cukup lama dengannya, sangat serius.
Setelah berbicara cukup panjang, Jaejoong kembali ke hadapanku. Wajahnya tampak merasa bersalah. Aku tau, pasti tak berakhir baik. “Maafkan aku. Kami sudah membuat perjanjian. Rencana pembangunan sudah tak bisa diubah lagi.”
Aku terdiam untuk beberapa saat. Membayangkan bagaimana jika tempat ini tak ada. Harus ke mana lagi aku akan datang? Hanya tempat inilah satu yang istimewa bagiku.
“Benar-benar tidak bisa?” tanyaku tak yakin.
Jaejoong mengangguk, “ya. Aku sangat menyesal.” Ia lalu menundukkan kepalanya. Ia tak harus memberi hormat padaku. Seharusnya tak perlu seperti itu. Seharusnya aku tak usah memulai semua ini. Jaejoong belum tentu ingat dengan hal sembilan tahun lalu. Hanya aku yang terlalu memaksa. Seharusnya aku memang tidak mengingatnya. Aku tau aku terlalu berlebihan. Aku salah.
“Tidak apa-apa. Seharusnya aku tak memaksa seperti ini. Maafkan aku. Ehm.. lebih baik aku pergi. Permisi.” aku berjalan pergi.
“Er, chamkanman, Agassi..” samar-samar aku mendengar suara Jaejoong memanggilku. Namun aku terus berjalan pergi meninggalkan mereka. Aku tak berharap Jaejoong menghentikanku. Aku ingin sendiri.
Aku hanya sebagian yang sangat kecil dari hidupnya. Akulah yang merasa dialah yang berarti sangat besar dalam hidupku. Aku telah berharap terlalu banyak. Dan saat harapan itu hancur dengan jelas, aku merasa sangat lemah..
Kenangan. Hanyalah kenangan.

Do not you love me? Do you not want to forget?
Even if I want a new beginning
It’s not so easy for our love
Our memories. sweet memories..
This is what I’ve become and I can no longer hide it..

*Nine*
Aku memandang ke sekeliling lapangan yang luas. Tak ada sesiapapun. Sangat kosong. Sudah dua minggu aku tak datang ke tempat ini. Dan hari ini aku ke tempat ini. Taman yang dulu menjadi tempat untuk menenangkan hatiku, kini hanyalah lapangan yang kosong. Yang sebentar lagi akan dibuat gedung bertingkat. Termasuk pohon itu, pohon itu sudah ditebang. Sudah tak ada.
Aku menarik nafas panjang lalu menghelanya. Aku harus menyadari, aku tak akan melihat pohon itu lagi. Mungkin aku akan melihat pohon pinus yang lain. Pohon pinus yang berbeda. Bagiku pohon pinus yang itu hanya satu. Dan aku tau, setiap makhluk hidup pasti akan mati.
Hari sudah senja, aku tak boleh berdiam di sini terlalu lama. Cuaca juga semakin dingin. Jadi sebaiknya aku pulang. Aku berbalik, lalu melangkahkan kakiku perlahan. Tapi langkahku terhenti ketika aku melihat seseorang tak jauh dari tempatku berpijak. Sial. Aku bertemu dengannya lagi. Padahal aku tak mau mengingat-ingat lagi kejadian di masa lalu.
Kim Jaejoong, pemuda itu menatapku. Ia menghampiriku, aku hanya diam menunduk. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan sekarang. Sebaiknya aku segera pergi dari sini. Tapi Jaejoong berdiri di hadapanku dan menghalangi jalanku.
“Aku ingin bicara padamu.” kata Jaejoong tiba-tiba. Aku tetap tertunduk tanpa melihat wajahnya, “bicara saja.”
“Tak mungkin kita bicara di sini.” ucapnya, “kau mau kopi?”
Aku lalu mengadah menatapnya yang jauh lebih tinggi dariku. Nafasnya yang dingin dapat ku rasakan. Kami begitu dekat. Aku merindukannya yang sedekat ini. Dan sangat menginginkannya. Aku tak bisa meninggalkannya begitu saja.
Aku menerima ajakannya. Ia membelikanku segelas kopi hangat dan juga untuknya sendiri. Kami duduk di kursi, di pinggir jalan kota Seoul. Melihat berbagai transportasi yang berlalu lalang. Kami diam untuk beberapa saat, sampai Jaejoong membuka pembicaraan.
“Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik.” jawabku singkat.
“Aku minta maaf.” katanya.
“Untuk apa?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
“Maaf, aku tak bisa menghentikan penebangan pohon itu.” jelasnya. Aku tersenyum.
“Tidak apa-apa. Aku seenaknya datang dan mengatur sesuka hatiku. Itu salahku.” ucapku. Jaejoong menatap mataku dengan serius, memperhatikanku dengan seksama. Aku tak bisa ditatap seperti itu oleh orang lain. Jadi aku mengalihkan pandanganku.
“Kau bisa ceritakan padaku?” tanya Jaejoong.
“Ceritakan apa?”
“Bagaimana kita bertemu dulu.”
“Apa kau ingin tau?” tanyaku.
“Ya, aku ingin tau.” jawab Jaejoong.
“Sangat ingin tau?” tanyaku lagi.
“Ya, sangat ingin tau. Apa kau keberatan?” ia bertanya padaku. Aku menghela nafasku. Ya, aku keberatan. Aku tak mau mengingat-ingat masa laluku lagi.
“Tidak. Kenapa kau ingin tau?” aku terus bertanya.
“Hanya ingin tau. Aku ingin tau kenapa kau bisa begitu melarangku untuk menebang pohon itu. Aku ingin tau apa yang ku lakukan padamu sehingga kau bisa mengingatku selama itu. Aku mencoba mengingatnya, tapi aku tak bisa mengingatnya secara jelas.” terang Jaejoong.
Aku diam sejenak. Lalu menarik nafasku dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, “baiklah. Aku akan menceritakannya.”
“Saat itu aku sedang menangis. Karena teman-temanku. Tapi kau tiba-tiba datang menghampiriku.”
Jaejoong mendengarkan dengan seksama.
“Kau menawarkanku permen manis padaku. Aku baru tau kalau laki-laki suka manis. Kau bertanya mengapa aku menangis. Kau bilang bahwa aku seperti pohon. Semakin lama kau tumbuh, kau akan semakin kuat.
Jaejoong menegakkan posisi tubuhnya. Memandang wajahku lebih jelas. Tapi pandangan mataku tetap lurus. Aku tak ingin melihat wajahnya begitu lama. Entahlah, hanya tak ingin.
“Saat itu Eomma-ku belum menjemputku. Kau memintaku untuk yakin. Tak lama kemudian, Eomma-ku datang.”
Aku menoleh padanya, “meskipun hanya sekali bertemu denganmu, aku merasa aku tau banyak hal. Makanya aku ingin bertemu lagi denganmu. Kau satu-satunya orang yang berbeda, yang pernah ku temui selama ini. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku.”
“Kenapa?” Jaejoong menengahiku, berbisik pelan padaku.
“Aku tidak tau.” jawabku.
“Kau… menyukaiku?”
Pertanyaan singkat itu membuat jantungku berhenti berdetak sejenak. Aku tak pernah memikirkan ini. Tidak serumit ini. Sekarang, di sampingku, Jaejoong bertanya padaku ‘kau menyukaiku?’. Pikiranku kacau, aku tak bisa membacanya dengan jelas. Aku tak mengerti. Aku tak mengerti apa yang ku rasakan sebenarnya. Bibirku bergetar tanpa mengucap sepatah kata yang jelas. Apa yang harus aku katakan padanya?
“Kau menyukaiku. Itu benar kan?” Jaejoong bertanya lagi. Aku menunduk tak berani menatap wajahnya.
Selalu mengingatnya. Ingin bertemu dengannya. Aku terlalu berharap banyak padanya. Ya, aku menyukaimu Kim Jaejoong.
“Tidak. Aku tidak begitu. Permisi.” aku bangkit dari dudukku. Berbalik, lalu berjalan cepat meninggalkan Jaejoong. Bodoh. Aku berbohong. Aku ingin menangis. Sebisa mungkin aku menahannya. Aku tak ingin ada yang melihatnya, termasuk orang itu.
Aku bisa mendengar derap langkah kaki di belakangku. Semakin cepat dan bisa mengejarku. Sebuah tangan kemudian memegang bahuku. Aku tau itu Jaejoong. Ia menarik bahuku. Memposisikan diriku ke hadapannya.
“Namamu Shim Jangli. Benar?” tanya Jaejoong. Aku memandang kedua bola matanya yang menatap lurus padaku. Namaku. Shim Jangli. Baru kali ini ia menyebut namaku. Dan aku belum memberi tahu namaku sebelumnya. Berarti sangat. Aku menitikkan air mataku.
“Aku mengingatmu.” kata Jaejoong dengan tegas. Air mataku menetes lagi. Kali ini mengalir perlahan di pipiku.
“Aku minta maaf.” kata Jaejoong.
“Maaf?”
“Aku akan segera menikah.”
Kini air mataku tumpah. Mengalir dengan deras di pipiku. Aku benar-benar terlihat sangat buruk. Aku menunduk. Kemudian Jaejoong menarik bahuku, aku jatuh dalam dadanya, dalam pelukannya. Aku menyembunyikan wajahku, menangis sejadi-jadinya. Orang yang selama ini ingin ku temui, kini dihadapanku, memelukku. Aku mau terus seperti ini. Aku tak mau kehilangan lagi.
Jaejoong mengusap rambutku lembut, “jangan pikirkan tentang aku. Aku bukan yang terbaik untukmu.”
Aku tau. Tapi aku mau kamu.
“Maaf sudah membuatmu seperti ini.” ucap Jaejoong. Aku akan baik-baik saja, tapi bagaimana hidupku selanjutnya jika aku harus merelakanmu?
Saranghae..” bisikku.
Jaejoong mengangkat daguku, mengalihkan wajahku yang kacau padanya, “bisa kau ulangi?”
Saranghae..” ucapku lalu kembali terisak. Jaejoong menyentuh pipiku yang basah akan air mata, lalu menyekanya.
Gomawo..” kata Jaejoong. Aku tak berharap kau mengucapkan itu. Aku ingin kau mengucapkan hal yang sama denganku.
Uljimayo..” pinta Jaejoong. “Kau ingat? Pohon yang semakin tumbuh besar akan semakin kuat. Kau sudah tumbuh besar. Aku tau kau kuat,” Jaejoong mengacak rambutku. Jaejoong berusaha menghiburku meskipun tak mengubah apapun. Aku menghentikan tangisku.
“Kita masih bisa bertemu lagi kalau kau mau.” kata Jaejoong. Ya. Tapi rasanya beda jika aku bertemu dengan orang yang akan menikah.
Ne, algesseumnida. Gamsahamnida.” ucapku sambil menundukkan kepalaku. Jaejoong tersenyum, “kau..”
Belum sempat ia bicara, telepon genggamnya berdering. Ia mengangkat teleponnya lalu pergi sedikit menjauh. Orang bisnis. Orang penting. Tak lama kemudian ia menghampiriku.
“Ada sesuatu yang harus ku selesaikan. Aku harus pergi. Kau mau kemana? Mau ku antar dulu?” tawar Jaejoong. Aku menggeleng.
“Aku tak apa. Kau pergi saja.” ucapku sambil tersenyum. Senyum paksa.
Jinjja?” tanya Jaejoong tak yakin.
Aku mengangguk. “tentu saja.”
“Baiklah. Aku pergi dulu. Kau hati-hati ya.” Ucap Jaejoong seraya menepuk bahuku. Ia berjalan menjauh, “sampai ketemu.”
“Sampai ketemu..” ucapku. Jaejoong memanggil taksi lalu membuka pintu taksi. Aku memperhatikannya dari jauh.
Sebelum masuk taksi, ia memandang padaku, dan tersenyum, “Neon jeil!”
Aku mengerutkan dahiku. Entahlah, mungkin aku tak mendengar dengan jelas kata-katanya. Aku tak mengerti maksud kata-katanya. Mengapa dia berkata seperti itu?
Aku berjalan pulang sambil memikirkan kata-kata itu. Sudahlah, tak usah dipikirkan. Nanti aku juga akan tau pada saatnya.
Jaejoong. Orang yang selalu ingin aku temui selama ini. Hanyalah kenangan sia-sia. Pohon itu, adalah tempat bertemu. Juga tempat berpisah. Aku harus mengucapkan selamat tinggal padanya meskipun kita tak benar-benar berpisah.
Selamat tinggal.
Tapi aku tak akan menyesal bertemu denganmu, Jaejoong. Aku tak akan menyesal telah mengenalmu. Karenamu, aku tau banyak hal. Aku tau sesuatu yang berharga.
Kau yang terbaik.
Forget the past..
The two of us is sufficient to protect each other
Now, we know it
Together, we understand even without words
Tomorrow, we will shout out of the yesterday that isn’t too far..
I’m sorry that I can’t say it
I love you my dear..

-THE END-

Rabu, 12 Desember 2012

FF: What a Beautiful Love [Part 2]


Title : What A Beautiful Love
Genre : Romance
Length : 2 shoot
Cast :
Kim Eun Hwa
Jung Yong Hwa
 ===============================================================
 
“Ye? Lalu untuk siapa? Untuk seseorangkah? Hahaha, Jung Yonghwa patah hati..”
“Dakchigo! (diam!)” gertak Yonghwa. Aku pun diam sejenak. Ia sepertinya marah. Kalau ia marah, berarti yang ku katakan benar.
“Oh, geurae. Jadi aku benar. Kau memang sedang patah hati.” Ucapku.
“Lalu kenapa? Kenapa jika patah hati? Apa kau bisa menyembuhkan rasa sakit di hati ini?” seru Yonghwa. Ku lihat raut wajahnya yang nampak sangat serius. Dadaku bergetar. Apa kata-kataku berlebihan? Aku seharusnya tau, dia patah hati itu bukan main-main.
Yonghwa bangkit dan menyampirkan tasnya di bahunya. Ia mengambil gitarnya dan membawanya pergi bersamanya. Ia berjalan cepat. Tanpa pikir panjang aku berlari mendekatinya.
“Jung Yonghwa!” jeritku sambil terengah-engah. Yonghwa tak berhenti berjalan.
“Mungkin aku bisaaa!” seruku. Kuputuskan untuk menghentikan langkahku. Meskipun aku mengejarnya atau berteriak sekeras-kerasnya, ia tak akan berhenti, apalagi menoleh padaku.
+++++
Aku tak bisa berkonsentrasi selama Seonsaengnim memberi materi di depan kelasku. Terbayang wajah Yonghwa di depan mataku. Ada perasaan bersalah karena aku berkata yang tak seharusnya. Aku tak tau ia bisa semarah itu.
Jam pelajaran berakhir. Aku berlari menaiki tangga menuju atap. Mencari sosok Yonghwa. Sedari tadi hanya ia yang mengisi pikiranku dan menjadi tujuanku. Aku harus segera meminta maaf padanya.
Aku sampai di atap. Yonghwa ada di sana, dan memang selalu ada. Ia berdiri memandangi awan yang berarak terhempas angin senja. Aku menghampirinya. Saat Yonghwa menoleh padaku aku segera membungkuk 90.
“Jeongmal yeongsohae.. Aku tak tau kau punya masa lalu yang buruk.” Ucapku. Aku tak berubah dari posisiku sampai derap langkah Yonghwa terdengar mendekatiku.
“Kalau dipikir-pikir.. kau tidak sepenuhnya salah.” Kata Yonghwa. Aku berdiri tegak memandanginya.
“Jinjja? Jadi kau memaafkanku?” tanyaku dengan antusias.
“Ani.” Jawabnya singkat. Apa yang ia katakan?
“Mwoya? Apa kau serius?” tanyaku lagi.
“Ani.” Ia mengulangi ucapannya. Kalau ia tidak serius berarti ia bercanda. Kalau ia bercanda, bercandanya tidak asik.
“Kim Eunhwa..” panggil Yonghwa. Ini terdengar menggelitik telingaku. Ini pertama kalinya Yonghwa memanggil namaku.
“Ah, ne?”
“Kau pernah bilang padaku, jika kau melakukan suatu hal yang kau suka terus menerus, kau akan menjadi bosan. Benar kan?” Tanya Yonghwa.
“Geurae. Wae?”
“Aku bosan.” Kata Yonghwa tiba-tiba. Aku membelalakan mataku.
“Mwo?”
“Aku bosan di sini. Kau mau ikut aku?”
Sejenak pandanganku menjadi kosong. Berpikir cukup lama. Seakan kata-kata Yonghwa yang tampak begitu mudah menjadi sulit dicerna.
“Mau ikut tidak?”
“Eo? Ne!”
+++++
Geuh del bo myun ul gool ee bbal geh jigo
When i look at you my face gets red
Geuh del bo myun ga seum ee doogeun doogeun
When i see you my heart goes thump thump
Ah ee chuh reom soo joob geh mal hago
I talk with shyness like a kid
Geuh del bo myun gwen siri oo seum ee na
When i look at you i just smile out of nowhere
Babo chuh rum ja ggoo man geuh reh
Like a fool I keep doing that
Ama neh geh sarang ee on gut gatah I think love came to me
I think love came to me
(CN Blue – Love Light)
            Ku rasakan angin senja menyentuh wajahku. Matahari masih menampakan sinarnya di sepanjang kota Seoul. Aku merentangkan tanganku mencoba meraih hembusang angin yang mengelus jari-jariku. Rasanya benar-benar menyenangkan. Yonghwa mengajakku berkeliling kota Seoul dengan motornya. Menunjukkan padaku bahwa kota ini adalah kota cinta selain Paris. Kota ini sungguh indah. Dan bersama Yonghwa yaitu melengkapi keindahan itu sendiri.
            Yonghwa berhenti mengendarai motornya di pinggir jalan. Ia menoleh padaku yang duduk di belakangnya. “Turun.”
            Aku hanya menurutinya dan segera turun dari motor. Aku memandang sekeliling. Menghirup udara yang cukup berpolusi. Meski begitu, kini peraasaanku terasa lepas.
            “Wohooooo! Seoul-eun jeongmal areumdawo (Seoul benar-benar indah)!! Saranghae! Hahaha..” entah kenapa aku ingin sekali berteriak mengatakan hal itu. Tak peduli siapa yang mendengarnya dan menganggapku gila. Aku tak bisa memendam kata-kata yang ingin ku ungkapkan.
            “Kheunsorijima! (jangan berteriak!)” bisik Yonghwa padaku. Aku hanya terkekeh.
            “Kenapa kau bisa semudah itu berkata ‘Saranghae’?” lanjut Yonghwa.
            “Ye? Saranghae? Bukankah begitu mudah diucapkan? Bahkan orang yang bukan warga Negara Korea pun bisa mengucapkannya.” Ucapku seadanya.
            “Bukan begitu maksudku. Saranghae itu kan seharusnya disampaikan kepada orang yang benar-benar kau cintai. Kau tidak bisa sembarangan mengatakannya.” Jelas Yonghwa. Aku mengangguk setuju.
            “Ne, neon baro (kau benar). Tapi aku tak sembarangan mengatakannya. Aku benar-benar mencintai Negara ini.” Ucapku sambil tersenyum lebar.
            “Semudah itukah kau jatuh cinta?” Tanya Yonghwa tiba-tiba.
            “Untuk apa sulit mencintai? Cinta itu hanyalah kata lain dari kasih sayang. Lagipula, semakin banyak kita mencintai sesuatu, semakin banyak juga orang yang mencintai kita. Ne?”
            Yonghwa tersenyum pahit.    
“Cinta.. Cinta itu menyakitkan.” Kata Yonghwa. Aku memandangi wajahnya yang sedari awal bertemu dengannya tetap sama. Penuh dengan beban. Lama-lama aku kasihan pada namja ini.
“Yaa, sebenarnya siapa yang membuatmu seperti ini?” tanyaku dengan hati-hati. Takut takut menyakiti perasaannya lagi.
“Mwo?”
“Maaf jika aku ikut campur dalam masalahmu. Tapi, yang namanya membawa beban berat bersama orang lain, beban itu akan terasa lebih ringan. Setidaknya jika kau ceritakan padaku, bebanmu akan lebih ringan.” Jelasku. Yonghwa menoleh padaku sejenak. Lalu ia kembali menatap matahari yang sudah hampir berselimut awan.
            “Kau ini, kenapa kau pandai mempengaruhi perasaanku?” Tanya Yonghwa. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
            “Aku dulu punya seorang yeojachingu.” Yonghwa memulai ceritanya.
            “Algesseumnida.” Ucapku memotong ceritanya. Yonghwa menatapku tajam.
            “Dengar dulu!” Tukas Yonghwa. Aku nyengir.
            “Hehe, ne. Mianhae. Lalu?” pintaku.
            “Dia hampir sama sepertimu. Penuh rasa keingintahuan. Sedikit mengganggu memang, tapi bersamanya menyenangkan. Dia juga pernah meminyaku menyanyikan sebuah lagu dengan gitarku. Ia lalu memintaku mengajarinya.”
            Aku mengangguk mengerti. Aku terus mendengarkannya dengan seksama. Sepertinya hubungan mereka sangat indah.
            “Dia belajar gitar dengan sangat baik. Ditambah suaranya yang indah. Dia sangat hebat.” Lanjut Yonghwa.
            “Lalu kenapa kau sedih?” tanyaku.
            “Dia memperdayakanku. Dia belajar gitar untuk berhasil masuk sebuah industri rekaman Korea. Setelah dia berhasil lolos, dia pergi. Meninggalkanku.. Padahal, dia orang pertama yang aku cintai.”
            Aku diam. Cinta pertama memang sulit, apalagi langsung ditinggalkan seperti itu. Aku bisa mengerti mengapa Yonghwa jadi sesedih itu.
            “Sejak dia meninggalkanku, aku tidak ingin berteman dengan siapa-siapa lagi. Aku merasa.. lebih baik aku sendirian.”
            Aku memandanginya terus. Ternyata trauma, yang menyebabkannya seperti ini. Karena masa lalunya itu ia jadi bersikap acuh tak acuh. Karena seorang yeoja, ia menjadi tak peduli pada orang lain.
            “Aku tau dia sangat kejam. Aku tau orang yang semacam dia di dunia ini banyak. Tapi asal kau tau, tak semua orang di dunia ini seperti dia. Jadi, jangan berpikiran untuk terus sendiri dan tidak punya teman. Kalau kau terus sendirian, tak akan terjadi hal baik maupun hal buruk. Itu sangat membosankan.” Jelasku panjang lebar. Seketika aku ingin sekali tertawa. Omonganku rasanya terlalu ‘tua’. Namun sebisa mungkin aku menahannya.
            “Gomawo.”
            Aku terkejut mendengarnya. “Ne? Bisa kau ulangi?”
            “Apa pendengaranmu buruk? Aku bilang gomawo.” Kata Yonghwa. Aku tak dapat menahan diriku untuk tersenyum riang. Seingatku, selama ini Yonghwa tak pernah berterimakasih padaku. Dan dia telah mengatakannya sekarang.
            “Ah, ne. Itu bukan apa-apa. Eh tapi, Jung Yonghwa..” Ucapku kemudian.
            “Hmm?”
            “Boleh aku tau, siapa yeojachingumu itu? Seperti apa orangnya?” tanyaku kemudian. Seharusnya aku tak boleh bertanya terus seperti ini. Tapi aku benar-benar penasaran.
            “Kenapa kau bertanya terus?” Tanya Yonghwa.
            “Ah, iya ya.” Ucapku seraya menggaruk kepalaku yang tak gatal.
            “Dia sangat cantik. Dia Seo Joohyun.“
            “Oh jinjja? Seperti nama dari Seohyun Girls Generation. Apa dia personel Girls Generation? Girls Generation make you feel the heat! Hahaha..” candaku sambil bernyanyi.
            “Ne, geurae.” Ucap Yonghwa. Aku diam seketika. Yonghwa mantan pacar Seohyun? Aku mengira bahwa Seo Joohyun yang dimaksud adalah dua orang yang berbeda. Ternyata Seo Joohyun adalah Seohyun Girls Generation.
            “J-J-J-J-Jeongmal?” tanyaku tak percaya. Yonghwa mengangguk. “Memangnya kenapa?”
            “Eomeo! Aku hanya tak menyangka temanku pernah punya pacar seorang artis. Ya ampun..” ucapku sambil terkikik.
            “Memangnya aku temanmu?” kata Yonghwa. Aku memukul bahunya.
            “Lalu kau pikir aku ini apa? Huh huh?” protesku. Yonghwa nyengir.
            “Yaa, Kau belum tau siapa aku? Sebenarnya aku ini pernah diminta menjadi member Girls Generation. Tapi karena aku tidak cocok dengan image Girls Generation, aku menolaknya.” Ucapku mengarang bebas.
            “Oh, geuraeyo?”
            “Ne, kau mau mendengarku bernyanyi? Neomu banjjak banjjak nuni busyeo No No No No No.. Neomu kkamjjak kkamjjak nollan naneun Oh Oh Oh Oh Oh.. Neomu jjarit jjarit momi tteollyeo Gee Gee Gee Gee Gee..” aku bernyanyi dengan suara pas-pasan dengan nada memaksa. Ditambah gaya dengan jari bentuk V yang ku ayunkan di depan mataku. Yang ku lakukan ini sungguh gila.
            “Hentikan! Kau memalukan sekali tau! Tariannya juga bukan seperti itu!” seru Yonghwa.
            “Yaa yaa yaa! Ini Gee Kim Eun Hwa Version tau! Oh jojeun nunbit Oh Yeah.. Oh joeun hyanggi Oh Yeah Yeah Yeah..” aku bernyanyi lagi. Yonghwa akhirnya tertawa melihat tingkahku yang setengah gila. Atau mungkin memang terlalu gila? Entahlah, aku senang Yonghwa bisa tertawa lepas seperti itu. Ini pertama kalinya aku melihatnya tertawa.
            “Ah, kau suka musik?” Tanya Yonghwa tiba-tiba.
            “Mwo? Ah, ne. Waeyo?”
+++++
            Esoknya Yonghwa mengajakku ke toko musik. Entah apa yang ia tunjukan kepadaku. Tapi rasanya seperti sangat Sesuatu *sesuatu.. yang ada di hatimu sesuatuu~ #authornumpangnyanyisyahrini*. Yonghwa melihat-lihat kaset yang berjajar rapi. Aku hanya mengekor padanya.
            “Kau tau Jimmy Page?” Tanya Yonghwa. Ia memandang poster seorang gitaris dengan penampilan ala rocker.
            “Mwoga? Ah, nan mollayo..” ucapku lalu menggaruk kepalaku.
            “Dia seorang gitaris. Permainan gitarnya cepat dan terbilang spontan yang pada akhirnya menghasilkan suara yang enak didengar dan mengagumkan. Dia dapat menyesuaikan permainan gitarnya dengan genre apapun. Aku sangat mengaguminya.” Jelas Yonghwa. Aku melongo. Aku terlihat sangat bodoh. Aku tak tau apa-apa tentang musisi dunia seperti itu. *tenang aje, author juga gatau-_-*
            “Oh, begitukah? Keren sekali.” Ucapku seadanya.
            “Kau tak tau Jimi Hendrix? Brian May? B.B. King?” Tanya Yonghwa seakan shock.
            “Aniya. Hehe.. Tapi..” ucapku.
            “Tapi apa?”
            “Tapi aku tau Super Junior, TVXQ, SS501.. Ah ya, Big Bang juga!” seruku setelah melihat album terbaru Super Junior di pojok ruangan.
            “Ayo kita kesana ya? Ye? Ye?” ucapku sambil menunjuk album Super Junior tadi. Aku lalu berjalan ke pojok ruangan. Yonghwa hanya tersenyum melihatku.
            “Yonghwa-Oppa..” panggil seseorang. Suara seorang yeoja. Aku terdiam dan tak bergerak menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
            “Hyun-i.. Sedang apa kau di sini?” ucap Yonghwa kemudian. Hyun-i.. Hyun-i? Nama panggilan itu membuat jantungku berdetak tak karuan. Perasaanku menjadi aneh. Apa yang aku takutkan sebenarnya?
            Aku membalikan badanku menghadap dua orang yang sedang saling menatap itu. Benar saja apa yang ku pikirkan. Seohyun berdiri di depan Yonghwa. Mereka berdua berdiri mematung termasuk diriku.
            “Nan bogosipeoseo, Oppa.. (aku merindukanmu, kak)” lirih Seohyun. Kenapa? Kenapa aku menjadi bingung? Apa yang harus kulakukan sekarang?
            Seohyun memeluk Yonghwa secara tiba-tiba. Jatungku serasa berhenti berdetak sejenak. Apa yang aku lakukan? Aku hanya terkejut kan? Ya, hanya terkejut.
            “Niga.. nal bogosipeo? (kau.. rindu aku?)” Tanya Seohyun. Aku dan Seohyun hanya menunggu jawaban Yonghwa.
            “Ne. Nado bogosipeo.” Kata Yonghwa. Nafasku seperti tercekat. Seharusnya aku tau Yonghwa akan memberikan jawaban itu. Tapi mengapa aku menginginkan Yonghwa member jawaban lain?
            “Maukah kau kembali padaku?” Tanya Seohyun lagi. Yonghwa membuka mulutnya, tapi tak berkata-kata. Ia lalu menoleh padaku. Kami saling menatap. Tatapan Yongwa seakan berkata “aku harus bagaimana?”
            “Kembalilah padanya.” Ucapku kemudian. Seohyun yang baru menyadari keberadaanku terkejut.
“Eh? Nuguga? Apa dia yeojachingumu yang baru?” Seohyun melepaskan pelukannya. Yonghwa lalu tergagap.
“Aniyo. Aku bukan siapa-siapa. Sebaiknya aku pergi. Aku tak mau mengganggu kalian. Aku permisi dulu.” Ucapku lalu segera keluar dari toko tersebut. Aku pergi berjalan terus entah kemana. Aku tak punya tujuan sekarang. Tak seharusnya aku bertingkah seperti ini.
Aku sampai ke sebuah danau. Entah bagaimana caranya aku bisa sampai ke sini. Aku melihat sebuah kerikil dan mengambilnya. Lalu ku lemparkan kerikil itu di danau tersebut. Danau yang tadinya tenang kini mendapati riak-riak yang cukup besar di permukaannya. Danau itu terlihat seperti aku sekarang. Kacau.
Yaa, Eunhwa! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau jadi bersedih seperti ini? Apa yang membuatmu bersedih? Yonghwa-kah? Bukankah memang sepantasnya dia kembali pada Seohyun? Bukankah bagus jika Yonghwa menjadi ceria lagi bersama dengan yeoja-nya? Tapi mengapa terasa sangat sakit? Bagaimana denganku? Akulah yang sendirian sekarang. Tanpa ku sadari aku merindukan namja sendirian itu. Meski aku masih bisa melihatnya, tetapi melihatnya bersama yeoja lain sangatlah sakit. Mengapa seperti ini?

Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze?
No one ever sees, no one feels the pain
I shed tear-drops in the rain
(CN Blue – Teardrop in The Rain)
+++++
Next Day..      
Aku berlari. Berlari menuju atap dengan penuh harap. Aku tau aku telah melakukan hal bodoh. Tapi aku ingin bertemu dengannya. Memastikan keadaannya. Apa dia masih di sana?
Aku sampai di atap. Pemandangan yang indah tetap sama. Namun satu yang berbeda. Yonghwa tak lagi menyendiri. Ia tak ada di sini. Aku sadar, aku pikir selama ini Yonghwa akan membutuhkanku. Ternyata, akulah yang membutuhkannya. Dan sekarang rasanya seperti.. pecundang.
Aku menuruni tangga dengan perlahan. Lemas rasanya. Aku berjalan dengan gontai ke luar sekolah. Udara terasa sangat dingin. Suara petir mengejutkanku. Oh, tidak..
Seketika turun hujan. Aku sudah menduga ini. Aku tak bergerak dari tempatku.  Biarkanlah hujan membasahi wajahku. Aku rasa hujan mengerti perasaanku saat ini. Aku mengadahkan kepalaku. Menatap langit yang mendung.
“Paboya..” ucapku setengah berbisik. Mengetahui bahwa hujan membantuku menutupi semua kesedihan ini aku jadi ingin menangis.
“I-paboya! Neoreul paboya!!” kini aku sedikit berteriak. Tak ada orang di sekelilingku. Jadi ku rasa tak aka nada yang tau aku berbicara sendiri seperti ini.
“Nuga babogata?”
Suara yang tak asing mengajakku berbicara. Aku tertunduk sekarang. Tak berani menatap siapapun. Meskipun rintik hujan telah menutupi air mataku. Tib-tiba hujan tak lagi mengguyurku. Ia telah melindungiku dari hujan dengan payungnya.
“Yaa! Aku bertanya padamu, nuga babogata?” Tanya namja itu lagi. Yonghwa, mengapa kau datang di saat yang tidak tepat? Aku menarik nafas dalam dalam.
“Neo.” Ucapku.
“Naneun? Wae?” Tanya Yonghwa lagi.
“Kau.. Kau sudah hidup dengan kesendirian ditinggalkan Seohyun. Kau sudah menderita karenanya. Mengapa kau masih bisa menerimanya kembali? Tidak inginkah kau membiarkan yeoja itu menyesali perbuatannya?” ucapku panjang lebar. Aku tak bisa memendam kata-kata itu di dalam hati.
“Kau ini jahat sekali ternyata.” Kata Yonghwa.
“Aniya! aku tidak jahat. Hanya saja.. aku bukan orang yang baik.” Ucapku sambil tertunduk.
“Aku tak menerimanya.” Kata Yonghwa kemudian. Aku tercengang mendengarnya.
“Neon mworago haettji? (apa yg kau katakan?)” tanyaku seperti sulit mengerti kata-katanya.
“Aku tak menerimanya kembali. Untuk apa aku menerima orang yang sudah menyakitiku sekian lama. Aku rasa aku tidak benar-benar membutuhkannya.” Jelas Yonghwa.
“Jeongmallo?” tanyaku tak percaya. Yonghwa mengangguk. Lalu sekarang apa? Sekarang apa yang harus ku lakukan?
“Aku rasa aku membutuhkanmu, Kim Eunhwa..” lirih Yonghwa. Dadaku berdesir mendengarnya.
“Kau bilang.. apa..”
“Aku membutuhkanmu Kim Eunhwa. Aku menyukaimu. Kau menyukaiku?” Kata Yonghwa kemudian. Apa yang harus ku katakan sekarang?
“Aku juga membutuhkanmu. Tapi.. apa aku menyukaimu?” ucapku ragu-ragu.
“Kenapa tidak yakin begitu?” Tanya Yonghwa. Ia lalu tersenyum. “Gwaenchanha. Sebaiknya kau pikirkan dulu.” Kata Yonghwa. Aku tersenyum menatapnya. Tatapan Yonghwa terlihat sangat baik. Beban yang dulu ditunjukan wajahnya pun kini tak terlihat. Aku senang melihatnya. Apa ini yang disebut cinta? Tapi bukankah cinta itu menyakitkan? Apa boleh aku mencintainya.
“Mungkin coklat panas bisa menghangatkanmu. Kau mau?” ajak Yonghwa. Aku mengangguk mantap.
“Kajja!” Yonghwa menggandeng tanganku. Aku berjalan beriringan dengannya di bawah payung, di sela-sela hujan turun. Menyenangkan bersamanya. Aku rasa, aku memang menyukainya. Aku cukup takut untuk berkata aku mencintainya. Lambat laun seiring berjalannya waktu aku akan mengerti. Semua yang terjadi dalam cinta adalah suatu pelajaran. Belajar untuk bersabar, menerima, saling berbagi, dan itulah yang membuat cinta menjadi indah.
I want you oh my love, naman bara bwajwo, neomaneul saranghae
I want you oh my love Only look at me, I will only love you
sesang modu byeonhaedo
even if the whole world changes
Oh my love, neoman bomyeon ttwineun gaseum eonje kkajina
Oh my love My heart starts to thump when I look at you,
neoman damgo isseulge
I will always have you in my heart
(CN Blue – LOVE Girl)

-THE END-