Laman

Sabtu, 24 November 2012

FF: Please Be Mine [Part 3]




Title : Please, Be Mine!


Genre : Romance

Length : 3 Shoot

Cast :

- Choi Ryu Ri as Choi Ryu Ri

- FT Island Minhwan as Choi Min Hwan
- B1A4 Sandeul as Lee Sandeul
===================================================

Sandeul tergeletak lemas tak berdaya. Wajahnya penuh memar dan luka. Minhwan berdiri di hadapannya. Sandeul menoleh ke arahku. Minhwan yang menyadari keberadaanku nampak terkejut. Apa Minhwan yang membuat Sandeul seperti ini?

Aku menghampiri Minhwan yang sedari tadi menatapku. Aku balik menatapnya penuh tanda tanya dan rasa penasaran. Minhwan, apa dia tega berbuat seperti itu pada Sandeul? Seperti itukah Minhwan sebenarnya? Apa terlalu lama aku tak bertemu dengannya sehingga dia liar seperti ini?
“Yuu…” kata Minhwan masih dengan nafas yang terengah-engah.
“Pulanglah.” Ucapku singkat.
“Yuu.. Aku…”
“Eomma-mu mencarimu. Sebaiknya kau segera pulang.” Lanjutku. Minhwan terdiam. Aku mengalihkan pandangan mataku ke arah Sandeul. Aku menatapnya yang sedang tergolek lemas. Matanya sayup-sayup memandangku.
“Ryuri-ah..” panggilnya setengah berbisik. Aku meraih lengannya dan membantunya berdiri. Aku membiarkan Sandeul merangkulku. Aku menuntunnya berjalan tanpa mempedulikan Minhwan.
“Yuu!” seru Minhwan. Aku menghentikan langkahku dan menoleh kepadanya.
“Ada yang ingin kau jelaskan?” tanyaku pada Minhwan. Kini Minhwan mematung. Ia hanya memandangku tanpa membuka mulutnya.
“Amugeotto?” tanyaku lagi. Minhwan tertunduk. Aku melanjutkan langkahku bersama Sandeul. Aku embonceng Sandeul di sepedaku. Anak ini berat sekali. Ditambah lagi ia bersandar di punggungku. Tak apalah. Aku membawanya pulang ke rumahnya.
+++++
Sesampainya di rumah Sandeul aku memarkirkan sepedaku. Aku mengetuk pintu rumahnya. Sandeul masih merangkulku, bahkan ia menyandarkan kepalanya di kepalaku. Aku tau, ia begini karena aku. Jadi biarkanlah dulu dia seperti ini.
Tak lama kemudian Lee-harabeoji membukakan pintu. Ia terkejut melihat Sandeul yang nampak tak berdaya. Ia lalu menatap padaku.
“Choi.. Choi.. Ryuri! Apa yang terjadi dengan anak ini?” Lee-harabeoji bertanya padaku. Huh? Sungguh, aku tak tau apa-apa.
“Aku merebut sesuatu dari orang lain. Orang itu marah sekali padaku. Tapi lupakanlah.” Kata Sandeul. Ia melangkah masuk kedalam rumah. Aku hanya mengikutinya. Ia mengajakku ke ruang tengah. Ia duduk di atas sofa. Sandeul menyandarkan kepalanya di dinding. Aku duduk di sampingnya. Lalu Lee-harabeoji mengambil sebuah kotak obat. Aku lalu membersihkan luka di wajah Sandeul dan mengobatinya. Sandeul merintih. Aku tak tega melihatnya menjadi seperti ini.
“Aku akan membuatkan minum.” Kata Lee-harabeoji. Aku hanya mengangguk lalu tertunduk. Aku dan Sandeul saling diam. Sandeul menatapku.
“Minhwan itu.. namjachingu-mu?” Sandeul membuka pembicaraan. Aliran darahku seakan berhenti. Sandeul.. Minhwan.. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan tadi?
“Mwo?” tanyaku terkejut.
“Choi Minhwan. Dia mencintaimu, Ryu. Apa kau juga mencintainya?” Sandeul bertanya lagi. Kenapa tiba-tiba ia bertanya seperti itu. Perasaanku pada Minhwan, benar, aku mencintai Minhwan. Tapi, bagaimana aku mengatakannya? Di depan Sandeul yang sudah menyatakan cintanya padaku. Tanpa sadar setitik air mata mengalir di pipiku. Yaa! Apa yang ku lakukan? Aku cepat-cepat menghapusnya.
“Ryuri-ah.. Apa aku telah menyakiti perasaanmu?” Sandeul bertanya serata memegang daguku dan mengadahkan wajahku menghadapnya.
“Aku orang yang tenang. Aku bisa mengatasi masalahku dengan tenang dan cepat. Aku tak pernah menangis dan selalu kuat. Tapi aku terlalu lemah untuk memecahkan masalah seperti ini. Aku merasa sangat lemah. Perasaan ini seperti memukul dadaku. Sesak. Aku tak mengerti perasaan ini. Aku tak mengerti..”
Sandeul mendekat dan memelukku.
“Aku tak tau apa yang kau rasakan. Tapi kumohon jangan menangis. Terserah apa yang akan terjadi nanti. Terserah bagaimana perasaanmu padaku. Yang jelas aku mencintaimu.” Jelas Sandeul. Air mataku mengalir lagi. Aku menyembunyikan wajahku dalam pelukan Sandeul. Sandeul mengelus rambutku. Aku tak bisa mengelak, rasanya nyaman. Hatiku kini seperti terombang-ambing. Otakku sudah muak. Memikirkan satu orang saja sudah membuatku frustrasi, tapi aku dipaksa memikirkan dua orang yang membuatku nyaman sekaligus. Sungguh melelahkan.
+++++
                Next day…
                Aku memutar-mutar pulpen di jari-jariku. Pikiranku kacau. Tak bisa berkonsentrasi belajar. Suara Jung-seonsaengnim yang menggema di kelas tak ku hiraukan. Entah apa yang dia terangkan di depan kelas. Aku pun malas berpikir. Aku mencoba tidur tapi entah kenapa aku sulit masuk ke alam bawah sadarku.
                “Yaa! Kau! Yang duduk di belakang!” seru Jung-seonsaengnim. Duduk di belakang? Apa aku yang dimaksud? Seluruh kelas memandangku. Dari tadi aku memang tidak memperhatikannya. Aku hanya tertunduk. Jung-seonsaengnim menghampiriku.
                “Yaa! Tuan Choi! Ireona!” seru Jung-seonsaengnim. Matilah aku. Chamkanman, Tuan katanya?
                Aku melihat kea rah Jung-seonsaengnim. Tatapannya tajam ke arahku. Bukan, ia menatap ke belakangku. Aku melihat ke arah belakang. Minhwan? Apa yang ia lakukan? Ia tertidur di jam pelajaran seperti ini. Tak biasanya ia seperti ini. Tapi kenapa?
                “Minan! Yaa! Ireona!” bisikku pada Minhwan yang menelungkupkan wajahnya di dalam tangannya yang di lipat di atas meja. Minhwan lalu membuka matanya. Ia lalu bangun dari tidur dan menegakkan tubuhnya. Ia lalu menggosok matanya. Kantung matanya terlihat sangat tebal. Apa dia kurang tidur?
                “Tuan Choi! Cuci mukamu dulu atau kau keluar dari kelas ini!” teriak Jung-seonsaengnim pada Minhwan. Minhwan tetap tertunduk. Ia lalu menggeser kursinya lalu bangkit. Ia berjalan menuju pintu kelas. Ia membukanya lalu keluar kelas. Ia membanting pintu dengan kasar. Kenapa dia? Apa dia marah padaku?
Jung-seonsaengnim kembali menerang pelajaran. Selama jam pelajaran berlangsung, aku hanya melihat ke arah pintu kelas. Berharap Minhwan masuk ke kelas lagi. Berharap melihat kembali wajah Minhwan. Tapi nyatanya Minhwan tak datang. Kemana dia? Ya Tuhan, semoga Minhwan baik-baik saja.
+++++
Jam pelajaran pun berakhir. Sampai saat ini aku belum melihat wajah Minhwan. Bahkan ia tidak masuk ke kelas. Ia tak kembali setelah Jung-seonsaengnim menyuruhnya keluar. Aku jadi khawatir pada anak itu. Kemana Minhwan? Aku mencarinya hampir ke seluruh sekolah. Tapi aku tak kunjung menemukannya. Aku memutuskan untuk pulang. Chamkanman, aku melihat Minhwan. Ia keluar dari toilet. Apa sedari tadi ia tak keluar dari toilet? Untuk apa?
“Minaaaaaaaaaaan~!!” jeritku. Minhwan pun menoleh padaku. Minhwan hanya berdiri terdiam memandangiku yang kini berlari ke arahnya.
“Kau dari mana saja?” tanyaku dengan nafas yang tak beraturan.
“Apa kau peduli akan hal itu?”
“Mwo?” tanyaku. Apa aku tak salah dengar? Hatiku mulai gemas dengannya.
“Kenapa sebenarnya? Sikapmu sekarang berubah, Minan. Apa ada masalah? Dan, ada apa antara kau dan Sandeul? Mengapa kau membuat Sandeul terluka?” tanyaku dengan geram.
“Berubah? Bukankah kau yang berubah? Kau lebih sering bertemu Sandeul daripada aku. Dan bahkan kau lebih mempedulikan Sandeul daripada aku. Apa aneh jika aku berubah?” bantah Minhwan.
“Ne. Minan, aku dan Sandeul hanya teman. Lagipula, kau…” aku menghentikan perkataanku lalu diam. Minhwan juga diam. Ia menunggu lanjutan kalimatku. Aku meneguk ludah dan mengalihkan pandanganku dari Minhwan. “Kau bukan namjachingu-ku.”
Suasana hening sejenak. Keributan yang disebabkan seluruh penghuni sekolah seakan menghilang seketika.
“Geureongayo (begitukah)?” Tanya Minhwan lembut. “Apa karena aku bukan namjachingu-mu kau tak lagi peduli padaku dan menganggapku teman biasa? Kau butuh status ‘namjachingu’, Yuu?”
Nafasku tercekat.
“Aku pikir kau mencintaiku karena membutuhkanku sebagai orang yang juga mencintaimu. Makanya aku tak takut. Tapi yang kau butuhkan adalah seorang namjachingu. Aku salah.” Ujar Minhwan. Jantungku seperti sangat tersiksa. Air mataku mau tumpah.
Minhwan melangkah pergi. Ia menghampiri motornya. Minhwan mengendarainya lalu melaju kencang. Air mataku baru bebas mengalir. Aku sesenggukan tanpa suara. Nan paboya. Minhwan, jeongmal mianhaeyo.
Narul dareun sarammannamyun keuddaen Gieokhalkkayo
Would you remember me if you meet someone like me?
Nawa deutdeon norae deutnundamyun Gieokhalkkayo
Would you remember me if you hear the song that we used to listen to?
Naeireumgwa gateunsaram mannamyun keuddaen Gieokhalkkayo
Would you remember me if you meet someone with same name as me?
Kkoteun anideorado hanbeoneun nareul Gieokhae jweoyo
You don't have to, but please remember me at least just once...
(FT Island – If It’s Not Necessary)
+++++
BRAK! Aku membanting pintu rumahku. Melempar tas-ku entah ke mana lalu melangkah gontai ke arah kamar. Eomma menghampiriku dan menatapku heran.
“Ryuri-ah, apa kau belum makan? Apa kau sakit?” Tanya Eomma. Aku hanya menggeleng. Entahlah Eomma bisa atau tidak mengerti maksudku, aku tak peduli. Aku masuk ke kamar dan membanting pintu. Aku lalu menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Menenggelamkan wajahku ke atas bantal. Entah kenapa segalanya terasa sangat berat. Membebaniku.
+++++
The stars lean down to kiss you
And I lie awake I miss you
Pour me a heavy dose of atmosphere
Cause I’ll doze off safe and soundly
But I’ll miss your arms around me
I’ll send a postcard to you dear
Cause I wish you were here…
Aku membuka mataku. Sepulang sekolah tadi aku ketiduran sampai malam. Dan sekarang aku mendengar suara merdu yang terngiang di telingaku. Suara ini sudah tak asing lagi bagiku. Tapi kenapa malam-malam seperti ini? Apa aku bermimpi? Tidak, ini nyata. Aku terbangun dan menghampiri sumber suara itu.
I watch the night turn light blue,
But it’s not the same without you
Because it takes two to whisper quietly…
                Aku membuka pintu rumahku. Seorang namja duduk di teras rumahku dengan gitar di pangkuannya. Ia berhenti bernyanyi dan berhenti memetik senar gitarnya. Ia melihat ke arahku lalu tersenyum. Namja itu menghampiriku.
                “Yaa! Sandeul, apa yang kau lakukan malam-malam begini? Bernyanyi sambil bermain gitar di depan rumahku. Bagaimana jika Eomma-ku mendengarnya? Dia pasti…”
                Sandeul menempelkan jari telunjuknya di bibirku. Membuatku menghentikan kata-kataku.
                “Gwaenchanha. Kajja.” Ucap Sandeul. Ia menggenggam tanganku lalu mengajakku duduk.
                “Ryuri-ah.. Kau mau mendengarkan nyanyianku, kan?” lanjut Sandeul. Aku menyerngitkan dahi  tak mengerti. Sandeul kembali memetik senar gitarnya. *ceritanye si sandeul bisa b.inggris ye, padahal mah ngomong zoom zoom aje jum jum #plak*
The silence isn’t so bad
Till I look at my hands and feel sad
Cause the spaces between my fingers
Are right where yours fit perfectly
I’ll find repose in new ways
Though I haven’t slept in two days
Cause cold nostalgia chills me to the bone
But drenched in Vanilla twilight
I’ll sit on the front porch all night
Waist deep in thought because when I think of you
I don’t feel so alone
I don’t feel so alone
I don’t feel so alone
As many times as I blink I’ll think of you… tonight…
I’ll think of you tonight..
When violet eyes get brighter
And heavy wings grow lighter
I’ll taste the sky and feel alive again
And I’ll forget the world that I knew
But I swear I won’t forget you
Oh if my voice could reach back through the past
I’d whisper in your ear
Oh darling I wish you were here..
(Owl City – Vanilla Twilight)
                Mataku hampir tak berkedip. Aku benar-benar memusatkan perhatianku padanya. Apa yang ku dengar tadi sungguh indah. Sandeul, anak ini pandai membuat orang-orang terkesima akan suaranya. *termasuk author #plak*
                “Araseo. Neomu daebak.” Ucapku. Sandeul tersenyum lalu menghampiriku. Ia memelukku erat. Yaa, apa anak ini sakit? Kenapa kelakuannya benar-benar aneh?
                “Ryuri-ah, entah kenapa saat aku berada di dekatmu aku merasa terbebas dari beban. Membuatku melupakan segala masalahku. Membuatku berpikir bahwa hidup ini hanyalah harus tenang. Makanya aku merasa aman bersamamu.”
                Aku berkeringat. Jantungku berdebar tak karuan.
                “Aku rasa kau bisa baik-baik saja tanpa aku. Tapi tidak untukku. Aku tak bisa merasa baik tanpamu. Hidupku penuh dengan kecemasan. Tak peduli kau mencintaiku atau tidak, aku membutuhkanmu di sisiku, Ryu.”
                Sandeul melepaskan pelukannya. Wajahnya tepat di depan wajahku.
                “Nan jeongmal, saranghaeyo, Choi Ryuri.”
                Sandeul menyatakan cintanya. Lagi. Apa aku jahat padanya? Ia mencintaiku dengan tulus. Sedangkan aku tak memikirkan perasaannya. Aku mengabaikannya karena suatu alasan. Aku masih mencintai Minhwan. Yang menjadi pertanyaan adalah.. apa aku masih mencintai Minhwan?
                “Geurae. Moduege gamsahamnida. Jaga dirimu baik-baik.” Ucap Sandeul. Ia menatapku lama. Ia memutar bola matanya, melihat ke seluruh wajahku dengan seksama. Ia lebih mendekatkan wajahnya lalu menutup matanya. Aku memejamkan mataku. Takut dengan apa yang Sandeul ingin lakukan padaku. Lalu sebuah kecupan mendarat di pipiku. Cukup lama sampai Sandeul melepas kecupannya, aku membuka mataku. Aku tegang, tapi terasa sedikit lega. Sandeul tidak mencium bibirku. Meski begitu, bisa ku pastikan kini wajahku memerah.
                “Annyeonghi gaseyo.” Kata Sandeul padaku. Ia membawa gitarnya lalu masuk ke dalam mobilnya. Ia melambai dari dalam sambil tersenyum. Aku hanya membalas senyumannya. Ia lalu menyalakan mesin mobilnya lalu pergi melaju. Aku hanya memperhatikannya dari kejauhan. Entah mengapa, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.
+++++
                Segalanya seperti menghilang. Tak ada satu nomer pun yang bisa ku hubungi. Minhwan maupun Sandeul tak ada yang menjawab teleponku. Aku ingin menemui mereka. Sebaiknya aku datang ke rumah mereka. Tapi yang memusingkanku, aku harus ke rumah Minhwan dulu atau Sandeul dulu? Jadi aku mengurungkan niatku dan tetap di rumah selama Minggu ini.
                Sepanjang hari aku hanya menonton tv, makan, tidur-tiduran. Tak punya pekerjaan yang bisa dilakukan. Sebenarnya aku banyak tugas. Tapi aku sedang tak bisa berpikir. Jadi ku abaikan tugas itu. Aku memasang earphone-ku, lalu mencari sebuah lagu yang sesuai dengan mood-ku saat ini. Membosankan. Apa yang harus ku lakukan sekarang?
                Sampai akhirnya malam tiba. Aku sedang duduk dengan posisi bervariasi di depan tv. Terkadang sambil bersandar, sambil makan, atau tertidur di depan tv (?). Kini aku sedang menyeruput sekotak susu stroberi. Setelah susu itu habis aku pergi ke kamar. Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Hari ini tak berarti apa-apa. Lebih baik aku tidur lagi saja.
                “Ryuri-ah! Sedang apa kau? Ada seseorang datang mencarimu. Cepat temui dia.” Kata Eomma sambil masuk ke dalam kamarku.
                “Nuguyo? Bilang saja aku sudah tidur.” Kataku dengan lemas. Aku memang sudah mengantuk.
                “Jinjja? Tapi Minhwan bilang ada hal yang penting..”
                Mataku membelalak. MINHWAN? Aku langsung berdiri dan keluar rumah dengan segera. Tak peduli dengan penampilanku sekarang yang sudah tampak amburadul. Minhwan sedang berdiri bersandar pada motornya.
“MINAN!” seruku pada Minhwan lalu berlari ke arahnya. Aku tersenyum kepadanya.
“Kenapa berlarian seperti itu? Apa kau merindukanku?” Tanya Minhwan.
“Mwoga? Mengapa bertanya seperti itu?” aku balik bertanya.
“Memangnya kenapa? Karena aku merindukanmu.” Ucap Minhwan. Aliran darahku seakan berhenti mendengar kata-kata Minhwan. Aku lalu memeluknya.
“Nado bogosipeoyo.” Ucapku. Perasaanku lebih tenang. Serasa seperti sekian lamanya aku tak memandang wajah Minhwan, kini ia ada di depanku. Seperti mengobati rasa rinduku.
“Kenapa belum tidur?” Tanya Minhwan lagi.
“Aku belum tidur karena kau. Kau sendiri? Mengapa baru menemuiku malam-malam begini?” tanyaku pada Minhwan.
“Aku hanya ingin tau keberadaanmu sekarang.” Jawab Minhwan.
“Ye? Aku tak pergi ke mana-mana. Memangnya mau kemana aku semalam ini?” aku bertanya lagi.
“Oh, begitu ya. Aku pikir kau akan mengantar Sandeul.” Ucap Minhwan. Mengantar.. Sandeul?
“Apa maksudmu Minhwan? Mengantar Sandeul? Kemana? Ada apa dengan Sandeul?” tanyaku bertubi-tubi. Minhwan menatapku heran.
“Jadi.. kau tak tau? Sandeul tak bilang padamu?” Tanya Minhwan bingung. Sandeul bilang sesuatu yang aku tak tau pada Minhwan. Begitu?
“Kemarin Sandeul datang menemuiku. Ia bicara padaku. Dia bilang dia mendapat beasiswa sebuah Universitas Seni di Washington. Untuk waktu yang lama sampai dia lulus. Ia memintaku untuk menjagamu selama dia tak ada.” jelas Minhwan.
“Jadi…” aku tak bisa berkata. Jadi inikah maksudnya menemuiku kemarin malam? Untuk mengucapkan selamat tinggal. Tapi kenapa dia tak mengatakannya kalau ia akan pergi keluar negri? Dan bukan untuk waktu yang sebentar?
“Minan, kapan ia berangkat?” tanyaku yang dijawab gelengan kepala dari Minhwan.
“Nan mollayo. Aku tak tau tepatnya kapan. Tapi Sandeul bilang ia akan pergi malam ini.” Ucap Minhwan. Aku bingung apa yang harus aku lakukan sekarang. Lalu aku memutuskan untuk mengambil sepedaku di garasi. Minhwan lalu menarik tanganku.
“Kau mau kemana?” tanyanya.
“Mianhaeyo, Minan. Aku akan bersepeda ke bandara. Aku ingin bertemu Sandeul sebelum ia pergi. Jeongmal mianhae.” Ucapku lalu kembali malanjutkan langkahku. Minhwan tak melepaskan genggamannya dari tanganku.
“Babo. Itu membuatmu menjadi lelet.” Kata Minhwan.
“Mwo?”
Minhwan lalu naik ke motornya. “Kajja. Kau mau ke bandara kan?” Tanya Minhwan. Aku membulatkan mataku. Bukannya segera naik aku malah keheranan menatap Minhwan. Kenapa anak ini malah…
“Ppalli! Kau ingin menemui Sandeul atau tidak?” kata Minhwan gemas. Aku membuyarkan lamunanku lalu bergegas naik ke motor Minhwan. Minhwan lalu menyalakan mesin motornya. Aku memeluk pinggangnya erat. Minan, gamsahamnida. Aku bertemu orang yang baik sepertimu.
+++++
Kami sampai di Incheon Airport. Aku dan Minhwan berlarian mencari Sandeul. Berharap pesawat yang ditumpangi Sandeul belum lepas landas. Aku mencari ke segala penjuru, namun tak melihat wajah Sandeul. Apa Sandeul sudah pergi?
“Yaa! Sandeul!” jerit Minhwan tiba-tiba. Minhwan menemukan sosok Sandeul. Sandeul tak melihat ke arah kami. Minhwan menarik tanganku, membawaku untuk menghampiri Sandeul.
“Lee Sandeul!!! Chamkanman! Jebal kajima!!” seruku sambil berlari. Sandeul lalu menoleh padaku. Ia tampak terkejut melihatku. Ia lalu berjalan mendekatiku.
Aku berhrnti di depannya. Aku ingin memeluknya sejenak. Tapi aku tak bisa melakukannya di depan Minhwan. Nafasku masih terengah-engah. Sandeul menatapku bergantian dengan Minhwan.
“Mengapa kau memberitahunya?” Tanya Sandeul pada Minhwan. Minhwan berdiri di sampingku.
“Cepat atau lambat, dia juga akan tau. Buat apa ditutup-tutupi?” kata Minhwan. Sandeul hanya tertawa kecil. Sejak kapan mereka jadi terlihat akrab begini?
“Sandeul! Mengapa kau tak bilang padaku kau akan pergi, huh? Waeyo? Wae?” tanyaku kesal.
“Aku tak mau membuatmu memikirkanku. Dan lihat sekarang, kau berlari-lari seperti habis melihat hantu saja.” Kata Sandeul enteng.
“Kau tau? Kau membuatku kaget. Paling tidak kau mengabariku. Mengapa kau malah memberi tau Minan bukannya aku?” protesku. Sandeul tersenyum lalu memandang Minhwan. mereka berdua saling bertatapan. Sandeul lalu mendekatiku lalu memelukku. Oh, Tuhan. Aku lalu memandang Minhwan. Minhwan hanya memandangiku dengan tatapan datar. Aku tak bisa mengelak dari Samdeul.
“Mianhae. Rencana keberangkatanku sebenarnya sudah lama. Tapi aku tak tau waktu yang tepat untuk memberitahumu. Pokoknya selama aku tak ada, jangan telat makan, rajin olahraga, tidur yang cukup, jangan terlalu banyak pikiran. Aku tak mau kau sakit atau menderita.” Tutur Sandeul mengguruiku. Ia lalu melepaskan pelukannya.
“Aku akan segera kembali. Tunggu aku ya.” Pinta Sandeul. Sandeul lalu menghampiri Minhwan.
“Pastikan Choi Ryuri baik-baik saja.” Kata Sandeul.
“Aku akan melakukannya tanpa kau minta.” Ucap Minhwan. Aigo, mereka ini membicarakan apa sih?
“Jika aku lulus nanti, aku akan segera kembali ke Seoul. Dan jika aku kembali kau masih belum juga menjadi namjachingu Ryuri. Aku tak akan melepaskannya.” Ancam Sandeul. Minhwan hanya tersenyum nakal.
“Tenang saja. Itu tak akan terjadi.” Ucap Minhwan. Sandeul tertawa kecil. Ia lalu menghela nafas.
“Geurae. Harabeoji sudah menungguku. Aku harus pergi sekarang.” Kata Sandeul.
“Secepat itukah?” tanyaku. Sandeul memegang kedua pipiku.
“Ne. Dan aku akan cepat kembali. Annyeong, Ryuri. Jaga dirimu. Saranghae.” Ucap Sandeul lalu berjalan pergi. Ia tersenyum manis padaku sebelum wajahnya tak terlihat lagi di hadapanku. Sandeul, aku harap kau akan selalu baik.
“Kau sedih?” Tanya Minhwan.
“Ya, sedikit.” Jawabku. Aku menoleh pada Minhwan. “Aku merasa kehilangan. Kehilangan seorang teman.”
“Jadi kau mau sampai kapan di sini?” Tanya Minhwan. Aku menggenggam tangannya. “Ayo pulang.”
Kami lalu ke tempat parkir. Minhwan lalu mengambil motornya. Ia lalu naik dan memakai helm-nya. “Kajja!”
Aku lalu menaiki motor Minhwan. Aku memeluk pingganggnya. Bersandar di punggungnya. Aku memang sangat kehilangan Sandeul. Tapi aku lebih tak ingin kehilangan orang di depanku ini.
+++++
Aku sampai di rumahku. Aku turun dari motor.
“Geurae. Cepat tidur sana.” Perintah Minhwan.
“Minan….” ucapku sambil memandanginya cukup lama. “Moduege gamsahamnida. Dan, maafkan aku, ya?”
Minhwan menghampiriku lalu memelukku. “Maaf untuk apa? Aku tak marah padamu.” Ucap Minhwan. Sungguh, yang ingin ku ucapkan padanya saat ini hanyalah kata terima kasih.
Minhwan lalu  melepaskan pelukannya. “Besok kau ada waktu?”
Eh?
+++++
“Minan… kita mau kemana?”
Minhwan menutup kedua mataku. Membawaku ke suatu tempat entah di mana. Aku hanya berjalan mengikutinya yang menuntunku.
“Sebentar lagi.” Kata Minhwan. Kami terus berjalan sampai akhirnya kami berdua berhenti.
“Geurae. Jangan buka matamu dulu sebelum ku suruh.” Lanjut Minhwan sambil melepaskan tangannya dari mataku. Aku masih menutup mataku.
“Set, dul, hana, ijen!” kata Minhwan. Perlahan aku membuka mataku.
Saranghae Baby Baby Baby Love.. Honey Honey Honey Love.. Neoman neoman saranghae yeongwontorok… Giyeokhae oneul oneul oneuldo.. Naeil Naeil Naeildo.. Oneulboda naeil deo neol saranghalge..
(FT Island – Baby Love)
                Aku terpaku melihat apa yang ada di depanku. Beberapa anak kecil bernyanyi di hadapanku. Lucu sekali. Suara mereka menjadi sebuah harmoni. Mereka indah seperti malaikat.
                “Yuu..” panggil Minhwan. Aku menoleh ke arahnya. Minhwan menggenggam kedua tanganku.
“Jebal, nekkeo haja. Ehm, ani. Would you be my girlfriend?” ungkap Minhwan. *ooooh… Brave Sound.. Na neoui boyfriend… #authornyanyiboyfriend*
Aku tertegun. Melihat semua yang dilakukan Minhwan. Bocah ini pandai membuatku terkejut. Dan sekarang ia menyatakan cintanya padaku. Bukan, ia memintaku menjadi yeojachingu-nya.
“Kenapa kau baru bilang sekarang?” tanyaku.
“Mianhae. Andai saja waktu itu aku tak membatalkan janjiku, jadinya tak akan seperti ini.” Jelas Minhwan. Waktu itu? Aigo, aku tak tau ia akan melakukan hal ini.
“Jadi, kau mau menjadi yeojachingu-ku atau tidak?” Tanya Minhwan.
“Eum, bagaimana kalau tidak?”
“Aku akan memaksamu.” Ucap Minhwan lalu tersenyum lebar.
“Karena kau memaksaku jadi.. ya sudah.” Kataku sok pasrah. (?)
“Ya sudah apa?” Minhwan mendelik.
“Ya sudah.” Ucapku. Minhwan mendekat padaku. Pandangannya tajam. Meminta penjelasan lanjut dariku. “Ya sudah. Aku mau menjadi yeojachingu-mu.”
“Aaa~ gomawoyo Yuu Yuu Yuu saranghae…” sontak Minhwan memelukku dengan tiba-tiba.
“Aish jinjja.. Minan.. hentikan! Jangan seperti anak.. kecil.” Kami baru menyadari bahwa segerombol anak kecil tadi memperhatikan kami. Mereka tertawa kecil. Lalu Minhwan melepaskan pelukannya.
“Minan, darimana kau dapatkan malaikat-malaikat ini?” tanyaku sambil menunjuk ke arah anak-anak tadi.
“Oh, mereka anak-anak panti asuhan. Aku sering bertemu mereka. Lalu ku minta mereka menyanyi untukmu.” Jelas Minhwan.
“Ye? Jahat. Kau tak pernah mengajakku. Kau juga tak pernah cerita padaku.”
“Ne, mianhae. Lain kali aku akan mengajakmu.” Kata Minhwan.
“Eo. Sebaiknya kau harus mengantar mereka pulang.” Ucapku sambil mengarah ke anak-anak tadi.
“Ne, aku akan mengantar mereka pulang. Kau mau ikut?” ajak Minhwan.
“Ne.”
“Kajja.”
+++++
“Anak-anak tadi lucu sekali.” Ucapku memcah keheningan sehabis mengantar anak-anak panti asuhan pulang. Minhwan mengangguk.
“Ne. Kapan kita punya anak seperti itu ya?” canda Minhwan. Aku membulatkan mataku menatap garang pada Minhwan. Minhwan menggigit bibirnya lalu mempercepat langkahnya.
“MINAN~!”
Aku mengejar Minhwan yang cengar cengir sendiri. Lalu berjalan berdampingan dengannya. Sambil menikmati matahari yang hampir tenggelam. Apakah aku akan terus sepeti ini. Berdampingan dengan Minhwan? Entahlah, aku tak peduli. Bahkah kini aku tak peduli aku ini yeojachingu Minhwan atau bukan. Yang terpenting adalah aku adalah bagaimana rasa cintaku pada Minhwan. Bagaimana rasa cinta Minhwan terhadapku. Sekarang aku milik Minhwan. Dan aku selalu berharap ‘selamanya’.
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar